Friday, March 5, 2010

Tidak diupdate dan blog baru (tentang Minahasa)


Ah, lama juga tidak mengupdate blog ini. Pada akhirnya, megupdate blog ini memang tidak menjadi prioritas, karena banyaknya hal yang harus dikerjakan...


Gara-gara memasang link ke salah satu postingan blog ini, yakni resensi novel Waraney Negeri Minahasa, akhirnya dapa inga for mo ba update...


Kalau blog ini tidak terjamah karena aku sekarang punya blog lain yang memerlukan update, termasuk http://www.minahasajo.info/, yang baru dibuat bulan Februari lalu...



Blog http://www.minahasajo.info/ adalah berisi berbagai hal menyangkut Minahasa, yang ditulis dengan gaya yang sedikit berbeda...


jadi kalau ada waktu, silakan berkunjung ke http://www.minahasajo.info/, hehehe

Sunday, March 29, 2009

Tak peduli lingkungan, kenapa harus dipilih?


(tulisan ini pernah dimuat di Koran Lestari, sisipan Harian Manado Post)

BENCANA kini menjadi kawan akrab masyarakat Sulut. Kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana. Namun fakta ini ternyata belum cukup menarik bagi para calon anggota legislatif (caleg) di daerah ini.

Mekanisme pemilihan langsung memang ‘memaksa’ para caleg untuk menjual kharisma dan figur, disertai berbagai embel-embel tentang semboyan beserta apa yang akan dilakukan jika nantinya terpilih. Dan dari semua itu, isu lingkungan jarang (atau bahkan tidak pernah) disebut-sebut.

Fakta ini sangat mencengangkan. Bagaimana mungkin para caleg yang terhormat itu sama sekali tidak menganggap lingkungan sebagai hal penting yang harus diperjuangkan?
Karena sama sekali tak mengagendakan isu lingkungan, bisa dipastikan kalau para caleg ini tidak menganggarkan kegiatan terkait lingkungan dalam kampanye yang akan dilakukan. Dan pasti kita tak akan melihat berbagai gebrakan terkait lingkungan.

Tak heran jika akademisi Universitas Negeri Manado (Unima) Dr Treesje Londa dengan tegas mengimbau masyarakat untuk tidak memilih caleg yang tidak pro lingkungan. “Caleg yang tak pro lingkungan memang tak perlu dipilih. Pilihlah caleg yang benar-benar peduli pada lingkungan,” kata Treesje dalam round table discussion Yayasan Lestari belum lama ini.

Caleg yang sejak awal memperlihatkan kepedulian pada lingkungan, tambah Treesje, diharapkan akan mempertahankan idealismenya, karena tetap ada kemungkinan jika akhirnya terpilih sebagai legislator, sang caleg akan melupakan komitmennya pada lingkungan.

Pentingnya caleg mempertahankan idealismenya pada lingkungan juga diingatkan Boaz Wilar, akademisi Universitas Pembangunan Indonesia. Karena justru setelah menjadi legislator, di situlah tantangan yang sebenarnya. “Terutama soal anggaran, pengawasan dan regulasi. Karena di situlah justru letak permasalahannya,” kata Wilar.

Legislator pro lingkungan, lanjut Wilar, harus berani mempresur SKPD untuk memperbesar anggaran terkait lingkungan. Karena salah satu kendala yanag dihadapi saat ini adalah minimnya anggaran. “Jadi legislator pro lingkungan jangan hanya melakukan bargaining, tapi juga melakukan fungsi pengawasan, termasuk mengupayakan adanya peningkatan anggaran,” tegas Wilar.

Lalu bagaimana kriteria caleg yang pro lingkungan? Menurut Tinny Tawaang dari BLH Sulut, caleg yang pro lingkungan ditandai dengan adanya kepedulian dan semangat memperjuangkan persoalan lingkungan. Termasuk bisa melaksanakan pengawasan program terkait lingkungan, menampung aspirasi masyarakat dan disalurkan dalam kebijakan. “Action-nya dapat berupa penanaman bibit pohon bersama, dan dalam kesempatan kampanye, selalu menyuarakan persoalan lingkungan,” katanya.

LAKU DIJUAL?
Namun ungkapan menggelitik diungkap Rignolda Djamaluddin, aktivis Kelola. Yakni menyangkut efektivitas isu lingkungan dalam kampanye yang dilakukan para caleg. “Apakah isu lingkungan laku dijual? Karena lingkungan bukan persoalan kepedulian tapi keberpihakan dan tanggungjawab,” kata Rignolda.

Karena itu dia berpesan agar caleg atau partai yang mau mengusung isu lingkungan sebagai materi kampanye agar melakukan kajian, dengan mempertimbangkan lokasi dan daerah pemilihan. Isu lingkungan harus dikomunikasikan dengan baik agar oleh masyarakat dinilai sebagai hal yang sangat penting.

Ketua DPD Partai Hanura Sulut, Peter Poluan atau yang kerap disapa Hok Naga menegaskan, isu lingkungan merupakan faktor penting yang harus diusung caleg Hanura. “Jika tak komit pada lingkungan harus siap di-PAW,” katanya.

Kendati penting, menurut Poluan, isu lingkungan juga harus dilihat per wilayah atau daerah pemilihan (dapil). Karena tak semua dapil isu lingkungan ini menjadi urgen. (*)

Monday, February 16, 2009

Konflik Israel-Palestina dan Kesalahpahaman Kita…


Tulisan ini pernah dimuat di halaman Opini Harian Komentar, Kamis dan Jumat, 12 - 13 Februari 2009


AKHIR-akhir ini saya beberapa kali mendapat SMS dari sejumlah rekan dan kerabat, yang antara lain berbunyi: "Mau tahu bagaimana akhir perang Gaza di Palestina?" SMS itu dilengkapi sejumlah ayat Alkitab yang 'menjelaskan' tentang pertanyaan itu. SMS itu diakhiri dengan pesan agar meneruskan ke sesama Kristen, sehingga dipastikan saat ini sudah cukup banyak warga Kristen yang membaca SMS semacam itu.

Beredarnya SMS itu merupakan pertanda adanya kesalahpahaman yang sangat mendasar sebagian besar dari kita, menyangkut pertikaian antara Israel dan Palestina. Kesalahpahaman yang sudah mengakar sehingga dianggap sebagai kebenaran.


TIDAK IDENTIK


Kesalahpahaman yang pertama, adalah menganggap Israel itu identik dengan kekristenan. Anggapan ini umum berlaku bagi warga Kristen dan juga Islam, bukan hanya di Indonesia tapi seluruh dunia.

Namun benarkah Israel modern saat ini identik dengan kekristenan? Sama sekali tidak. Sebagai negara, Israel tentu saja tak ada hubungan dengan Kristen. Dari segi kepercayaan, juga tak ada kaitan. Mayoritas warga Israel beragama Yahudi, yang sampai sekarang masih menantikan datangnya Mesias. Artinya, para penganut agama Yahudi tidak mengakui Yesus sebagai Mesias (Juruselamat). Bagi mereka, Yesus hanyalah salah satu dari sekian banyak tokoh yang mengaku-aku sebagai Mesias. Karena
itu, bagi mereka Kristen adalah agama kafir.

Jadi, bagaimana mungkin orang Kristen merasa dekat dengan Israel sementara di pihak lain mereka justru menganggap kekristenan sebagai agama kafir?


Mungkin banyak orang Kristen merasa dekat dengan Israel, dengan alasan psikologis. Apalagi banyak lokasi di Israel yang sejak kecil sudah akrab dikenal karena terdapat dalam Alkitab. Hanya sedikit yang tahu kalau beberapa nama populer di Alkitab seperti Hebron, Yerikho dan Betlehem sekarang merupakan wilayah Palestina.


PALESTINA KRISTEN

Kesalahpahaman kedua, adalah menganggap Palestina identik dengan Islam. Memang, mayoritas warga Palestina beragama Islam. Namun jangan lupa kalau di Palestina juga hidup masyarakat yang beragama kristen, yang jumlahnya cukup signifikan. Dan warga Kristen ini bahu-membahu dengan sesama warga Palestina beragama Islam berjuang melawan agresi Israel.

Di akhir era '60-an hingga awal '70-an ada tokoh garis keras Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yakni George Habbash. Dia beragama Kristen. Di era '80-an ada juru runding PLO yang namanya disegani, Hasnan Asrawi. Dia, perempuan, dan beragama Kristen. Dan tentu saja yang paling terkenal adalah Suha, lulusan universitas terkemuka Perancis yang kemudian menjadi istri pemimpin Palestina
kharismatik, almYasser Arafat. Suha beragama Kristen.

Beberapa tahun lalu, ketika diadakan pertemuan pemuda se-dunia di Manado, utusan dari Palestina, adalah seorang gadis cantik yang beragama Kristen. Sebagai wartawan sebuah harian, saya kebetulan saat itu diajak panitia untuk ikut menjemput peserta dari Palestina ini, bersama peserta dari Israel di bandara Sam Ratulangi Mapanget.

Kesalahpahaman ketiga, adalah menganggap pertikaian Israel-Palestina sebagai perang agama. Terutama perang antara Kristen dan Islam. Anggapan ini salah besar karena pokok pertikaian sebenarnya soal politik. Yakni perebutan wilayah.


TIDAK KONSISTEN

Perebutan wilayah antara Palestina dan Israel memang berakar dari masa lalu yang rumit. Setelah sempat diaspora ke berbagai penjuru dunia usai Yerusalem dihancurkan oleh pasukan Romawi yang dipimpin jenderal Titus tahun 70 Masehi, bangsa Yahudi akhirnya berhasil 'kembali ke Sion' dalam program spektakuler yang kemudian dikenal sebagai Zionisme. Negara Israel modern akhirnya berdiri di tahun 1948.

Bangsa Israel mengklaim wilayah yang sekarang mereka duduki sebagai milik nenek moyang, yang dijanjikan Tuhan sebagai Tanah Perjanjian. Karena itu masyarakat Palestina yang mendiami kawasan itu selama ratusan tahun dianggap sebagai pendatang liar yang harus dienyahkan.

Ada banyak ayat dalam Kitab Taurat yang dianggap sebagai alasan untuk mengklaim wilayah itu. Antara lain yang menyatakan wilayah Israel terbentang "dari Dan ke Bersyeba".

Namun apakah memang warga Israel saat ini masih berhak mengklaim
wilayah yang dijanjikan Tuhan ribuan tahun yang lalu?

Jika apa yang dilakukan Israel saat ini, yakni mengklaim suatu wilayah sebagai milik dengan alasan kawasan itu dulu kala diduduki nenek moyang, diikuti negara lain, dipastikan peta dunia akan berubah total dan akan terjadi kekacauan yang luar biasa.

Dengan mengambil teladan pada Israel, maka Indonesia, bisa mengklaim Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia sebagai wilayah Indonesia. Alasannya, karena dulu kala wilayah itu termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit, nenek moyang masyarakat Indonesia saat ini.

Negara Italia juga bisa mengklaim sebagian besar Eropa dan Asia sebagai milik mereka, karena dulu Kerajaan Romawi pernah menguasai wilayah itu. Atau Perancis yang bisa mengklaim Eropa sebagai wilayahnya karena dulu Napoleon Bonaparte pernah menguasai Eropa. Atau Spanyol dan Portugis bisa mengklaim separuh dunia, karena dulu kedua negara ini pernah membagi dua dunia untuk dikuasai. Daftar ini akan sangat panjang, dan tentu saja klaim semacam itu merupakan hal yang menggelikan dan sama sekali tidak masuk akal.

Lagipula, soal perebutan lahan, Israel modern tidak konsisten. Jika mereka memang ingin menguasai wilayah yang dulu dijanjikan Tuhan, maka seharusnya mereka juga memerangi negara Jordania. Karena sebagian wilayah Jordania saat ini merupakan milik nenek moyang Israel, yakni suku Ruben, Gad dan sebagian Manasye.

Israel modern juga harus memerangi negara Lebanon, karena sebagian wilayah Lebanon saat ini dulunya merupakan milik suku Asyer dan Naftali.


Sejauh ini tidak ada tanda-tanda Israel ingin memerangi Yordania dan juga Lebanon. Mereka lebih suka berperang dengan Palestina yang dari segi persenjataan merupakan lawan yang tidak sebanding.

KERAJAAN YEHUDA

Namun, apakah memang Israel saat ini berhak menguasai Tanah Perjanjian yang dijanjikan Tuhan? Mereka mungkin berhak, tapi hanya sebagian kecil. Mereka hanya berhak menguasai kawasan yang dulu merupakan wilayah Kerajaan Yehuda.

Kenapa begitu? Karena Israel saat ini sebenarnya merupakan keturunan Kerajaan Yehuda. (Istilah Yahudi berasal dari kata Yehuda).

Dari Perjanjian Lama kita mengetahui kalau kerajaan Israel Raya yang megah semasa pemerintahan Raja Daud dan Salomo akhirnya terpecah dua. Sepuluh suku membentuk kerajaan sendiri yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Israel Utara atau Israel, yang beribukota Samaria.

Sementara sisanya, suku Yehuda dan Benyamin, membentuk apa yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Israel Selatan atau Kerajaan Yehuda, yang beribukota Yerusalem.

Kerajaan Israel Utara kemudian dikalahkan Kerajaan Assiria di bawah pimpinan Raja Tiglath-Pileser III pada tahun 722 sebelum Masehi. Penduduk kerajaan Israel ini dibuang ke negara asing. Sementara Kerajaan Yehuda dikalahkan Kerajaan Babilonia dibawah pimpinan Raja Nebukadnezar, 589 tahun sebelum Yesus lahir. Penduduknya juga dibuang ke Babilonia, terutama para cendekiawan (beberapa di antaranya yang kemudian menjadi terkenal adalah Sadrakh, Mesakh, Abednego dan tentu saja Daniel).

Penduduk Yehuda yang dibuang akhirnya bisa kembali ke tempat asalnya, setelah Babilonia dikalahkan Kerajaan Persia, tahun 538 SM. Sisa-sisa bangsa Yehuda, di bawah pimpinan Ezra dan Nehemia akhirnya membangun kembali komunitas Yehuda yang pada akhirnya lebih dikenal dengan nama Yahudi.

Bagaimana dengan masyarakat kerajaan sepuluh suku yakni Israel Utara yang dibuang oleh Tiglath-Pileser III? Sampai tulisan ini dibuat, mereka belum juga kembali ke Israel. Banyak spekulasi yang berkembang soal ke mana masyarakat sepuluh suku ini (yang dikenal dengan istilah 'the Lost Tribes', atau Suku yang Hilang). Ada yang mengatakan mereka ke Jepang dan menjadi bagian dari nenek moyang bangsa Jepang. Ada yang menduga sebagian dari mereka ke India, Cina, dan bahkan ada yang berspekulasi kalau sebagian kecil dari mereka kemudian mendarat di kawasan yang kemudian populer dengan nama… Malesung.

Ke mana Sepuluh Suku itu menjadi salah satu misteri yang hingga kini terus dicari jawabnya, sama halnya dengan misteri lain di Alkitab yang hingga kini belum terungkap, seperti 'di mana Tabut Perjanjian', dan 'Legenda Cawan Perjamuan Yesus'.

Jadi klaim bangsa Israel saat ini bisa dibenarkan sepanjang yang mereka duduki hanya bekas wilayah Kerajaan Yehuda ribuan tahun lalu. Dan jangan lupa, apa yang sekarang disebut sebagai Jalur Gaza, dulunya bukan merupakan wilayah Kerajaan Israel. Ribuan tahun lalu, Jalur Gaza merupakan bagian dari lima kota (pentapolis) yakni Gaza, Ashkelon, Ashdod, Gath dan Ekron, yang merupakan kawasan Kerajaan Filistin, yang
wilayahnya berbatasan dengan wilayah suku Simeon, Dan serta Yehuda.


HARI KIAMAT

Kenapa konflik Israel dan Palestina menarik perhatian sebagian warga Kristen? Saya menduga, ini terkait dengan apa yang dikenal sebagai Penghakiman Terakhir atau Hari Kiamat.

Dari berbagai skenario tentang akhir dunia yang banyak beredar, semua diawali dengan Korban Bakaran yang dilakukan oleh sosok misterius yang kemudian akan dikenal sebagai Pembinasa Keji atau Antikris. Figur bakal Antikris ini akan melakukan korban bakaran di Bait Suci (Bait Allah) yang terletak di Yerusalem.

Masalahnya, Bait Suci dimaksud sekarang tak ada lagi. Bait Suci pertama yang dibangun Salomo sudah dihancurkan pasukan Nebukadnezar. Bait Suci kedua yang dibangun bangsa Israel dan rampung dibawah pemerintahan Raja Herodes, sudah dihancurkan pasukan jenderal Titus tahun 70 Masehi. Yang tersisa hanya seonggok tembok yang dikenal sebagai Tembok Ratapan. Dan di bekas lokasi yang diyakini sebagai Bait Suci, kini berdiri Mesjid Al Aqsa atau Doom of the Rock, yang merupakan salah satu tempat suci masyarakat Islam.

Saya pernah membaca bahwa kini ada gerakan untuk membangun kembali Bait Suci. Suatu upaya yang tentu saja tidak mudah karena masyarakat Islam tentu saja tak akan rela jika Mesjid Al Aqsa dibongkar. Walau kini Yerusalem dalam kendali Israel, namun sejumlah lokasi seperti Al Aqsa masih dikuasai oleh Palestina.

Jadi dalam konteks ini, dapat dipahami jika sebagian masyarakat Kristen (yang rupanya sudah tak sabar menanti kedatangan Yesus yang kedua kali), menyimak konflik Israel-Palestina dengan penuh perhatian. Dasar pemikirannya adalah, jika Palestina berhasil dimusnahkan, maka upaya membangun kembali Bait Suci tak akan menemui kendala berarti. Jika Bait Suci sudah dibangun, maka sosok (bakal calon) Antikris akan muncul. Umat yang percaya akan diangkat ke Sorga, kesusahan besar dimulai, dan klimaksnya Yesus akan datang kembali untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.

Dengan lain kata, selama Bait Suci belum dibangun, Antikris belum akan muncul dan tentu saja penghakiman terakhir belum akan terjadi. Artinya, dunia belum akan kiamat!!

Satu hal yang tidak diketahui oleh orang Kristen yang mengharapkan bangsa Palestina musnah adalah, sebagian warga Palestina itu beragama Kristen.

Karena itu, pembaca, jika kapan-kapan Anda melihat tayangan di televisi tentang serangan Israel, dan ketika melihat mayat bergelimpangan, melihat jenasah anak-anak berlumuran darah di jalan raya, mohon jangan senang dulu.

Sebagian anak-anak dan perempuan yang meregang nyawa itu percaya pada Yesus. Sebagian dari mereka hafal Doa Bapa Kami.

Mereka, saudara seiman dengan kita, tewas mengenaskan dibunuh oleh pihak yang selama ini kita banggakan sebagai 'Bangsa Pilihan Tuhan'!!

Tuesday, February 3, 2009

Feisbuk oh Feisbukkk.....



AKU tersenyum geli membaca karikatur Kompas edisi Minggu 1 Februari, yang berkisah tentang Benny & Mice. Karikatur itu bercerita tentang bagaimana mereka mereka membeli laptop. kemudian ada percakapan: "Gue udah selesai mendaftar nih" oleh Benny dan dibalas Mice: "Gue juga udah". Gambar berikutnya terlihat Benny & Mice baku tos, sambil Mice berkata: "Yesss!! Akhirnya kita bisa kenalan", yang dijawab Benny dengan "Akhirnya kita bisa berteman". Gambar terakhir memperlihatkan dua laptop bertuliskan facebook, dan ada komentar: "Kita bisa tuker-tukeran foto dong?" dan "kita chatting yukk.."

Aku tersenyum karena dua hal. Pertama, karikatur itu lucu, karena dua orang sahabat yang setiap hari bersama, memutuskan untuk 'berkenalan' dan 'menjadi teman' di dunia maya, dalam hal ini facebook (FB). Kedua, aku merasa lucu, karena belum lama ini aku melakukan persis yang digambarkan karikatur itu.


Ketika pertama kali mendaftar di FB, karena bingung mencari teman, aku 'nekat' meng-invite dua teman sekantor di L, yakni Meilyn dan Yustinus. Padahal, walau berada di ruangan berbeda, kami setiap hari bertemu. (Dan untunglah, ajakanku untuk menjadi sahabat diterima dengan positif. Kalu nyanda, awass ngoni... he..he).

Ketika petang hari aku ke kantor M, beberapa teman langsung tahu kalau aku sudah mendaftar di FB. Aku kemudian di-invite oleh Caesar dan Slank. Aku lalu meng-add Adnan. ketika peristiwa ini berlangsung, kami berada di ruangan yang sama. Aku dan Adnan bahkan hanya terpisah satu meja.

Dan...

Beberapa teman di K, yang satu grup dengan kami di M, ternyata juga member FB. Kami pun saling bakugara, layaknya teman lama yang sudah sekian tahun tak jumpa, padahal kami hanya dibedakan satu lantai.

Untunglah, teman yang meng-invite tak hanya mereka yang dikenal di dunia nyata dan sehari-hari bertemu muka. Ada juga nama-nama baru, sebagian sama sekali tidak dikenal dan sebagian lagi sudah sering dilihat wajahnya di media massa. Aku juga beruntung karena akhirnya 'berteman' dengan Audy, warga sekampung yang hanya bisa ditemui setahun sekali (di dunia nyata kami tentu saja berteman akrab... he..he..)

Karena masih anggota baru, aku belum tahu banyak manfaaf dari FB, walau dari berbagai bacaan aku tahu kalau FB merupakan salah satu situs jejaring sosial yang sangat kredibel. (Bahkan ketika blogwalking, ada yg berkomentar: FS (maksudnya friendster) itu untuk ABG, dan FB itu untuk yang lebih dewasa. Benar atau tidak, aku tidak tahu karena sejak dulu aku memang tak tertarik dengan FS.

Di FB aku juga sudah menjadi anggota beberapa group, umumnya karena di-invite, dan semoga nanti bisa lebih banyak berkontribusi (halaah....)

Tapi, walau FB kini sudah menjadi fenomena, kelihatannya masih banyak orang Manado yang tak punya blog ya? He..he... Padahal ngeblog juga menyenangkan. Bagi teman-teman yang kebetulan punya blog, bisa berkunjung ke blog pribadiku, di waraneyminahasa, dan satunya lagi di indon3sia. Kalau waraney minahasa lebih bernuansa lokal, maka indon3sia lebih global.

Tapi yang lebih penting, apakah itu FB atau ngeblog, jangan sampai keasyikan bertualang di dunia maya lalu mengganggu aktivitas dan tugas kantor... Oi to sob-sob?

Wednesday, January 14, 2009

Sejarah Minahasa: Kajian Ilmiah, Legenda atau Fiksi


(foto: Tondano sebelum tahun 1880)

(Tulisan ini pernah dimuat di harian Komentar, guna menanggapi polemik budaya antara Joutje Sendoh dengan Joutje Koapaha. Secara khusus tulisan ini merupakan tanggapan untuk Koapaha)


Sejak akhir tahun lalu, harian ini memuat polemik berkepanjangan tentang sejarah Minahasa oleh ‘duo’ Joutje, yakni Joutje Sendoh dan Joutje Koapaha. Lepas dari nuansa kekanak-kanakan dan saling menang sendiri yang jelas tergambar, topik tentang sejarah Minahasa memang tetap menjadi hal yang sangat menarik.
Sebagai generasi muda, saya memang menyukai tulisan dan paparan soal budaya Minahasa. Apalagi, sejak Oktober tahun lalu saya membuat cerita silat (cersil) yang sekarang sementara dimuat secara bersambung di Harian METRO Manado. Cerita silat ini bersetting Minahasa kuno, bercerita tentang situasi walak-walak di Malesung menjelang penyerbuan Kerajaan Majapahit.
Cersil yang saya buat ini berlandaskan pemahaman ‘lama’, terutama menyangkut eksistensi sub etnis Toulour, Tombulu, Tontemboan dan Tonsea. Berdasarkan sejumlah sumber tertulis, saya tidak menyertakan Walak Bantik dalam cersil ini, yang saya yakini baru eksis beberapa abad kemudian. Karena itu saya agak terkejut juga ketika membaca paparan pak Koapaha tentang keberadaan etnis Bantik, yang diklaim sudah eksis sejak lama, bahkan lebih lama dibanding sub etnis Tontemboan-Toulour-Tombulu-Tonsea.
Ada beberapa catatan yang ingin saya diskusikan dengan pak Koapaha, menyangkut klaim tentang Bantik, dari sudut pandang saya sebagai generasi muda yang awam terhadap sejarah.
Yakni menyangkut bahasa, marga, bukti tertua dan legenda.

A. Bahasa
Dalam menyusun cersil, saya menggunakan sebuah kamus Bahasa Daerah Manado-Minahasa yang disusun Djerry Waroka, terbitan tahun 2004 yang saya beli di Gramedia Manado. Kamus ini terutama saya pergunakan untuk menerjemahkan sejumlah jurus ke dalam bahasa daerah. (Dalam cersil yang saya buat, jika yang bertarung berasal dari Walak Touwasian, misalnya, maka jurus yang dia gunakan berbahasa Tontemboan. Begitu juga jika yang berkelahi waraney dari Tombulu, jurus yang dia gunakan berbahasa Tombulu, dst).
Ketika membolak-balik kamus ini saya menemukan fakta menarik. Ternyata sangat banyak kata-kata dalam bahasa Tontemboan, Tombulu, Tonsea dan Toulour yang sama bunyinya dan sama artinya. Ada kata tertentu yang sama bunyinya menurut bahasa Tontemboan dan Toulour, ada yang sama menurut bahasa Tonsea dan Tombulu, dan Tombulu-Tontemboan. Ada kata tertentu yang sama menurut bahasa Tontemboan, Tombulu dan Toulour, dan yang semacam itu.
Saya sendiri cukup fasih berbahasa Toulour dan bisa memahami percakapan dalam bahasa Tontemboan, sehingga saya tidak heran ketika menjumpai banyaknya persamaan antara bahasa Tontemboan dan Toulour. Namun ketika hal yang sama saya jumpai juga di bahasa Tombulu dan Tonsea, hal ini sungguh membuat saya takjub.
Banyaknya persamaan kata ini, menurut saya, menunjukkan bahwa memang ada pertalian sejarah antara masyarakat yang berbahasa Tontemboan-Tombulu-Toulour-Tonsea.
Bagaimana dengan Bantik? Saya tidak bisa berbahasa Bantik dan belum pernah mendengar orang yang berbahasa Bantik (atau mungkin saja saya sudah pernah mendengar orang berbahasa Bantik namun saya tidak tahu kalau yang dia ucapkan adalah bahasa Bantik). Namun jika memang klaim pak Koapaha bahwa ada hubungan yang sangat erat antara Bantik dengan sub etnis lain--apalagi jika Bantik merupakan komunitas mula-mula di Malesung, maka menurut saya seharusnya akan sangat banyak kosa kata dalam bahasa Bantik yang juga sama dengan kosa kata bahasa Tontemboan-Toulour-Tombulu-Tonsea.
Jika kata-kata dalam bahasa Bantik sama sekali berbeda dengan Tontemboan cs, maka pak Koapaha harus bisa menjelaskan kenapa bisa begitu, sedangkan di satu pihak ada sangat banyak persamaan di antara bahasa Tontemboan-Tombulu-Toulour-Tonsea.
Menurut hemat saya, kesamaan bahasa merupakan bukti paling kuat untuk menunjukkan adanya suatu relasi, jauh lebih kuat dibanding adanya beberapa gunung yang diberi nama Bantik.

B. Marga
Pak Koapaha juga memberi ilustrasi tentang marga (fam), yang digunakan warga Bantik asli, yang sama dengan marga Minahasa pada umumnya. Kesamaan marga ini dinilai pak Koapaha sebagai bukti kuat untuk menunjukkan adanya hubungan, atau menunjukkan bahwa leluhur Minahasa adalah Bantik.
Menurut saya, kalau ada warga Bantik yang sekarang bermarga ‘Minahasa’, hal ini pasti tak bisa disanggah. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: Sejak kapan warga Bantik menggunakan nama fam atau marga itu? Atau kalau pertanyaan ini diperluas, sebenarnya sejak kapan budaya ‘pake fam’ mulai diberlakukan rakyat Minahasa?
Harap diingat, apa yang sekarang dikenal sebagai fam/marga sebenarnya dulu hanyalah sebuah nama kecil. Jadi kalau dulu, ratusan tahun lalu ada orang (ini hanya misalnya) bernama Parengkuan, setelah dia mendapat seorang putra, dia menamai (misalnya) Mandey. Si Mandey ini kemudian memperanakkan (misalnya) Pontoh, si Pontoh memperanakkan (misalnya) Sumendap yang memperanakkan Runtu dan seterusnya. Baru pada suatu waktu, ketika pemakaian fam menjadi kebiasaan, yang dijadikan fam adalah nama keturunan terakhir, yang untuk ilustrasi ini adalah Runtu.
Sampai sekarang di Minahasa masih ada orang yang memberi nama kecil anaknya menggunakan nama yang dikenal sebagai fam/marga. Misalnya di Tondano ada yang bernama Supit Mamahit. Supit nama kecil sedangkan marganya Mamahit. Atau Pitoy Makalew. Pitoy nama kecil sedangkan Makalew itu nama besar/marga.
Sudah menjadi kebiasaan, orang tua ingin memberi nama anaknya yang baru lahir--terutama jika yang lahir itu ‘jagoan’ alias laki-laki, dengan memakai nama yang hebat-hebat, dan bermakna positif. Kadangkala orang tua menamai anaknya menurut tokoh yang dia kagumi. Misalnya di era '60-an, ketika film James '007' Bond mengguncang dunia, banyak orang tua di Manado-Minahasa yang menamai anak lelakinya yang baru lahir dengan nama James, atau variasinya, seperti Jemmy, Jimmi atau Jems. (Hal ini yang menjelaskan kenapa dewasa ini banyak lelaki berusia antara 30-45 tahun yang bernama James). Contoh lain, di Manado dan Minahasa selang sepuluh tahun terakhir banyak anak-anak yang bernama Alessandro, Filipo, Sheva, Nistelroi atau Beckham, yang semuanya diambil dari nama pesepakbola terkenal, yakni Alessandro del Piero, Filipo Inzaghi, Andri Shevchenko, Ruud van Nistelroi atau David Beckham.
Saya menduga, pemakaian apa yang sekarang dikenal sebagai marga oleh masyarakat Bantik, juga diawali dengan hal seperti itu. Ada leluhur Bantik yang ‘naksir’ dengan sejumlah nama yang dinilainya bagus, dan menamakan anak-anaknya dengan nama itu, yang sebenarnya merupakan nama kecil yang diadopsi dari etnis Minahasa. Kalau belakangan nama kecil itu dijadikan nama besar (fam), maka hal itu sangat bisa dipahami, kendati tentu saja tidak serta merta memperlihatkan bahwa ada hubungan dengan Minahasa.
Sebagai ilustrasi, misalnya saat ini ada anak yang bernama Alessandro Mantatenga. Tiga puluh tahun mendatang, ketika Alessandro ini mendapat anak laki-laki, dia kemudian merasa marga Mantatenga tidak elok didengar. Dia memutuskan untuk memakai namanya sebagai marga. Anaknya kemudian dinamai Rudy Alessandro. Dan begitu seterusnya. Rudy menamai anaknya Rony Alessandro dan Alessandro kemudian menjadi ‘marga’ Minahasa. Mungkin seratus dua ratus tahun mendatang akan ada orang bermarga Alessandro yang mengklaim bahwa nenek moyangnya berasal dari Italia, karena Alessandro memang nama khas Italia!!!
Jangan lupa pula bahwa marga khas Minahasa kerap dipakai saudara kita yang berlatar belakang etnis Tionghoa sebagai nama belakang, saat proses asimilasi diterapkan pemerintah (populer dengan istilah pinjam fam). Apakah kemudian saudara kita yang aslinya Tionghoa namun karena sudah bermarga Minahasa lalu bisa disebut sebagai orang Minahasa, karena memakai marga Minahasa?
Pak Koapaha kerap menyebut tentang slag-bom (silsilah). Karena itu saya yakin soal sejak kapan marga ini dipakai akan bisa dijawab dengan mudah. Saya sendiri menduga marga atau fam baru dipakai warga Minahasa pada abad ke-18 atau ke-19. Kalau fam itu baru digunakan selang dua ratus tahun terakhir, maka menurut hemat saya ini belum merupakan bukti kuat untuk menunjukkan adanya hubungan antara Bantik dengan Minahasa.


C. Bukti Tertua
Pak Koapaha menyebut tentang Batu Kuangang, yang menurut kajian Drs Uka Tjandrasasmita dari Tim Purbakala Depdiknas sudah berusia 2.500 tahun. Saya tidak meragukan keakuratan penelitian Drs Uka.
Namun jika kemudian Batu Kuangang diklaim sebagai bukti tertua, menurut saya itu tidak terlalu tepat, karena masih ada situs yang jauh lebih tua. Pada tahun 1974 tim purbakala dari Australia yang dipimpin Dr Peter Belwood melakukan penelitian pada situs purbakala di Desa Passo Kecamatan Kakas Minahasa. Sisa-sisa peninggalan berupa lapisan karang, batu berbentuk pisau dan tulang-belulang lalu diteliti di Australia. Hasilnya, situs di Passo diyakini sudah berusia 7.000 hingga 8.000 tahun, atau ribuan tahun lebih tua dari Batu Kuangang.
Situs purbakala itu saat ini berada tepat di bawah gereja GMIM Passo. Paparan soal situs purbakala di Passo pernah disajikan panjang lebar oleh Herman Teguh di harian ini, beberapa waktu lalu.
Karena sejauh ini belum ada situs yang lebih tua, maka ini berarti Minahasa sudah dihuni orang sejak 10.000 tahun lalu. Dan itu terletak di Kakas Minahasa, dan bukan (maaf) di Bantik!!


D. Fiksi dalam Sejarah
Saya cukup terkejut ketika pak Koapaha merujuk ‘teori’ yang dikemukakan Remy Sylado, terutama tentang panglima perang bernama Wan Tek (yang kemudian menjadi Bantek/Bantik?), guna menguatkan penjelasan tentang leluhur Bantik. Saya terkejut karena apa yang dikemukakan Remy Sylado (aslinya bernama Jappy Tambayong), sebenarnya adalah kisah fiksi atau rekaan untuk keperluan pementasan/hiburan.
Dalam cersil yang saya buat secara kebetulan juga ada tokoh bernama Wan Tek, yang berasal dari Tionggoan (Cina kuno) dan merantau ke Malesung. Namun Wan Tek (lengkapnya Wan Tek Kiang) dalam cersil saya adalah tokoh golongan hitam berjuluk Thian-Mo (Iblis Langit) yang memiliki ilmu mengerikan Thian-Mo Kiam-Sut (Ilmu Pedang Iblis Langit).
Wan Tek versi cersil saya adalah fiksi alias khayalan semata, dan begitu pula yang saya yakini dilakukan Remy Sylado. Dalam cersil yang saya buat secara sepintas saya juga menceritakan tentang putri Lu Ming yang ditemani panglima Tho Wang, yang bersama sejumlah kecil orang terdampar di Minahasa, setelah melarikan diri dari Pulau Es di Tionggoan yang terkena tsunami. Namun Wan Tek, Lu Ming dan Tho Wang dalam cersil yang saya buat murni khayalan dan saya sendiri tidak berharap akan ada pihak yang menjadikannya sebagai rujukan, atau sumber informasi.


D. Legenda
Jika menyimak apa yang dipaparkan pak Koapaha, maka pelurusan sejarah Minahasa yang disajikan sebenarnya hanya bersumber pada sejumlah legenda, terutama karangan PA Mendagel (1914), Pdt Matheos Kiroh (1968), Pdt Frederik Abuthan (1977), serta Nelis Mopay dan Arnold Bobanto (1999).
Terkait dengan Batu Kuangang, pak Koapaha bercerita singkat tentang legenda (leluhur?) Bantik bernama Kasimbaha, yang mempersunting putri bungsu dari Kayangan, Utahagi. Pak Koapaha tidak bercerita tentang proses pertemuan antara Kasimbaha dan Utahagi di Perigi Tuju. Namun saya pernah mendengar kisah serupa, dengan person yang berbeda. Yang laki-laki bernama Mamanua, yang bidadari bungsu bernama Lumalundung, dan hasil perkawinan mereka bernama Walansendouw. Anehnya, kisah serupa juga dikenal di budaya Jawa. Yang petani bernama Jaka Tarub, yang bidadari bernama Nawangmulan.
Jadi setidaknya ada tiga cerita tentang petani yang mempersunting bidadari, bidadari ini secara kebetulan adalah bungsu dari tujuh bersaudara, dan pertemuan mereka terkait dengan tempat mandi. Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa ada tiga legenda yang bangun ceritanya sama hanya berbeda nama?
Saya menduga bahwa legenda ini pastilah hanya berasal dari satu sumber, dan dua yang lainnya mengadopsi dan merubah nama. Kalau begitu mana yang paling tua? Batu Kuangang sudah berusia 2.500 tahun. Namun apakah itu berarti kisah ini benar-benar terjadi 2.500 tahun lalu? Dan jika kisah versi Bantik yang paling tua, apakah ini berarti legenda Jaka Tarub di Jawa ‘menjiplak’ versi Bantik, dan bukannya sebaliknya?
Yang menarik adalah, kisah Mamanua-Lumalundung sudah saya dengar sejak SD, dan versi Bantik baru saya ketahui dari paparan pak Koapaha di harian ini. Beberapa rekan yang saya wawancarai secara acak, memperlihatkan raut wajah bingung ketika saya tanya apakah mereka pernah mendengar cerita Kasimbaha-Utahagi. Namun sebagian besar mengaku tahu tentang cerita Mamanua. Beberapa bahkan mengaitkan secara tepat kisah Mamanua dengan tarian Tumatenden.
Pak Koapaha juga bercerita tentang kisah banjir besar (saya tidak terlalu yakin apakah banjir ini sama dengan banjir semasa Bahtera Nuh). Namun di Toulour ada legenda yang berkisah tentang adanya banjir besar. Menurut legenda, banjir ini disebabkan oleh murkanya dewa karena ada dua kakak-adik bertikai. Banjir besar ini meninggalkan tanda mata, berupa Danau Tondano. Beberapa nama seperti gunung Tampusu dan Masarang juga terkait dengan banjir, yang berbeda bentuknya sebelum dan sesudah banjir.
Karena ada pihak yang bisa mengetahui perbedaan antara gunung Tampusu sebelum dan sesudah banjir, maka berarti ada juga warga ‘Toulour’ yang selamat dari banjir, dan bukan hanya Toar, seperti versi Bantik.
Menyangkut leluhur Minahasa yang oleh pak Koapaha dikatakan berjumlah 17 generasi yang berujung pada Toar dan Lumimuut, saya juga pernah mendengar kisah yang serupa tapi tak sama. Seperti yang diungkap Adrianus Kojongian dalam sebuah terbitan, dia memaparkan tentang cerita yang dirangkum Appeles Supit, Kepala Distrik Tondano Toulimambot yang memerintah hingga 1917. Dari hasil wawancara dengan tua-tua Tondano, Supit menyimpulkan kalau leluhur orang Minahasa bernama Naiwakelan, yang beristri Rumengan. Keturunan mereka yang ke-17 bernama Lumimuut sedangkan Toar adalah keturunan ke-18.
Yang ingin saya kemukakan menyangkut legenda ini adalah, kita tidak bisa mengklaim suatu legenda sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya, karena di wilayah lain ada kisah serupa, hanya berubah nama. Bahwa untuk meluruskan sejarah kita tidak bisa bergantung pada legenda, yang bagi generasi muda sekarang dinilai sebagai dongeng pengantar tidur.


E. Sumber Barat
Dalam paparannya pak Koapaha menuding pak Sendoh dan juga alm FS Watuseke salah menafsirkan paparan sejumlah penulis Barat, khususnya menyangkut eksistensi Bantik. Saya tidak bermaksud membela pak Sendoh, yang saya yakini tidak mengenal saya (kendati om Joutje Sendoh mengenal ayah saya dengan baik), namun apa yang dipaparkan pak Sendoh tentang Bantik itu seirama dengan sejumlah literatur tentang Minahasa yang saya baca, baik dalam bentuk materi seminar, buku terbitan resmi dan tulisan di sejumlah situs internet.
Sejauh ini saya belum menjumpai sumber Barat yang mendukung paparan pak Koapaha. Dari yang saya amati pak Koapaha juga jarang menggunakan sumber penulis dari Barat untuk memperkuat argumentasi, kecuali menggunakan sumber Mendagel, Pdt Matheos Kiroh, Pdt Frederik Abuthan, serta Nelis Mopay dan Arnold Bobanto. Kalau toh ada sumber lain, itu berasal dari hasil wawancara dari sejumlah tokoh masyarakat.
Yang membuat saya tidak mengerti adalah, kenapa para penulis Barat (yang sebelum menulis melakukan penelitian mendalam) tidak pernah menyinggung soal eksistensi Bantik yang lebih tua? Saya sudah beberapa kali membolak-balik tulisan Graafland (yang berbahasa Indonesia, karena saya tidak bisa berbahasa Belanda), dan saya tidak menemui sedikit pun tulisan yang mendukung pernyataan pak Koapaha. Sedikitnya 26 kali Graafland menyebut nama Bantik, dua kali menyebut bahwa Bantik datang belakangan, dan dua kali Graafland menulis kalau Bantik itu merupakan budak raja Bolaang Mongondow. Kalau melihat bagaimana ketelitian Graafland dalam mendeskripsikan situasi di Minahasa, maka pernyataan Graafland sangat patut disimak. Apalagi sumber yang dipakai Graafland jelas-jelas lebih tua dari semua sumber yang dipakai pak Koapaha.
Tulisan JAT Schwarz dan JGF Riedel yang kemudian banyak dikutip penulis lokal juga tidak ada yang mendukung teori pak Koapaha. Kenapa bisa begitu? Apakah para penulis Barat ini tidak punya akses ke warga Bantik, ataukah mereka sebenarnya punya akses dan kemudian menyimpulkan sebagaimana yang sekarang dikenal luas, yakni Bantik hanya bergabung belakangan?


Secara pribadi, bagi saya tidak menjadi masalah jika Bantik memang benar paling tua di Minahasa. Bahkan saya sudah berancang-ancang bakal memasukkan waraney asal Walak Bantik dalam cersil yang saya buat (kendati masih terbentur masalah teknis, karena saya tidak punya kenalan pihak yang fasih berbahasa Bantik guna menerjemahkan jurus silat). Namun selama pertanyaan-pertanyaan di atas belum terjawab dengan memuaskan, saya masih akan tetap memakai teori ‘lama’, bahwa komunitas Malesung kuno dibentuk oleh Tontemboan, Tombulu, Toulour dan Tonsea. Dan etnis lainnya baru bergabung belakangan.
Dan satu hal lagi, sebagai generasi muda saya tentu saja senang sekali membaca paparan tentang sejarah Minahasa. Namun kami, generasi yang lebih muda tentu lebih menyukai jika paparan ini disajikan dengan elegan, bermartabat, santun dan penuh bukti ilmiah akademis, dan bukannya disajikan secara emosional dan kekanak-kanakan, apalagi menuding pihak yang berbeda pendapat sebagai orang bodoh!!

Monday, January 12, 2009

Penanggulangan Bencana: Berlayar Sambil Membangun Kapal


Tulisan ini dipublikasi di Koran Lestari edisi Agustus 08, yang disisipkan di Manado Post


BENCANA kini menjadi agenda tetap di Indonesia, termasuk Sulawesi Utara. Namun penanganan bencana oleh pemerintah masih terkesan asal jadi. Inisiatif pemerintah pada berbagai bencana sangat rendah, hingga pada beberapa kasus banjir, misalnya, para korban harus berjuang di bawah hujan lebat tanpa bantuan pangan dari Pemerintah selama berhari-hari. Bantuan penampungan sementara dan non pangan (pakaian, perlengkapan tidur, masak dan kebersihan) bahkan lebih lama lagi.

Sejauh ini ada indikasi, pejabat pemerintah pada semua tingkatan tidak memahami, atau menyederhanakan penanganan bencana sebagai soal tanggap darurat, dan bukan rangkaian sistemik yang mencakup mitigasi, sistem peringatan dini, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Rendahnya inisiatif pemerintah bisa dilihat pada politik budget di APBD yang tidak pro bencana. Ancaman bencana meningkat, tapi anggaran yang tersedia tidak meningkat sesuai kebutuhan. Padahal sumber pendanaan untuk penanggulangan bencana telah ditetapkan undang-undang, yakni dana darurat APBN untuk Pemda (UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 164 ayat 3), dana siap pakai untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB (UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 62 ayat 2), dan APBD (UU No.24/2007 pasal 8 bagian d).

Inisiatif non budget dalam bentuk wacana maupun langkah-langkah mitigasi bencana pada semua sektor juga tidak terlihat. Ini diperparah dengan pembiaran terhadap penghancuran ekosistem yang mempertinggi kerentanan. Lemahnya inisiatif pemerintah tidak hanya terlihat pada bencana yang bersumber dari perusakan lingkungan, tapi juga pada gempa dan letusan gunung api.


Inkonsistensi
Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah cukup siap menghadapi bencana. Paling tidak, jika ukuran kreativitas menciptakan lembaga penanggulangan bencana yang dijadikan ukuran. Dalam delapan tahun terakhir setidaknya sudah tiga badan penanggulangan bencana yang dibentuk.

Pada tahun 2001 dibentuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001. Lembaga ini kemudian digantikan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005. Lembaga ini pun tak bertahan lama setelah pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

BNPB merupakan institusi pemerintah non departemen setingkat menteri yang mempunyai tugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penanganan bencana dan kedaruratan secara terpadu. BNPB dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008.

Kalau BNPB lingkupnya nasional, maka untuk daerah, baik tingkat provinsi atau kabupaten/kota (seharusnya) dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sebagaimana diamanatkan UU no 21 tahun 2008. Sejauh ini BPBD belum dibentuk di Sulawesi Utara, dan belum satu pun kabupaten/kota di Sulut yang melakukannya. Rencana pembentukan BPBD Sulut, sudah diungkap Sekprov Sulut Drs Robby Mamuaja sebagaimana dilansir Harian Metro (02/08/08), kendati tidak dijelaskan kapan persisnya.

Namun pembentukan BPBD bukannya tanpa persoalan. Belum jelasnya mekanisme pengelolaan dana, kekuatiran terjadinya politisasi dalam pelaksanaan uji kelayakan oleh DPRD terhadap para ahli dan profesional yang akan duduk sebagai anggota dalam Badan Pengarah BPBD, dan kemungkinan benturan tingkat eselonisasi yang diatur dalam Undang-undang Penanggulangan Bencana (UU PB no 24 tahun 2007) dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Menurut UU PB pasal 18 ayat 2, BPBD tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat eselon Ib, sementara untuk kabupaten/kota dipimpin pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau eselon IIa. Artinya, ketua BPBD Provinsi akan memiliki eselon yang sama dengan Sekretarais Provinsi, karena menurut PP 41/2007 pasal 34 ayat (1), sekda merupakan jabatan struktural eselon 1b. Begitu juga dengan posisi eselon II untuk ketua BPBD kabupaten/kota, yang setara dengan jabatan sekretaris daerah menurut PP 41/1007 pasal 35 ayat (1).

Anehnya, pembentukan BPBD sama sekali tak disebut-sebut dalam PP 41/2007. Padahal PP ini lahir beberapa bulan setelah UU PB disahkan. Artinya, pemda harus membentuk sebuah badan yang sama sekali tidak disebut-sebut dalam PP tentang Organisasi Perangkat Daerah. Ataukah BPBD bukan perangkat daerah?

Mekanisme pembagian kewenangan dan tanggungjawab antara berbagai unit dan tingkatan pemerintahan maupun antara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) juga belum diatur secara jelas dalam UU PB. Padahal ini penting untuk menjamin penyelenggaraan penanggulangan bencana secara efektif. Pembagian kewenangan dan tanggungjawab yang masih sangat kabur ini bias berimplikasi pada ketidakjelasan pengaturan apa yang harus dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Bukan hanya UU PB yang ‘bermasalah’. Peraturan Presiden (Perpres) No 8/2008 tentang BNPB yang baru saja diparaf Presiden Yudhoyono ternyata memiliki sejumlah kelemahan. Misalnya pasal 9c tentang evaluasi terhadap penyelenggaraan penanggulangan bencana oleh Unsur Pengarah. Kewenangan evaluasi oleh Unsur Pengarah dianggap bakal tak efektif, karena secara structural tidak mungkin Unsur Pengarah melakukan evaluasi pada atasannya, Kepala BNPB.

Ketidakkonsistenan juga terlihat pada Unsur Pelaksana dalam Perpres No. 8/2008 ini (pasal 15), yang tidak memberi peluang bagi masyarakat profesional/ahli dari unsur non-pemerintah. Padahal kehadiran masyarakat professional sudah tertera dalam pasal 15 ayat (3) UUPB.

Sistem akuntabilitas dan transparansi anggaran dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yang belum dijelaskan dengan rinci dalam UUPB juga berpotensi menjadi persoalan. Juga kemungkinan adanya perbenturan antara urusan yang diwajibkan dalam UUPB dengan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Baik UU PB maupun Perpres no 8/2008 hanya berbicara tentang peran pemerintah dan badan yang dibentuk. Bagaimana kontribusi masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana tidak disinggung dan terkesan kabur.

Peran masyarakat
Masih banyaknya kelemahan pada berbagai legislasi tentang bencana, membuat Indonesia termasuk Sulut ibarat berlayar sambil membangun kapal. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Salah satunya adalah secepatnya membentuk BPBD, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Beberapa kendala teknis menyangkut sinkronisasi antara UU PB dengan PP 41/2007 diharapkan bisa teratasi.

Peran masyarakat dalam penanganan bencana juga harus diperbesar. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) no 21/2008, peran masyarakat hanya sebatas mengikuti forum untuk menyusun rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana. Padahal masyarakat dan organisasi non pemerintah bisa berbuat banyak, justru di ‘luar forum’.

Anggaran untuk upaya penanggulangan bencana di daerah juga harus disiapkan dengan bijak. Apalagi di pemerintahan berlaku Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang sangat ketat membatasi program dan kegiatan (nomenklatur atau budget item) baik kepada departemen maupun pemerintah daerah.

Yang paling penting, keseriusan pemerintah dan masyarakat untuk melakukan berbagai persiapan, agar ketika bencana tiba, kita sudah siap. Bencana alam tak akan menunggu dan tak peduli kita siap atau tidak. (*)

Friday, July 4, 2008

Thian Po (Pusaka Langit)

Kisah ini pernah diposting di indozone, cerita silat bersetting Mandarin dengn genre misteri. Cerita ini dibuat setelah saya membaca Da Vinci Code, dan ingin melihat apakah saya bisa membuat cerita misteri yang berbelit. Kisah ini sudah lama sekali tidak diupdate, bahkan saya sendiri sudah lupa bagaimana kisahnya. Semoga setelah diposting di blog ini saya bisa mendapatkan mood untuk membuat lanjutannya....

Bab 1. Darah Mengalir di Pek-Kiam-Pang


LELAKI itu termenung, matanya menatap sang surya yang perlahan memasuki peraduan. Dia mendesah.

Lelaki ini berusia 60 tahun, dengan rambut panjang sebahu yang sebagian sudah memutih. Kulitnya mulai keriput dengan jenggot dan kumis terpelihara. Dia mengenakan jubah panjang berwarna putih.

“Tinggal satu hari, dan semua akan berakhir,” bisiknya. Dia kembali menarik nafas panjang. Kedua telapak tangan digerakkan menutupi wajah. Tinggal satu hari. Semoga saja aku punya waktu.

Dia mendengar seseorang memasuki kamarnya. Dia berpaling. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun mendekat penuh hormat.

“Bagaimana Kai Song?”

“Maaf mengganggu, pangcu. Tamu dari Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai sudah tiba. Begitu juga rombongan dari Siauw-lin-pai dan Bu-tong-pai...”

Lelaki setengah tua yang disapa pangcu ini menganggukkan kepala. “Layani mereka dengan baik. Jamu mereka makan malam. Penginapan untuk para tamu sudah disiapkan bukan? Ada lagi?”

“Emh, mungkin ini tidak penting. Tapi aku pikir pangcu perlu tahu. Rombongan Siauw-lin-pai dipimpin Wat Siok Hosiang, sedangkan rombongan Kun-lun-pai dipimpin Giok Cin Tosu. Berarti tidak ada Ciangbunjin (Ketua) partai besar yang hadir....”

Lelaki setengah tua itu menganggukkan kepala. “Tidak masalah, Kai Song. Aku sudah menduga. Kita harus tahu diri. Pek-kiam-pang bukanlah sebuah perkumpulan besar. Kita justru perlu bersyukur karena partai besar masih mengirimkan wakilnya. Berarti mereka tidak memandang kita dengan sebelah mata...”

“Oh ya, tadi aku sempat berbincang dengan Wat Siok Hosiang. Dia masih tidak percaya kalau pangcu akan mengundurkan diri besok,” kata Kai Song. “Dia bilang, ‘pangcu Can Te Cun masih terlalu muda untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan’. Dia membandingkan dengan Kim Sim Hosiang yang masih menjabat Ciangbunjin Siauw-lin-pai kendati sudah berusia 70 tahun...”

Lelaki setengah tua yang ternyata bernama Can Te Cun ini tersenyum getir. “Wat Siok Hosiang bukan orang pertama yang menanyakan kabar itu. Selang sebulan terakhir aku banyak menerima pertanyaan dari para sahabat. Mereka umumnya tidak yakin kalau aku benar-benar ingin mengundurkan diri. Tapi keputusanku sudah bulat. Lagi pula aku yakin sudah mendapatkan pengganti yang sepadan...”

Kai Song menundukkan kepala. Alisnya berkerut. “Aku berterima kasih karena pangcu berkenan memberikan kepercayaan kepadaku menjadi pangcu yang baru. Namun aku tetap merasa belum pantas. Kepandaian silatku belum memadai...”

“Memimpin sebuah perkumpulan silat tidak hanya dibutuhkan kepandaian tinggi, tapi kematangan berpikir dan kemampuan bertindak tegas dan lugas. Kau punya kharisma, Kai Song, dan aku yakin kau bisa membawa Pek-kiam-pang menjadi lebih besar...”

“Aku masih menganggap Can Han Sin-sute yang paling tepat untuk menjadi pangcu Pek-kiam-pang,” ujar Kai Song.

Te Cun memejamkan mata dan tanpa sadar menggelengkan kepala. “Cucuku Han Sin masih terlalu muda. Usianya belum 25 tahun. Mungkin kelak dia bisa menjadi pangcu Pek-kiam-pang, siapa tahu. Namun untuk saat ini, tidak ada yang pantas selain engkau.”

Kai Song terdiam, masih menunduk.

“Sebaiknya kau temani para tamu. Katakan aku kurang enak badan, jadi tak bisa menemui mereka.”

Kai Song mengangguk dan dengan penuh hormat meninggalkan kamar.

Te Cun perlahan mendekati jendela. Kamarnya yang terletak di lantai dua memungkinkan dia melihat sekeliling. Di bagian depan beberapa lelaki sedang membuat panggung untuk acara besok. Yang lain sedang menyiapkan dekorasi. Di sebelah kanan, sekitar 30 tombak dari panggung terlihat belasan rumah sederhana berjejeran.

Rumah-rumah itu dibangun sejak sebulan lalu khusus untuk penginapan para tamu. Seperti yang dia duga, banyak undangan yang datang beberapa hari sebelum perayaan. Sebagai tuan rumah yang baik dia tentu saja harus menyediakan sarana penginapan dan makan minum.

Sebagian besar rumah-rumah itu kini sudah dipasangi lampu. Samar terdengar gelak tawa yang berasal dari halaman, berpadu dengan bunyi papan yang dipotong.

Te Cun kembali menarik nafas panjang, dan memejamkan mata. Tinggal sesaat lagi. Semoga saja aku punya waktu...

***

KIANG Cu Ge menguap, menatap rekan-rekannya yang sedang menyelesaikan panggung. Matahari sudah sejak tadi terbit dari peraduannya.

Dia kemudian pura-pura menyibukkan diri ketika melihat Kai Song berjalan ke arah mereka. Sudah bukan rahasia lagi kalau Kai Song telah ditetapkan sebagai pangcu yang baru, menggantikan Can Te Cun yang bakal mengundurkan diri sebentar lagi.

“Kenapa belum ada tamu yang ke ruang makan?” terdengar Kai Song bertanya.

Tidak ada yang menjawab, karena mereka memang tidak tahu. Mereka hanya saling pandang.

“Emmm, mungkin mereka belum bangun. Sejak tadi aku belum melihat satu pun para tamu...” Rekan Cu Ge, A-Kiu menjawab.

“Belum bangun? Sejak tadi?” tanya Kai Song. Dia lalu berpaling kepada Cu Ge, A Kiu dan Cun Bun. “Kalian temui para tamu. Katakan sarapan sudah tersedia. Ingat, bersikaplah sopan.”

Tanpa menjawab ketiga lelaki ini berjalan tergesa.

“Huh, anggota partai terkenal ternyata punya kebiasaan bangun terlambat ya?” ujar Cu Ge. Namun kedua rekannya hanya berdiam diri, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Cu Ge mendekati rumah terdekat. Nyala lampu masih terlihat. Jendela masih tertutup rapat.

“Maaf, permisi, selamat pagi….” Ujar Cu Ge sambil mengetuk pintu. Dia berdiam diri, menanti jawaban. Tak terdengar jawaban dari dalam rumah.

Dia kembali mengetuk, dengan perlahan namun cukup nyaring. Seingat dia, rumah ini ditempati para tamu dari Kun-lun-pai. Karena mereka berilmu tinggi, seharusnya ketukan ini bisa membangunkan mereka.

Kembali tidak terdengar sahutan. Perlahan Cu Ge mendorong pintu. Ternyata tidak terkunci. Dia kemudian mencium bau, bau amis yang aromanya terasa akrab.

Cu Ge melangkah, dan tiba-tiba merasa kaki kanannya menginjak sesuatu yang lengket. Dia menoleh ke bawah, dan terkejut. Dia menginjak genangan darah!!

Dengan hati-hati dia melangkah. Lantai rumah yang terbuat dari campuran pasir kasar dan batu halus dipenuhi darah, yang memancarkan aroma menusuk.

Pandangannya kemudian tertuju pada dua sosok lelaki yang terbaring terlentang. Mata mereka melotot, dengan wajah seperti terkejut. Tenggorokan mereka berlubang dan darah mengalir dari luka itu.

Kiang Cu Ge menutup mata, mengatur nafas, mencoba menghilangkan rasa mual yang tiba-tiba muncul. Lututnya terasa goyah, namun dia memaksakan diri melangkah. Menuju ke kamar.

Rumah yang dibangun secara darurat dan sederhana ini hanya memiliki satu buah kamar, yang berukuran sekitar empat kali empat tombak. Pintu kamar terbuka. Seorang lelaki berusia 40-an tahun terbaring terlentang. Separuh tubuhnya di atas tempat tidur, separuh lainnya di lantai. Kedua matanya juga melotot, dan lubang besar terlihat di tenggorokan, seperti bunga mawar yang merekah. Tangan kanannya memegang pedang. Dia rupanya mencoba melawan, namun ajal lebih dulu menjemput.

Perlahan Cu Ge berbalik. Dadanya berdebar dan terasa sesak. Pemandangan ini sangat luar biasa sehingga untuk sesaat dia berharap hanya bermimpi. Namun ini bukan mimpi. Ini nyata. Rombongan dari Kun-lun-pai tewas dengan tenggorokan berlubang.

Perlahan dia berjalan ke pintu, melangkah hati-hati mencoba menghindari genangan darah. Usahanya sia-sia. Sepatu rumput dan bagian bawah celana panjangnya kini berubah warna menjadi merah. Dan terasa lengket.

Cu Ge membuka pintu. Dia melihat rekannya Cun Bun muncul dari rumah sebelah, rumah yang ditempati rombongan dari Hoa-san-pai. Raut wajah Cun Bun pucat pasi, seperti baru melihat hantu. Kedua tangan Cun Bun berlumuran darah.

Cun Ge merasa bagian belakang tubuhnya meremang. Dia merinding. Melihat raut wajah rekannya, dan melihat darah di telapak tangan Cun Bun, Cu Ge tiba-tiba dihinggapi perasaan aneh. Tanpa bicara Cun Bun telah mengatakan satu hal: Rombongan Hoa-san-pai juga telah tewas.

Tiba-tiba terdengar jeritan histeris. Jeritan seorang lelaki, diikuti terbukanya pintu. A-kiu menjerit berlarian. Wajahnya pucat seperti kertas.

“Matiiii… mereka mati……” A-kiu berlari seperti orang gila, diikuti Cun Bun dan Cu Ge, yang memaksakan diri berlari kendati merasa tubuhnya lemas.

“A-kiu… apa-apaan kau…. Siapa yang mati…” tanya Kai Song.

“Mereka mati… Tewas…. Semuanya….” teriak A-kiu. Matanya terbelalak, wajahnya dipenuhi peluh. Dia kemudian berlari, memasuki rumah, berteriak seperti dikejar setan.

“Mati…. Semua mati…..”

Kai Song segera melompat dan berlari ke arah rumah yang ditempati para tamu, diikuti beberapa laki-laki yang tadi sedang menyelesaikan pembuatan panggung.

Pagi yang tadinya tenang berubah menjadi kacau balau. Teriakan A-kiu masih terdengar samar. Orang-orang berlarian, sebagian dengan raut wajah bingung.

Keributan ini didengar Can Te Cun, yang sedang bersemadi di kamarnya di lantai dua. Teriakan A-Kiu menjelaskan semuanya. Mereka telah mati. Para tamu telah tewas. Tewas dibunuh.
Jantung Te Cun berdetak keras. Mereka telah datang. Mereka tahu.

***


PARA anggota Pek-kiam-pang segera membuka jalan ketika melihat Can Te Cun datang. Wajah sang pangcu pucat pasi, dan terlihat letih.

“Bagaimana Kai Song?” tanya Te Cun setengah berbisik.

“Para tamu tewas. Semuanya,” kata Kai Song.

“Semuanya? Termasuk tamu dari Siauw-lin-pai?”

“Semua. Juga Wat Siok Hosiang dan ketiga anak buahnya.”

Can Te Cun mendesah, seperti ingin membuang semua beban yang menghimpit di dada. Dia kemudian berjalan, dan memeriksa. Seorang pemuda berwajah tampan tiba-tiba muncul dan melompat dari atap rumah yang ditempati rombongan Hoa-san-pai.

“Aku telah melakukan pemeriksaan, kong-kong (kakek). Tidak ada genteng yang rusak. Juga tidak ada jendela yang dibuka paksa. Agaknya para pembunuh masuk melalui pintu depan,” kata si pemuda.

Te Cun mengangguk, mencoba tersenyum. “Bagus Han Sin. Apa lagi yag kau temukan?”

“Para pembunuh pastilah berilmu tinggi. Para saudara yang membuat panggung bekerja hingga dini hari, namun tidak mendengar atau melihat hal-hal mencurigakan. Tidak terdengar bunyi perkelahian, tidak terdengar jeritan kesakitan,” ujar Han Sin.

Te Cun memejamkan mata. Tentu saja mereka berilmu tinggi. Dan mereka bisa datang seperti angin. Anak buahnya yang ilmunya jauh lebih rendah pasti tidak bisa mendengar apa-apa.

“Ada lagi?” kata Te Cun. Suaranya terdengar seperti mengambang.

“Para tamu semua tewas, namun dengan sebab yang berbeda. Rombongan dari Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai tewas oleh pedang. Tamu dari Siauw-lin-pai tewas karena pukulan di kepala. Rombongan dari Kong-tong-pai terkena pukulan di dada, dan tamu dari Hek-tiauw-pang tewas terkena pukulan di kepala. Aku belum memeriksa tamu yang lain…”

“Huh, Hek-tiauw-pang biasa membunuh dengan jurus cakar, kini mereka tewas dengan ilmu cakar…..” Suara itu terdengar dari belakang. Entah siapa yang bicara.

Han Sin tiba-tiba terlonjak kaget, seperti disengat petir. “Ah benar sekali….Kenapa tidak terpikir dari tadi?”

“Apa maksudmu Han Sin?” tanya Te Cun.

“Aku pikir… Aku pikir…. Aku tahu kenapa para tamu tewas dengan sebab yang berbeda…”

“Maksudmu?”

“Mereka, para tamu, tewas oleh ilmu silat andalan mereka… Rombongan Hek-tiauw-pang misalnya. Aku yakin mereka tewas oleh ilmu cakar yang disebut Jing-mo-jiu (Tangan Hantu Hijau) yang mereka andalkan. Sedangkan rombongan Kong-tong-pai aku yakin tewas terkena ilmu Pek-lek-sin-jiu (Pukulan Halilintar)….. Kong-kong pernah bercerita kalau Pek-Lek-sin-jiu adalah ilmu andalan Kong-tong-pai, berupa pukulan dengan telapak tangan yang mengandung hawa panas bukan?”

Te Cun memandang wajah Han Sin yang terlihat bergairah. Cucunya ini ternyata jauh lebih cerdik dari yang dia duga. Ada harapan, pikirnya.

“Kong-kong? Kenapa?” tanya Han Sin setelah melihat sang kakek seperti sedang melamun.

“Eh, apa? Oh ya. Kemungkinan itu bisa saja. Jadi rombongan Bu-tong-pai dan lainnya juga tewas oleh ilmu mereka?”

“Aku pikir Han Sin-sute benar, pangcu. Rombongan Kun-lun-pai tewas dengan luka tusukan di tenggorokan. Aku menduga mereka diserang dengan jurus Ci-gi-tong-lay (Pelangi Melintas dari Timur) dari Kun-lun Kiam-Hoat (Ilmu Pedang Kun Lun).”

“Benar, suheng. Sementara rombongan Bu-tong-pai tewas dengan tubuh terbelah. Aku yakin mereka diserang dengan jurus Liu-sing-kan-goat (Bintang Meluncur Memburu Rembulan) dari Bu-tong Kiam-hoat,” kata Han Sin. Matanya berbinar.

“Bagaimana dengan rombongan Siauw-lin-pai?”

“Mereka tewas dengan kepala berlubang, kong-kong. Ada tiga lubang. Aku yakin tiga lubang itu bekas tiga jari. Aku menduga mereka diserang dengan jurus Yu-co-an-hoa-chiu (Pukulan Menembus Bunga), dari Kin-na-chiu-hoat (Ilmu menangkap dan Mencengkeram) yang terkenal itu.”

Te Cun memejamkan mata, dan menunduk. Dia kemudian menarik nafas panjang. Berkali-kali.

“Apakah kong-kong dapat menduga siapa kira-kira yang melakukan pembunuhan keji ini? Dia atau mereka berilmu tinggi dan menguasai bermacam ilmu. Pasti tidak sukar untuk mencari mereka, karena yang menguasai bermacam ilmu tinggi pasti tidak banyak…”

Te Cun menggelengkan kepala. “Nanti kita bicarakan lagi. Yang utama, kita urus dulu jenasah mereka. Segera buat peti mati. Kalau papan tidak cukup, ambil papan dari rumah-rumah ini. Kemudian kita pikirkan bagaimana mengirimkan jasad ini ke tempat asal mereka.”

“Karena tempatnya cukup jauh, aku pikir sebaiknya kita menggunakan jasa piaukiok. Emmm, mungkin kita bisa menghubungi Lok Yang piaukiok yang berada di Kota Lok Yang. Mereka punya reputasi bagus,” ujar Kai Song.

Te Cun mengangguk setuju. Lok Yang piaukiok merupakan perusahaan jasa pengiriman yang terkenal di dunia kang-ouw. Pimpinan mereka, Tan Leng Ko berilmu tinggi namun rendah hati. Sejauh ini dia tidak pernah mendengar kabar buruk tentang barang yang dibawa Lok Yang piaukiok.

“Kau aturlah. Hubungi mereka dan tanya berapa biayanya. Katakan terus terang bahwa yang akan dikirim adalah jenasah. Kita akan membayar berapa pun yang mereka minta. Usahakan agar Tan Leng Ko bisa turun tangan sendiri, melakukan pengawalan…”

Kai Song mengangguk dan segera memberi perintah kepada anak buahnya. Sebagian anggota Pek-kiam-pang meneruskan pembuatan panggung. Namun suasana telah berubah.

***

TE Cun memanggil Kiang Cu Ge. Kedua lelaki ini berjalan perlahan, memasuki rumah dan beranjak ke lantai dua. Di kamar Te Cun segera mengunci pintu.

Tanpa bicara dia kemudian membuka laci sebuah lemari yang terletak di sudut. Te Cun mengambil sebuah sampul surat.

“Berikan surat ini kepada Han Sin. Namun ingat, surat ini baru kau berikan setelah kalian berada di tempat itu. Kau mengerti?”

Cu Ge mengangguk. Tak tahu harus bicara apa.

“Kau masih ingat bagaimana cara memasuki tempat itu bukan? Ingat, lakukan secara diam-diam. Nyawa kalian taruhannya.”

Kembali Cu Ge mengangguk, kendati tidak sepenuhnya mengerti. Pangcu menitipkan surat bersampul. Kenapa tidak memberikannya sendiri? Bukankah surat itu akan diberikan pada cucu kandungnya sendiri?

“Sebenarnya aku bisa memberikan surat ini secara langsung. Tapi terlalu berbahaya,” kata Te Cun seolah mengetahui apa yang ada di benak Cu Ge. “Sekarang pergilah. Ingat, sesudah makan siang, kau ajak Han Sin ke tempat itu. Dan patuhi apa yang aku pesankan di surat,” tambah Te Cun.

Cu Ge mengangguk dan berpaling.

“Cu Ge, tunggu….” Cu Ge berpaling dan terkejut melihat kedua mata pangcunya basah.

“Cu Ge, berjanjilah bahwa kau akan melakukan perintahku…”

“Aku berjanji, pangcu. Bahkan aku siap bersumpah jika itu membuat pangcu merasa lebih baik…”

Te Cun mencoba tersenyum, dan mengerjapkan matanya. “Kau tidak perlu bersumpah. Aku percaya sepenuhnya padamu. Kalau tidak….” Te Cun menggelengkan kepala. “Kau pergilah….”

Perlahan Cu Ge membuka pintu. Tangan kanannya meraba surat yang diselipkan di saku pakaian. Dadanya berdebar.

Te Cun menatap Cu Ge yang menuruni tangga. Dia kemudian menutup pintu. Mereka sudah tahu. Rencana terpaksa dirubah. Dia mendesah. Semoga Thian mengampuni aku…

***

KAI Song mengawasi belasan anggota Pek-kiam-pang yang sedang membuat peti mati. Ada 21 peti yang harus dibuat. Peti mati untuk 21 tamu yang tewas secara misterius.

Tewasnya para tamu membuat suasana di Pek-kiam-pang berubah total. Tidak ada lagi keceriaan. Canda tawa sudah lenyap bagai ditiup angin. Yang ada rasa gundah, rasa penasaran dan ketidakmengertian.

Selain rombongan dari lima partai besar, yakni Siauw-lin-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan Kong-tong-pai, ada enam rombongan dari Bu-san-pang, Tiam-jong-pang, Hek-tiauw-pang, Thian-sang-pang, Kie-keng-pang dan Giok-hwa-pang yang datang. Semuanya tewas.

Kai Song menarik nafas panjang. Tewasnya para tamu pasti akan berbuntut panjang. Entah bagaimana caranya menjelaskan pembunuhan ini kepada ciangbunjin dan pangcu sejumlah partai dan perkumpulan. Bagaimana pun, mereka tewas sebagai tamu Pek-kiam-pang. Otomatis Pek-kiam-pang harus bertanggungjawab. Dan jika Can Te Cun benar-benar mengundurkan diri, maka tanggung-jawab itu harus dipikulnya.

“Yah, jika aku benar-benar menjadi pangcu, mau tidak mau tanggung-jawab itu harus kupikul,” pikir Kai Song. Keputusan Can Te Cun memilih Kai Song sebagai pangcu pengganti tidak menimbulkan riak. Kai Song adalah murid pertama dari lima anggota yang menjadi angkatan pertama. Dia sudah menjadi anggota Pek-kiam-pang selama 15 tahun, sejak hari pertama perkumpulan ini didirikan.

Ketika Can Te Cun mengungkapkan niatnya mundur sebagai pangcu, hanya ada dua nama yang muncul sebagai calon pengganti. Kai Song dan Can Han Sin. Awalnya Kai Song mengira Te Cun akan memilih Han Sin. Suatu pilihan yang bisa dipahami karena Han Sin sudah mewarisi semua ilmu kepandaian sang kakek. Dia juga tidak sombong dan sangat cerdik.

Namun Te Cun ternyata memilih Kai Song. Dan pilihan itu diumumkan secara terbuka.

“Sekarang aku mengerti kenapa pangcu memilih aku,” pikir Kai Song.

Jika Han Sin terpilih, dia pasti akan menemui kesulitan jika harus menjelaskan pembunuhan ini kepada para ciangbunjin dan pancu partai dan perkumpulan besar. Biar bagaimana pun, di dunia persilatan Han Sin masih tergolong anak kemarin sore.

Kai Song kembali menarik nafas panjang. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya jika para ciangbunjin dan pangcu bertanya tentang identitas pembunuh. Menurut Han Sin, dan dia pikir hal itu ada benarnya, para tamu tewas terkena pukulan andalan yang mereka kuasai. Jika dia salah bicara, pasti akan timbul salah paham. Dan akibatnya bisa sangat fatal.

Namun siapa sebenarnya para pembunuh? Jika mereka ingin membunuh, kenapa harus dilakukan saat mereka berada di wilayah Pe-kiam-pang? Kai Song berpikir keras. Alisnya berkerut.

Atau, pembunuhan itu merupakan peringatan untuk Pek-kiam-pang? Dada Kai Song tiba-tiba berdetak kencang. Peringatan untuk Pek-kiam-pang!! Tapi kenapa? Dan apa alasannya?

Dia kemudian teringat raut wajah pangcu Can Te Cun ketika mendatangi lokasi pembunuhan. Te Cun terlihat terpukul, sangat terluka, namun jelas sekali Te Cun tidak terlihat kaget atau terkejut. Seakan-akan dia sudah menduga kalau hal ini akan terjadi.

Apakah pembunuhan ini ada hubungannya dengan niat Te Cun mengundurkan diri sebagai pangcu? Kai Song tiba-tiba merasa kepalanya pening. Terlalu banyak kemungkinan, namun hanya sebatas kemungkinan, tanpa fakta.

Pembuatan peti mati sudah hampir rampung. Sebagian anggota perkumpulan kini sibuk merubah dekorasi. Kain berwarna merah menyala dicabut, diganti warna putih. Suasana berkabung kini terasa.

“Usahakan pekerjaan sudah selesai sebelum makan siang,” ujar Kai Song. Jika upacara pengunduran diri Te Cun sebagai pangcu benar-benar akan dilaksanakan, maka upacara bisa dilakukan sesudah makan siang, sebelum para tamu yang sudah mendengar pembunuhan ini berdatangan.

“Aaaaaarrrrrgggghhh.....” Suara itu terdengar nyaring membelah suasana. Jeritan kesakitan. Dan datangnya dari kamar di lantai dua.

”Astaga, pangcu....” Kai Song yang tahu persis suara pangcunya segera melompat. Tangan kanannya kemudian menotol dinding dan dalam sekejap dia masuk melalui jendela kamar. Hampir bersamaan waktunya dengan Can Han Sin yang datang dari arah berlawanan.

Pemandangan yang terpampang nyaris membuat Kai Song dan Han Sin pingsan. Mereka melihat Te Cun, tergolek di kursi. Kepalanya rebah ke kiri, dengan leher hampir putus. Darah membanjiri baju putih yang dia kenakan. Tangan kanannya memegang sebilah pedang berlumuran darah.

“Kong-kongggg....” Han Sin menubruk kakeknya. Tubuhnya masih hangat. Namun nafasnya telah putus.

“Pangcu....” bisik Kai Song lirih dan tak percaya. Pangcunya bunuh diri, menggorok lehernya sendiri dengan Pek-kiam (Pedang Putih) yang selama ini digunakannya untuk menumpas para penjahat.

“Kong-kong, kenapa.... kenapa....” Han Sin berlutut di depan kakeknya, mengguncang lengan kiri kuat-kuat, seakan dengan mengguncang dia akan mendapatkan jawaban.

Kai Song mengarahkan pandangannya, melihat kalau-kalau ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Pandangannya tertuju pada sehelai kertas berwarna putih disertai sebuah pit (pena). Kertas itu ditindih sebuah batu kumala kecil.

Dia mengambil kertas itu, yang ternyata berisi pesan terakhir Can Te Cun. Kai Song menyerahkan surat ini kepada Han Sin.

Isi surat itu pendek, dan ditujukan kepada mereka berdua.


Kai Song dan Han Sin, maafkan aku.
Aku telah mencoba, tapi sudah terlambat. Mereka sudah tahu.
Kai Song, pimpinlah Pek-Kiam-Pang, contohi air yang mengalir
Han Sin, ikuti petunjuk.
Kelak, kalian berdua akan mengerti.
Sekali lagi, maafkan aku. Can Te Cun.


Han Sin membaca surat itu sekali lagi, dan mengulangi lagi. Namun surat itu justru membuatnya makin bingung. Dia mengangsurkan surat itu kepada Kai Song. Kai Song menggelengkan kepala.

“Kau simpan saja surat itu, Han Sin-sute...”

“Aku tidak mengerti, suheng. Apa maksud kakek? Kenapa dia mengatakan sudah terlambat?”

“Aku juga tidak mengerti, sute. Tapi aku pikir ini pasti ada hubungannya dengan pembunuhan yang menimpa para tamu.”

“Dan kakek menulis ‘mereka sudah tahu’. Mereka siapa??” Keduanya terdiam, merenung, tanpa jawaban.

“Dari semua yang ditulis kakek, hanya ada satu hal yang jelas. Yakni suheng diminta memimpin Pek-kiam-pang. Berarti kakek tetap menginginkan suheng menjadi pangcu...”

“Agaknya begitu, sute...” jawab Kai Song. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa kerongkongannya seperti tercekik.

Sejumlah anggota Pek-kiam-pang kini memasuki kamar. Suasana gaduh. Kai Song segera memerintahkan anak buahnya mengatur jenasah Can Te Cun. “Siapkan peti mati untuk pangcu kita. Peti mati yang paling bagus.....”

Sementara Han Sin menuruni tangga seperti bermimpi. Apa yang terjadi hari ini benar-benar luar biasa dan sama sekali tak terbayangkan. Para tamu tewas, semuanya berilmu tinggi, perwakilan partai dan perkumpulan ternama. Dan kini kakeknya tewas. Bunuh diri. Dan meninggalkan surat yang tidak dimengerti.

Kenapa kakek bunuh diri? Benarkan terkait dengan pembunuhan para tamu? Bagaimana kaitannya, dan kenapa?

Han Sin membaca kembali surat itu. Membaca berulang-ulang pesan terakhir yang ditujukan untuknya.. Ikuti petunjuk. Ikuti petunjuk. Tapi petunjuk apa? Dia menggelengkan kepala dengan putus asa. (Bersambung)

Wednesday, July 2, 2008

Glady Kawatu: Seks itu Indah



Tulisan ini pernah dimuat di Harian Metro, dan sempat menghebohkan, terutama karena yang disampaikan Glady termasuk sensitif untuk kalangan pejabat, yakni seks. (Setelah tulisan ini dimuat, Glady mendapatkan banyak sekali telepon yang menanyakan soal artikel ini). Glady saat itu Humas Pemkab Minahasa, sekarang baru saja dimutasi menjadi Kepala Badan PMD. Sesudah Kabag Humas dia dipercaya menjadi Kadis Infokom....


GLADY
Kawatu SH MSi membelalakkan matanya yang indah ketika METRO mengatakan tidak akan bertanya tentang pemerintahan, tapi soal kehidupan pribadi.

"Ado, apa lei komang angko mo tanya," ujar Glady. Kabag Humas Pemkab Minahasa ini tertegun dan sedikit tersipu ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan, yakni pendapatnya tentang seks.

"Aduh, seks? Emhh, apa kang? Ya, seks itu indah no," katanya sambil mengulum senyum.

Dia kemudian duduk bersandar di kursi. Kedua tangannya merapikan rambut ke belakang. "Menurutku, seks merupakan anugerah Tuhan yang sangat luar biasa," katanya lagi. Karena merupakan anugerah Tuhan, lanjut ibu dari Delano ini, dia dan suami berusaha menikmati, kendati ada kendala serius, terutama karena sang suami, Danny Pinasang, saat ini tak berada di Sulut karena sedang studi S2 di Yogyakarta.

Tidak kesepian? Glady kembali merapikan rambutnya dengan kedua tangan (rupanya merapikan rambut merupakan kebiasaan Glady jika sedang berpikir, atau jika dia sedang 'salah tingkah'). "Untung saja sebagai humas saya cukup sibuk. Tapi, memang kadang-kadang datang juga rasa sepi," kata dia.

Karena itu, lanjutnya, dia dan suami sudah punya kesepakatan soal pertemuan. "Kita deng peitua so baku ator, paling lama baku pisah satu bulan stenga. Lebe dari itu, dia yang musti datang ato kita yang pigi," katanya.

Karena sang suami kecil kemungkinan untuk bisa datang, biasanya Glady yang berkunjung ke Jogya, kendati membuatnya harus merogoh kocek dalam-dalam. "Lantaran itu kalu baku dapa, kita ja bilang pa peitua, torang pe pertemuan ini sangat mahal," katanya sambil tertawa kecil.

Selain berangkat di waktu libur, Glady juga kerap meluangkan waktu ke Jogya jika kebetulan ditugaskan atasannya ke Jakarta atau Bandung. Karena itu Glady mengaku bersyukur karena para atasannya, mulai dari Asisten, Sekdakab hingga Bupati, bisa 'memahami'. "Perna bapak bupati ba telepon, tanya di mana. Kita bilang di Jogja, kong bapak bilang 'sorry so ba ganggu kote', kong se putus tu telepon. Kita komang tu ilang slak. Kita langsung telepon pa bapak, kage ada yang penting," cerita Glady dengan mata menerawang.

Ketika METRO mengingatkan bahwa Glady pernah mengeluh sakit belakang setelah pulang dari Jogya, dia terdiam. Jangan-jangan karena salah gaya? Glady kembali membelalakkan matanya. "Salah gaya? Aduh, nyanda komang. Mungkin lantaran so lama jadi so kaku," jawabnya sambil tersenyum penuh arti.

Tanya jawab soal seks rupanya cukup menyenangkan bagi Glady. Ketika METRO sudah kehabisan bahan pertanyaan, dia dua kali 'memancing'. "Ada lagi tu mo tanya?"

Jadi seks itu indah? Glady mengangguk. Apalagi kalau dilakukan dengan orang yang dicintai, kang? Glady cepat-cepat menganggukkan kepala. "Oh pasti. Itu syarat utama," kata Glady. Kali ini dengan mimik serius.(*)

Orang Minahasa Keturunan Suku Israel yang Hilang?



Tulisan ini pernah dimuat di tabloid Mimbar Bersama, berisi teori 'aneh', bahwa ada kemungkinan orang Minahasa itu merupakan bagian dari suku Israel yang hilang. Karena namanya teori, wajar jika terkesan tidak masuk akal......


UMUMNYA sejarahwan sepakat kalau nenek moyang orang Minahasa berasal dari Cina atau Jepang. Namun kini ada teori baru, yang mungkin terdengar aneh dan tak masuk akal. Bahwa ada kemungkinan, nenek moyang orang Minahasa adalah suku-suku Israel, yang lazim disebut ‘suku Israel yang hilang’.

Teori atau hipotesis ini disampaikan seorang pemerhati budaya, yang sayang sekali menolak namanya dipublikasikan. Mungkin karena merasa teori yang dikemukakannya ini tidak lazim.

Menurut Tole Mantatenga—sebut saja namanya begitu, kemungkinan nenek moyang Minahasa berasal dari suku Israel yang hilang, berdasarkan apa yang menurutnya beberapa kesesuaian antara kekhasan masyarakat Minahasa dengan kebiasaan para suku Israel.

Dia mencontohkan soal pakasaan atau walak yang eksistensinya mirip dengan suku-suku di Israel pra kerajaan. Pakasaan di Minahasa menganut sistim otonomi, sama halnya dengan suku-suku Israel. Pakasaan dipimpin kepala walak melalui mekanisme pemilihan, sama halnya dengan para ketua suku Israel kuno.

Pakasaan Minahasa kuno, kendati hidup otonom, namun bisa mengikatkan diri menjadi satu kesatuan jika menghadapi bencana atau ancaman musuh, sama halnya dengan yang biasa dilakukan Israel sebelum menjadi kerajaan.

Tole juga menyorot peran Walian, pemuka agama kuno Minahasa yang (menurut penilaiannya) mirip dengan peran Imam Israel kuno. Atau kebiasaan mendirikan batu tumotowa, semacam ‘tugu’ peringatan berdirinya suatu wanua yang mirip dengan yang biasa dilakukan suku-suku Israel sebelum memasuki Kanaan. Begitu juga dengan upacara mempersembahkan korban kepada Pencipta yang agak-agak mirip, dan beberapa hal lain.



Israel yang hilang

Sebelum lanjut, siapa sebenarnya yang dikenal dengan ‘suku Israel yang hilang’ itu? Sampai sekarang, keberadaan ‘suku Israel yang hilang’ ini masih menjadi perdebatan para ahli teologi, yang kadar misterinya setara dengan pertanyaan: Di mana ‘Tabut Perjanjian’ sekarang.

Menurut sejarah, kerajaan Israel Raya yang besar dan megah semasa pemerintahan Raja Daud dan Salomo pecah menjadi dua, di masa pemerintahan Raja Rehabeam, putra Salomo, sekitar tahun 931 sebelum Masehi (sM). Sepuluh suku memisahkan diri mendirikan kerajaan Israel Utara, dengan Yerobeam sebagai raja pertama. Sedangkan sisanya, suku Yehuda dan Benyamin (bersama segelintir masyarakat 10 suku yang setia dan tidak mau memisahkan diri), kemudian dikenal dengan kerajaan Israel Selatan atau Yehuda, yang diperintah oleh dinasti Daud.

Kerajaan Israel Utara (yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Israel) dengan ibukotanya Samaria kemudian dikalahkan bangsa Asyur, sekitar tahun 722 sebelum Masehi. Sebagian besar penduduknya dibuang ke negeri asing, dan sebagai gantinya, Asyur mendatangkan bangsa lain ke Samaria dan sekitarnya.

Kerajaan Yehuda juga akhirnya dikalahkan, sebagian besar penduduknya dibuang ke Babel, dan Yerusalem dirobohkan, sekitar tahun 587 sM. Namun berbeda dengan masyarakat Yehuda yang akhirnya bisa kembali ke negeri asalnya, maka penduduk 10 suku bekas anggota kerajaan Israel yang dibuang Asyur itu tidak pernah kembali, sampai sekarang.

Keberadaan para keturunan suku Israel yang dibuang itu –yang dikenal dengan istilah ‘suku Israel yang hilang’--kemudian menjadi bahan spekulasi. Ada dongeng yang menyebutkan, sebelum Yesus menyatakan diri dan dibaptis Yohanes, Ia terlebih dahulu melanglangbuana, mencari di mana keberadaan keturunan 10 suku itu.

Ada juga laporan yang menyebutkan, di beberapa kawasan di India, Pakistan dan Bangladesh, ada suku-suku yang memakai nama mirip dengan nama-nama Israel. Ada juga tulisan yang menyebut bahwa orang Jepang sekarang adalah keturunan suku Israel yang hilang itu.

Beberapa ritual Jepang konon sangat mirip dengan yang dilakukan bangsa Israel kuno. Kaum Mormon malahan percaya kalau suku Israel ini tinggal di Amerika. Tidak jelas apakah yang dimaksudkan adalah suku Indian, atau suku lain.

Mungkin sekali, teori yang digagas Tole seperti yang disebutkan di atas, terinspirasi dari hal-hal itu. Bahwa mungkin saja, atau ada kemungkinan, nenek moyang orang Minahasa adalah masyarakat Israel kuno yang diasingkan bangsa Asyur.

Bahwa setelah kekuasaan Asyur melemah, para keturunan suku Israel ini berpindah tempat. Tidak lagi kembali ke daerah asal, tapi ke negeri asing. Bukan tidak mungkin ada yang sampai ke Cina, dan dari sana ada yang kemudian pindah ke Minahasa. Bisa saja.

Israel baru


Jadi nenek moyang orang Minahasa itu adalah suku Israel yang hilang? Bisa ya, bisa tidak. Mudah-mudahan ada yang berkeinginan melakukan penelitian ilmiah soal ini, dengan memparalelkan beberapa kekhasan orang Minahasa dengan suku Israel kuno.

Yang jelas, bagi orang Minahasa yang percaya kepada Kristus, hal ini tidak terlalu penting. Karena dengan percaya kepada-Nya, otomatis kita menjadi anggota Kerajaan Israel Baru. Dengan kata lain, orang Minahasa sekarang memang ‘keturunan’ orang Israel. Bukan secara fisik, tapi secara rohani. Kalau soal ini, saya yakin banyak yang setuju. Oi to? (*)

Pake cidako, tolu, loto....

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Telegraf dan tabloid Mimbar Bersama, disarikan dari tulisan N Graafland


PAKAIAN seperti apa yang digunakan masyarakat Minahasa ratusan tahun yang lalu? Jenis mode seperti apa yang ‘trend’ waktu itu?

N Graafland, pendeta dari Belanda yang bertahun-tahun tinggal di Minahasa mencatat, di pertengahan tahun 1800-an, masyarakat Minahasa sudah ada yang mengenakan sarung dan kebaya. Sebagian hanya mengenakan sarung yang diikatkan di atas dada.

Sebagian laki-laki lebih suka bertelanjang dada. Dan hanya mengenakan kain penutup, yang waktu itu populer dengan sebutan cidako. Yang terbuat dari kulit pohon, kain linen biru, atau belacu dengan gambar mencolok. Namun sebagian besar laki-laki Minahasa sudah mengenakan baju untuk bagian atas, dan tetap memakai cidako untuk bagian bawah. Sebagian yang lain memakai rumbai-rumbai.

Karena pengaruh ‘modernisasi’ Belanda, sudah cukup banyak masyarakat yang mengenakan celana, apalagi di jalanan. Dan hanya sedikit yang memakai sarung.

Generasi yang lebih muda, biasanya lebih cepat mengikuti trend mode yang up to date. Mereka sudah mengenakan pakaian lengkap, dengan standar Eropa.

Penutup kepala

Kebanyakan masyarakat Minahasa, memakai tolu sebagai penutup kepala. Tolu, adalah topi datar dengan tepi yang sangat lebar, dan runcing di bagian tengah. Sehingga dapat berfungsi seperti payung, yang cocok untuk menyalurkan air hujan.Umumnya tolu terbuat dari daun silar, sejenis palem Kipas yang menjulang tinggi. Tolu biasanya diwarnai dengan getah akar suatu pohon, yang dimasak terlebih dahulu.

Selain dari daun silar, ada juga tolu yang dibuat dari batang padi. Jika terkena matahari, warna kuning emas tolu ini terlihat mengkilap. Kendati memakai tolu merupakan kebiasaan, namun tutup kepala ini tidak dipakai jika masyarakat sedang menjunjung sesuatu di kepala. Waktu itu, masyarakat Minahasa, khususnya wanita, terbiasa menjunjung beras, sayur dan buah-buahan dengan loto (bakul) di atas kepala.

Graafland sempat terheran-heran melihat wanita Minahasa menjunjung sesuatu di atas kepala, tanpa memegangnya. “Mereka terlatih menjaga keseimbangan beban. Bahkan botol pun tidak akan jatuh dari kepala wanita itu. Kalau kami harus melakukannya, sebelum tiga langkah, botol minyak itu pasti sudah jatuh,” tulis Graafland.

Biasanya orang Minahasa menjunjung sesuatu untuk dijual. Hasil pertanian, dibawa (dijunjung) untuk dijual ke Manado, pasar, atau langganan tetap. Waktu itu, orang Minahasa sudah lazim bertani sayur dan buah-buahan. Serta memelihara ayam.

Ada hal menarik menyangkut kebiasaan berjalan sebagian masyarakat Minahasa. Orang Minahasa biasa berjalan—yang menurut istilah Graafland—‘beriringan seperti angsa’. Seorang berjalan di belakang yang lain. Dan sangat jarang ada dua orang yang berjalan berdampingan. Diduga, cara berjalan seperti ini menjadi kebiasaan, karena di Minahasa hanya ada jalan-jalan sempit dan kecil, yang lazim disebut ‘jalan kebun’ atau ‘jalan anjing’. (*)