Monday, June 30, 2008

Awal Membaca KPH

Tulisan ini pernah diposting di milis khopingho (KPH). Saya menjadi anggota milis ini untuk mendapatkan masukan, setelah ada rencana mendatangkan karakter ciptaan KPH, yakni Pendekar Super Sakti Suma Han ke dalam cerita silat Waraney

AWAL membaca KPH, mirip-mirip dengan para suheng lain. Saya membaca saat SMP kelas. Yang saya ingat betul judulnya Kisah Para Pendekar Pulau Es. Hanya satu bendel, namun membacanya lamaaaaaaaa sekali. Padahal saya sudah membacanya sambil makan.
Bendel ini saya dapatkan dari kakak kelas (dia juga anggota milis ini, sekarang tinggal di Jakarta, sudah jadi 'orang'), begitu juga bendel lanjutannya. Yang saya ingat saya tidak sempat menamatkan, sudah keburu ditagih.
Semasa SMA, rekan sebangku langganan sebuah penyewaan. Saya numpang meminjam, biar gratis. Yang dibaca waktu itu Asmara Berdarah, dan lanjutannya, Pendekar Mata Keranjang dan Jodoh Mata Keranjang.
Kelas 2 SMA, saya patungan dengan 'kakak kelas' yang pernah meminjamkan semasa SMP (kendati dia bersekolah di SMA lain, SMA swasta). Biasanya kami sore-sore sambil bersepeda pergi ke kios buku. Awalnya KPH, kemudian berlanjut ke seri non KPH).
Waktu kuliah, saya membaca ulang semua seri KPH. Kebetulan di kota tempat saya kuliah pada dindingnya ada kertas karton bertuliskan urutan karya KPH. Jadi saya membacanya dari awal. Bu Kek Sian Su dst. Rasa-rasanya semua seri KPH sudah saya baca, termasuk yang keluaran terbaru, yang pendek-pendek.
Sesudah menikah, saya pernah membeli Kisah Sepasang Rajawali di Gramedia, untuk nostalgia. Istri saya marah besar, karena saya lebih memilih membaca daripada mengurus anak he...he... Terpaksa lanjutannya Jodoh Rajawali saya baca di e-book, yang sekarang lagi trend. Sekarang saya biasa membaca KPH (dan karya pengarang lain) via e-book, dilakukan di sela-sela kerja di kantor. Sejauh ini masih aman-aman.
Saya punya obsesi, kelak, jika situasi sudah memungkinkan, (terutama jika anak-anak sudah besar), saya akan mengoleksi semua cerita KPH. Yang versi cetak. Saya juga berencana memperkenalkan KPH pada sepasang anak saya. Agar pembaca KPH bisa punya penerus.
Oh ya dulu, semasa remaja saya pernah punya niat memberi nama anak lelaki saya Hay Hay, dan anak perempuan dengan nama Milana. Sayang rencana ini tidak terwujud, dengan berbagai pertimbangan, kendati saya dikaruniai sepasang putra-putri.................

Sunday, June 29, 2008

Cingke oh Cingke…..



Tulisan ini pernah dimuat di Harian Metro dan tabloid Bunaken News

ADA suatu masa, ketika komoditi cengkih atau cingke membuat sebagian warga Minahasa merasakan nikmatnya jadi orang kaya. Ada berbagai cerita aneh tapi nyata—yang sekarang menjadi anekdot, tentang perilaku sejumlah warga menyikapi kekayaannya.
Mungkin anda pernah mendengar kisah tentang om Jek—bukan nama sebenarnya, yang membeli lemari model terbaru di sebuah toko. Dengan bangga lemari ini dipamerkan di ruang tamu. Belakangan om Jek terheran-heran setelah melihat lemari yang dibelinya—dan diisinya dengan pakaian, ternyata memiliki kabel, padahal rumahnya belum dialiri listrik. Baru beberapa bulan kemudian om Jek sadar kalau yang dibelinya adalah lemari es alias kulkas.
Simak juga kisah tentang opa Hentje, juga bukan nama sebenarnya, yang pagi hari berangkat ke Jakarta dengan pesawat Garuda, siang hari menyantap masakan Padang di sebuah restoran di Jakarta Pusat, dan sore hari kembali ke Manado dengan pesawat yang sama.
Atau kisah om Dantje, (nama samaran), yang membeli minuman bir sedemikian banyaknya, sehingga ketika para tetangga dan kerabat sudah tak sanggup minum, bir yang tersisa dipakainya mandi.
Mungkin anda pernah mendengar kisah tante Via (juga nama samaran), yang jika ke toko selalu minta ditunjukkan barang yang harganya paling mahal. Atau kisah tante Lely (bukan nama sebenarnya), yang merasa sangat terhina dan tersinggung ketika kasir di sebuah toko memberikan uang kembalian!!!
Cerita-cerita ini, yang semuanya kisah nyata dan bukan rekaan, terjadi di tahun 70-an, ketika cingke memanjakan sebagian warga karena harganya yang sangat tinggi. Saat itu cingke benar-benar membuat pemilik emas coklat ini merasakan nikmatnya kemewahan.
Namun, layaknya roda yang berputar, cingke juga pernah membuat pemiliknya terpuruk. Harganya sangat rendah, bahkan lebih rendah dibanding harga batang cingke yang dijual sebagai kayu bakar.
Di tahun ’80-an, masyarakat Kota Tondano pernah didatangi sejumlah warga yang menjajakan barang pecah belah. Para penjual adalah mereka yang sebelumnya dikenal sebagai orang kaya, namun jatuh miskin ketika harga emas terpuruk. Saat itu banyak waga Tondano yang membeli barang yang dijajakan bukan karena perlu, tapi karena didorong perasaan kasihan melihat kondisi para penjual yang mengiba-iba dan mengenaskan.
Di tahun 2000 dan 2001, di luar dugaan harga cingke kembali meroket, kendati tidak sedrastis di tahun ’70-an. Para pemilik cingke menyikapi kenaikan harga ini dengan semangat ‘membalas dendam’. Pesta digelar tak henti, termasuk acara pengucapan syukur yang menakjubkan. Uang yang di tangan dibelanjakan berbagai barang berharga. Bahkan ada yang berani memborong mobil dan sepeda motor.
Sebagian kaum muda ada yang membeli handphone, yang di masa itu masih tergolong barang ‘mewah’. Beberapa muda-mudi ada yang nekat bercerita via handphone di bawah tatapan penuh kagum masyarakat, yang tidak menyadari kalau si muda-mudi ini hanya berakting alias pura-pura, karena kawasan mereka tinggal masih tergolong blank spot alias belum ada signal!!
Terkait dengan harga cingke, seorang teman, pimpinan organisasi kepemudaan pernah berujar, dia lebh menyukai jika harga cingke tidak terlalu mahal, namun juga tidak terlalu rendah. Alasannya, dengan harga cingke yang menengah, warga pemilik komoditi ini dipaksa untuk bersikap bijak, terutama dalam hal membelanjakan uangnya.
“Kalu harga cingke mahal, pasti banya yang ba bli macam-macam. Mar kalu komang talalu rendah, dapa sayang kasiang tu warga,” ungkap dia.
Saya sendiri, secara pribadi tidak terlalu mempermasalahkan apakah harga cingke itu tinggi atau rendah (terutama karena saya memang tidak memiliki cingke barang sebiji pun, he…he…). Namun menurut hemat saya, pernyataan teman ini ada benarnya. Mungkin sebaiknya harga cingke memang tidak terlalu tinggi agar warga tidak menjadi boros. Warga Sulut, khususnya Minahasa harus berkaca pada pengalaman lalu, ketika situasi mereka sangat-sangat menderita ketika emas coklat ini terpuruk harganya.
Saat tulisan ini dibuat, harga cingke berkisar di angka 38.000 hingga 39.500 rupiah. Angka yang sebenarnya termasuk lumayan, dalam arti tidak terlalu rendah kendati juga tidak tergolong tinggi. Tinggal bagaimana sikap pemilik cingke membelanjakan uangnya secara bijak.Sekarang bukan jamannya berdemo minta harga cingke dinaikkan, namun kemudian terjerumus dalam aksi foya-foya ketika harga cingke benar-benar meroket. (*)

Kalau Saja Para Pejabat Lebih Peka...

Tulisan ini pernah dipublikasi di Koran Lestari edisi Mei yang dimuat di Harian Manado Post. Saat itu sedang heboh-hebohnya dengan kenaikkan BBM, sehingga Lestari mengambil tema itu....

SUATU siang di sebuah kawasan Sulawesi Utara. Tiga mobil mewah melaju kencang, diawali mobil bersirene. Semua jendela ditutup rapat dengan kaca ‘rayban’. Namun masyarakat sudah sangat hafal: itu mobil kepala daerah. Warga juga sudah tahu, kalau iringan kendaraan ini sebenarnya hanya untuk mengantar satu orang, yakni yang mulia kepala daerah.
Ketika krisis BBM menjadi isu yang kemudian berubah menjadi realita pahit, iring-iringan mobil kepala daerah ini menjadi pemandangan yang sangat kontradiktif: ketika harga BBM melonjak, sejumlah pihak (baca: pejabat) justru mempertontonkan ketidakarifan yakni memakai kendaraan berlebihan yang boros BBM.
Dalam pemberitaan terkait krisis BBM di sejumlah media massa selama bulan Mei, diberi kesan bahwa pemerintah hanya punya dua pilihan. Yakni mempertahankan subsidi, atau menaikkan harga BBM. Padahal, ada satu pilihan logis yang bisa menjadi alternatif, yakni efisiensi penggunaan anggaran rutin negara.
Tapi seperti yang kita bisa saksikan setiap hati, para pejabat, baik tingkat pusat mau pun daerah, rupanya memang sukar untuk berhemat. Iring-iringan kendaraan misalnya. Mungkin si pejabat merasa tidak nyaman jika ke kantor tidak diiringi mobil bersirene dan satu mobil berisi pengawal.
Kalau toh ada upaya penghematan, itu tidak lebih pada ’akting’, guna memancing simpati. Seperti pejabat di Sulut dan Manado yang naik bendi ketika ’hari tanpa kendaraan bermotor’ belum lama ini. Untuk momen yang sama ada pejabat yang naik ojek (mungkin si pejabat mengira yang dimaksud kendaraan bermotor hanya mobil. Dia lupa kalau sepeda motor, sesuai namanya juga menggunakan motor).
Pada akhirnya, memang dibutuhkan kearifan dan kepekaan dari para pejabat. Paling tidak untuk memulai kampanye soal penghematan, baik penghematan anggaran maupun hemat BBM. Kampanye ini tentu saja harus dibarengi tindakan nyata.
Sebagai langkah awal, pejabat harus membiasakan diri bepergian tanpa diiringi kendaraan lain yang boros BBM. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pejabat di Sulut mau? (*)

Indahnya Kenangan di Faperta


BERUNTUNG sekali kita pe tampa dudu di kantor Lestari dekat deng Herman Teguh (Herteg), yang ternyata anggota milis mangifera_memoir, wadah para alumnus Fakultas Pertanian Unsrat untuk saling berbagi kenangan. Herteg, begitu dia biasa dipanggil kase daftar kita pe nama di milis itu.
Memang menyenangkan ketika akhirnya bertemu dengan teman, baik satu tingkat, kakak tingkat atau adek tingkat (kendati awal-awal harus memeras pikiran membayangkan bagaimana raut wajah teman yang membuat komentar).
Dan ketika foto-foto koleksi milis dibuka satu per satu, kenangan itu datang bagai embun yang menyejuk jiwa. Betapa belasan tahun telah berlalu, dan semua itu seperti baru kemarin.
Kenangan itu berisi pesan, betapa waktu telah merubah para mahasiswa/i yang 'polos' dan 'lugu' menjadi 'orang'. Betapa para mahasiswa yang masih 'poco-poco' kini telah menjadi bapak, ibu, punya anak, punya karier, sebagian merantau ke negeri jauh, bahkan ada yang punya hak memilih Barrack Obama menjadi Presiden.
Kalau toh milis dijadikan wahana untuk berkomunikasi, itulah sejauh ini yang bisa dilakukan untuk mentransformasi kenangan menjadi hal yang lebih positif. Materi yang diposting bukan hanya baku sedu hal-hal yang ringan, tapi juga artikel yang menggugah, lelucon yang membuat mulut tersenyum, baik bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.
Kenangan, ternyata bisa membawa pencerahan jiwa. (*)


Foto: Sebagian anak-anak Budidaya Pertanian, saat penerimaan jurusan di pantai Mangatasik.....

Burung

Humor ini dikirimkan dari dan ke sesama staf Yayasan Lestari. Lumayan lucu, sekaligus penghilang rasa suntuk....

Ada seorang lelaki tua yang memiliki hobi memelihara banyak burung.
Pada suatu pagi, semua burung kesayangannya hilang.
Merasa aksi pencuri sudah keterlaluan, si lelaki tua membawa masalah
itu dalam pertemuan mingguan di kampungnya.
Lelaki tua: "Siapa di sini yang punya burung?"
Seluruh penduduk laki-laki segera berdiri.
Menyadari kesalahannya dalam bertanya, lelaki itu menambah:
"Bukan itu maksud saya. Maksud saya adalah siapa yang pernah lihat burung?"
Seluruh penduduk wanita pun berdiri.
Menyadari pertanyaannya masih tidak tepat, dengan muka merah padam dia
menyambung, "Maaf, bukan itu maksud saya."
Sekali lagi dia bertanya. "Maksud saya, siapa di antara kalian yang pernah lihat burung yang bukan milik sendiri?"
Separuh penduduk wanita berdiri.
Muka lelaki tua itu makin merah. Ia makin gugup.
"Maaf sekali lagi, bukan ke arah itu pertanyaan saya. Maksud saya
adalah, siapa yang pernah lihat burung saya?"
Lalu… Isteri lelaki itu pun pun berdiri… dan dua orang wanita lain…
Kali ini muka sang isteri merah padam.
Lelaki itu pun terpaksa melarikan diri…
Menyesal dia bertanya (*)

SURAT DARI MINAHASA

Ini tulisan yang dipublikasi di Suara Minahasa Magazine, edisi Juni 2004. Kita sandiri so lupa, ternyata waktu itu Minahasa banjir......

TOLONG….tolong, tolong akang pa torang, Minahasa somo tenggelam.
Sori, ini bukang iklan sinetron, mar itu tu jadi pa torang di Minahasa awal bulan Mei. Amper samua daerah di pinggir danau Tondano dapa banjer. Memang sampe surat ini kita tulis, nyanda ada korban jiwa. Mar tu korban lantaran harta ta anyor so nyanda dapa rekeng. Blum lei tu tanaman pertanian da rusak.
Memang tu banjer so amper salalu jadi di sebagian daerah di pinggir danau. Mar tu banjer kali ini sadiki luar biasa. Kalu dulu depe ketinggian paling basar tiga pulu senti, ini so lebe satu meter. Jadi ngoni bayangkan jo kalu tu jalan deng rumah so maso akang aer satu meter.
Ngoni stou mo ba tanya, kiapa kong kasiang dapa banjer? Sebenarnya ngoni nyanda usah tanya. Banjer terjadi lantaran (tantu saja) banya aer. He…he… kalu sadiki aer depe nama pece.
Banjer jadi lantaran tu danau Tondano (orang pande bilang) da meluap. Kiapa meluap, lantaran ujang turun. Memang sebelum banjer, tu ujang rupa dapa tako da ciri di Minahasa. Kalu nda sala inga, ampa hari tu ujang turun (pake ngoni pe istilah) non stop. Kong lei depe aer ba turun basar-basar, sama stou deng biji milu.
Jadi ngoni bayangkan jo kalu tu ujang turun ampa hari kong depe basar sama deng milu. Tu danau Tondano yang skarang memang so lebe sempit deng tofor, akhirnya nyanda mampu mo tampung tu kelebihan aer. Apalagi ada banya kuala kacili yang ba stor aer kase maso di danau. Lantaran tu danau so nyanda mampu mo tampung, akhirnya dia se ‘sumbang’ tu aer pa orang-orang di sekitar danau. Jadilah banjer.
Mar untung jo, tu pemerenta nyanda tutu mata. Nyanda lama setelah banjer, tu bupati Minahasa deng gubernur Sulut langsung turun kong cek langsung ke lokasi. Biar dorang gulung calana tinggi-tinggi kong pake spatu buts, mar dorang nyanda rasa kile mo turun di jalan punung aer ato lewat di jembatan bulu.
Memang, di brapa kampung,. Lantaran tu aer nyanda mo turun-turun, orang-orang disana barameji beking tangga ato jembatan dari bulu, da se sambung dari ruma-ruma. Jadi dorang kasiang kurang rupa orang Bajo (suku bajo tu suku dari luar Minahasa, kong dorang cuma ta biasa hidop di perahu. Itu menurut yang kita pernah baca).
Yang paling siksa kalu tu orang so ta biasa mandi. Biar lei aer banya, mar aer banjer tantu kotor. Depe warna coklat kong ba itam. Jadi nimbole mandi. Jadi tu orang biasa mandi (biasanya tu parampuang muda alias nona-nona) musti ba tahan diri. Jangankan mandi, dapa aer bersi jo so untung. Lantaran kadang mandi, so mulai muncul tu panyaki gatal-gatal.
Halo, masi ba baca? Ato so manganto stou kang? Sori kalu ta pe surat ini cuma da panjang deng berita banjer. Mar kita suka ngoni di perantauan sana tau kalu di Minahasa lei memang ja dapa banjer.
Oke bagini dulu stou kang? Nanti sambung bulan depan kalu tu banjer so turun. Eh sori, nyanda katu, cuma bakusedu.

Resensi dari Teman


Setelah cerita silat 'Waraney Negeri Minahasa' terbit, ada teman yang menuliskan resensi dan dipublikasikan di dunia maya. Seperti yang dilakukan Audy di cerita silat. Teman yang lain, Nein kemudian meneruskan ke indozone
Berikut isi resensi itu......


Akhirnya, buku silat atau cerita silat berjudul WARANEY NEGERI MINAHASA, sebuah cerita silat ber setting kental "Tanah Minahasa" karya Farry SJ Oroh diterbitkan.


Minahasa, adalah etnis terbesar di Sulawesi Utara dan tidak mengenal tradisi aksara, tetapi tradisi lisan yang cukup kuat. Karena itu, kehadiran karya Fary, dengan interpretasi dan upayanya untuk mempopulerkan budaya Minahasa melalui caranya, patut diapresiasi. Bagi saya, apresiasi atas tulisan atau buku Fary ini, dilakukan sekaligus atas upayanya menggali budaya dan corak Minahasa di satu sisi, dan sumbangsihnya bagi lokalisasi cerita silat di sisi lain. Karena karyanya ini, maka saya menyebut Fary menggali dan mengikuti tipe dan gaya SH Mintardja, meskipun speed penceritaan mereka berbeda. Mintardja yang terkesan "lambat" tetapi detil, beda dengan Fary yang menggelegak dan cepat, dengan kemungkinan yang tidak sedikit dalam pengembangannya.

Buku Fary berjumlah halaman 151, dan menurut penulisnya sendiri masih akan terbit hingga buku ke 5 atau 6, atau bahkan lebih. Dengan kemungkinan yang masih sangat terbuka di buku satu, yakni kedatangan para pendekar Jawadwipa, bahkan pendekar dari negri lain di Utara (Phillipina) dan suku lain dari Maluku dan ternate, maka pengembangan cerita ke depan sungguh prospektif. Apalagi, karena Fary bekerja keras menterjemahkan nama jurus silatnya sesuai dengan bahasa asli dari asal si pendekar. Buku pertama ini dijejali dengan nama jurus asli Minahasa, bahkan geografi Minahasa dan ciri khas bahasanya yang cukup kaya. Pendeknya, sangat lengket dengan simbol dan ikon Minahasa. Tetapi, jurus lain dari Jawa dan dari negeri lain, juga sudah mulai diperkenalkan.

Salah satu keunikan Fary adalah, ketika menggunakan terminologi "Sakalele" dari tari Cakalele, Tari Perang Minahasa, untuk menggambarkan Jurus Silat. Mirip dan persis dengan Mintardja yang menggunakan terminologi Kanuragan atau Olah Kanuragan untuk menggambarkan atau mengganti terminologi "Ilmu Silat". Juga penggunaan kata "Keter" atau Tenaga sebagai pengganti Iweekang atau tenaga Dalam. Keberaniannya sungguh menggembirakan, dan layak masuk dalam deretan upaya lokalisasi cerita silat yang saat ini terlampau didominasi oleh setting China dan juga setting Jawa. Anggaplah buku ini adalah salah satu corak desentralisasi budaya .... hahahahaha

Keunggulan lain Fary adalah penceritaannya yang mengalir, cepat, tetapi dengan kemungkinan pengembangan tak terbatas. Ini disebabkan kemungkinan tampilnya tokoh dari luar yang sangat banyak: Majapahit, Suku-suku di Utara Minahasa, Ternate, bahkan Tiongkok. Demikian juga plotnya dan nampaknya juga tokohnya, bakal dan akan mengalami pengembangan luar biasa pada cerita selanjutnya.

Bila dilhat dari judul atau episode yang sudah masuk 450-an di Harian Metro (Cerita ini sebenarnya dimuat bersambung di harian Metro Manado), membuktikan betapa ramainya cerita ini. Bahkan menurut Fary ketika menyampaikan pikirannya di Bedah buku itu, kemungkinan pengembangannya sangat luas. Bahkan interpretasi beraninya terhadap pertanyaan: "Apakah Melesung (Minahasa Kuno), sempat diokupasi atau dijajah Majapahit atau bukan" merupakan sebuah keberanian menginterpretasi sejarah, meski dalam konteks fiksi.

Di sini, Fary mungkin boleh belajar dari Sekar Langit Haryadi dengan cerita Gajah Madanya.

Dari sisi, Cerita Silatnya, maka cerita ini, bagi saya, sangat menarik. Baik adegan pengembangan ilmu silatnya dan sejarahnya, termasuk tentu nama-nama lokalnya, sungguh menggelitik. Tetapi, karena masih buku satu, maka sulit membandingkan dan melihat apakah ilmu ini sudah tuntas atau belum. Malah terkesan, ilmu itu tidak terbatas dan akan terus mengalami perkembangan. Termasuk dengan ilmu dari tokoh utama dan tokoh jahatnya. Sementara, perangkap ala KPH, yakni ular beracun tapi berkhasiat, juga dimanfaatkan secara "lincah" oleh Fary. Hebat. Dan dengan cara itu, dia meningkatkan kemampuan tokoh utamanya sampai berlipat kali. Dan, dalam konteks fiksi, khan ini sah-sah aja. Bahkan banyak yang menyenangi cara instan ini biar jagonya cepat hebat.

Penggambaran adegan berkelahinya, juga cukup bagus. Tidak kaku, tidak asal ciat-ciat dan jagoannya menang atau keok. Jarak dan rentang kesaktian antara jago, juga terurut dengan baik. Sehingga setidaknya ada rujukan, jagoan terhebat saat ini adalah tokoh ini, dan jagoan masih di level menengah dan harus berkembang. Adegan-adegan perkelahian, yang banyak menyita perhatian di buku 1, sangat menarik diikuti. Meskipun, karena dimaksudkan untuk kejar tayang, terkesan di beberapa tempat tidak cukup detil. Mungkin, untuk edisi cetak berikut, Fary perlu melalukan editing penyesuaian, dengan tidak merusak keutuhan cerita. Setidaknya ada beberapa segmen yang pelu diperluas sehingga menghadirkan suasana yang lebih pas ditangkap.

Sementara di sisi budayanya, Fary memberi kontribusi yang besar bagi upaya mencintai budaya dan bahasa lokal Minahasa. Tetapi, dalam resensi di wikia ini, rasanya bukan hal yang pas untuk menggali unsur-unsur ini. Tapi bagi para penggemar cerita silat asal Minahasa, pasti cerita ini akan menghadirkan nostalgia kampung halaman yang "aneh". Karena Fary menggunakan nama-nama asli walak atau sub etnis Minahasa.

Selebihnya, saya kira, buku Fary ini memang sangat menarik untuk dibaca. Bilapun ada yang lemah, maka karena buku ini diterbitkan hanya 1 buku. Hal ini membuatbuku ini menjadi semacam pembuka penasaran orang untuk menunggu lanjutannya. Tapi, lebih baik lagi bila dicetak 2-3 buku sekaligus sehingga bentuk sudah bisa dibaca lebih baik dan kepenasaran yang dihasilkannya juga lebih kuat. Di atas semuanya,selamat buat Fary dan selamat datang sebuah cerita silat gaya baru.

Audy Wuisang

Thursday, June 26, 2008

Waraney Negeri Minahasa

CERITA Waraney Negeri Minahasa dibuat untuk mengisi kekosongan kisah fiksi khas Minahasa. Waraney merupakan kisah dengan genre cerita silat (cersil). Mengapa cersil, karena kebetulan saya menyukai kisah model begini.
Karena kisah Waraney, saya mendapat kesempatan bergabung dengan Komunitas cerita Silat Indonesia. Ketika Waraney terbit, ada teman yang membuat resensi dan dipublikasikan di dunia maya, antara lain di sini.
Bagian awal Waraney, atas permintaan beberapa teman, juga sempat dipublikasi secara online, yakni di indoforum. Sejauh ini saya belum berencana meng-online-kan seluruh kisah Waraney. Terlalu banyak dan pasti merepotkan.............

Tana Goyang Bukang Kacang Goyang

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Telegram (alm) dan kemudian Tabloid Mimbar (sempat mati suri dan sekarang sudah terbit lagi). Tulisan ini di-rewrite setelah terjadi gempa bumi dahsyat awal tahun 2007 lalu....

BEBERAPA pekan terakhir ini, wilayah Sulut dan juga Minahasa kerap diterpa gempa bumi (atau tana goyang menurut istilah Malayu Manado). Toh bergoyangnya tanah tidak lagi membuat warga panik. Setelahmengalami tana goyang terkuat, Minggu 21 Januari lalu, getaran bumiyang hampir terjadi setiap hari kini terasa 'biasa-biasa'.
Tana goyang yang terjadi 21 Januari itu memang luar biasa. Ada yangmengatakan ini gempa terkuat di Sulut selang 40 tahun terakhir. Suasana bertambah mencekam menyusul berbagai histeria massal karena isu adanya tsunami.
Lalu apa hubungan antara kacang goyang dengan tana goyang? Jawaban setengah bergurau adalah, hubungan keduanya baik-baik saja, kendati yang menghubungkan mereka hanya kata 'goyang'.
Anda yang tinggal di Minahasa pasti tahu, kacang goyang adalah kue khas Minahasa yang tercipta akibat 'aksi goyang'. Sejumlah kacang dimasukkan ke dalam wadah tertutup, kemudian dicampur dengan gula. Si pembuat biasanya menggoyang-goyangkan wadah berisi kacang dan gula ini. 'Efek tsunami' akibat goyangan ini menyebabkan gula akan membungkus kacang. Dan jadilah kue kacang goyang.
Sejauh ini, tidak ada catatan kapan persisnya kacang goyang pertama kali ada di Minahasa, siapa yang pertama kali punya resep, dan di daerah mana yang pertama kali mengadakannya. Yang jelas, kacang goyang relatif dikenal semua kawasan di Minahasa.
Sama halnya dengan kacang goyang, masyarakat Minahasa juga sudah lama bergaul erat dengan tana goyang. Bahkan fenomena terguncangnya tanah ini sudah coba dijelaskan leluhur Minahasa, sejak ratusan tahun lalu.
Konon, menurut legenda, tana goyang (atau pengero' menurut lidah orang Tondano), tercipta ketika hewan babi berukuran raksasa peliharaan Opo Makawalang menggosok-gosokkan tubuhnya ke sejumlah tiang penyangga bumi. Makawalang, menurut sahibul hikayat, adalah opo yang menguasai dunia bawah tanah (daerah kematian atau kaengkolan).
Karena itu, dulu, masyarakat Minahasa biasanya suka 'heboh' dan membunyikan berbagai bunyi-bunyian jika terjadi gempa bumi. Mereka berharap, bunyi-bunyian yang memekakkan telinga akan membuat babi peliharaan Opo Makawalang menghentikan aksinya. (Menurut legenda, salah satu tiang penyangga bumi berada tepat di bawah kawasan Remboken. Itu sebabnya sehingga orang Remboken jarang sekali merasakan gempa bumi atau tana goyang. Percaya atau tidak, terserah).
Dewasa ini, ilmu pengetahuan modern tentu saja telah membuktikan kalau tana goyang tidak disebabkan oleh ulah babi peliharaan Opo Makawalang. Ilmu pengetahuan modern juga telah menyepakati kalau tana goyang atau gempa bumi, adalah jenis bencana yang sukar diantisipasi. Orang bisa saja meminimalkan terjadinya kebakaran, atau mencegah kemungkinan terjadinya bencana banjir. Namun untuk meminimalkan tana goyang? Siapa mampu menahan jika bumi hendak 'bergoyang Inul'?
Apalagi jika gempa ini terjadi di dasar laut, yang dampak susulannya berupa gelombang pasang yang kemudian menyapu daratan, seperti yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Munculnya tanah goyang, ditambah beraneka bencana alam yang menimpa saudara kita di berbagai wilayah Indonesia menimbulkan berbagai pertanyaan. Kenapa Tuhan 'mengijinkan' terjadinya peristiwa memilukan ini?
Sebagai manusia, tentu saja kita tidak dapat menerka apa maksud Tuhan. Yang bisa kita lakukan, adalah mengambil hikmah dari peristiwa ini. Pertama, bahwa bagaimana pun kemahakuasaan manusia, itu hanya seujung kuku kemahakuasaan Tuhan. Bahwa manusia memang tidak dapat berbuat apa-apa jika alam menunjukkan kemarahannya.
Kedua, bencana bisa terjadi kapan saja dan bisa menimpa siapa saja, temasuk kita yang bermukim di Sulut.
Karena itu, pembaca, jika saat ini Anda sedang menikmati gurihnya kacang goyang, atau bisa mengenang manisnya kacang bersalut gula, mohon diingat, kenikmatan itu terasa karena tanah tidak bergoyang.
Anda tak akan bisa mencicipi kacang goyang jika terjadi tana goyang. Karena tana goyang bukang kacang goyang.(*)

Lima Menit Lagi

Cerita ini dikirim rekan di kantor Lestari, Erik (biar satu kantor mar amper samua torang baku kirim email, padahal tu tampa dudu cuma beda beberapa meter)

Saat di taman suatu hari, seorang wanita duduk di sebelah seorang pria di bangku panjang dekat tempat bermain anak-anak.
"Itu putra saya di sana," kata sang wanita, menunjuk seorang anak laki-laki dengan pakaian merah yang sedang bermain perosotan.
"Ia seorang anak laki-laki yang tampan," komentar sang pria. "Itu putri saya, berbaju putih, sedang naik sepeda."
Sang pria lalu melirik arlojinya, memanggil putrinya. "Bagaimana kalau kita pulang sekarang, Melissa?"

Melissa meminta, "Lima menit lagi, Yah. Boleh ya? Lima menit lagi saja."
Sang pria mengangguk dan Melissa meneruskan bermain sepedanya dengan bahagia. Menit-menit pun berlalu dan sang ayah berdiri dan memanggil Melissa kembali. "Sudah waktunya untuk pulang?"
Melissa kembali memohon, "Lima menit lagi, Yah. Lima menit lagi saja."
Sang pria pun tersenyum dan menjawab, "OK!"
"Wah, Anda seorang ayah yang sabar!" sang wanita berkomentar.
Sang pria tersenyum dan berkata, "Kakak laki-lakinya, Tommy meninggal karena ditabrak seorang pengemudi mabuk tahun lalu, saat ia sedang bermain sepeda dekat-dekat sini. Saya menghabiskan banyak waktu dengan Tommy dan sekarang saya akan berikan apa saja untuk bisa menghabiskan lima menit lebih banyak dengannya. Saya telah berjanji untuk tidak membuat kesalahan yang sama terhadap Melissa. Ia mengira ia mempunyai lima menit lebih
banyak untuk bermain dengan sepedanya. Sebenarnya, sayalah yang memperoleh lima menit lebih banyak untuk menyaksikannya bermain."

Hidup adalah mengenai menentukan prioritas. Berikanlah lima menit lebih
banyak setiap hari untuk orang yang Anda cintai.(*)

Surat dari Minahasa

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Minahasa Magazine (SMM) edisi September 2003. SMM adalah majalah untuk Kawanua yang terbit di Amerika Serikat dan peredarannya hingga ke Eropa. Sayang majalah ini sudah tidak terbit lagi karena pengelolanya pindah negara bagian....


Halo…halo… Bandung, …eh salah kote… Halo samua. Bagimana kabar. So ada lampu ato masi gelap gulita. Soalnya kita pernah baca di surat kabar kalu di Amerika kata ada mati strom, kong tu keadaan so rupa di jaman tempo doeloe. He…he… Butul bagitu?
Torang di Minahasa sini nyanda abis pikir, tu negara adidaya sama deng Amrik masi ja mati strom. Kalu torang kasiang di sini, mati lampu itu biasa. Orang justru ba rasa heran kalu so satu minggu nyanda pernah mati strom….
Oh ya, ngoni so tau kalu tu Minahasa so ‘resmi’ ta pica? Tu Mendagri so resmikan tu kabupaten Minahasa Selatan deng Kota Tomohon. Jadi kalu ngoni orang Motoling ato Tombatu, ngoni skarang so nyanda orang Minahasa, mar so orang Minahasa Selatan alias Minsel.
Biar jo kang? Memang dia pe musim skarang ba sandiri kong bilang otonomi daerah. Padahal, bulum tantu kalu dorang mampu mo se makang tu rakyat ato nyanda. Belum lagi mo se makang tu pemerenta baru, mo beking gedung kantor, deng tu laeng-laeng. (Nintau lei kalu ada orang Minsel di Amerika mo suka beking majalah, kong dorang se nama ‘Suara Minahasa Selatan’… He…he….)
Lantaran so ta pica (dia pe bahasa bagus so dimekarkan), banya pegawai yang iko-iko ba pindah. Tu pegawai orang Minsel mar kerja di propinsi ato di Minahasa (induk), so suru pulang kong karja di Minsel deng Tomohon. Jadi skarang di Minahasa banya orang baku-baku bise, kong ja berdoa supaya dorang bole dapa tampa dudu bagus, supaya dorang ta kase pindah di tampa basah (dia pe maksud bukang supaya tu calana ato rok mo basah deng aer. Tu tampa basah itu tu tampa banya doi. Ngoni so tau kwa itu… jang pura-pura)
Tu bupati Minsel, mungkin ngoni so tau, dia pe nama Ramoy Markus Luntungan. Dia bukang orang Minsel, mar orang Minut (Minahasa Utara). Mar dia tu pemerenta pusat ada kase for mo jadi bupati, sampe pemilu taon datang. Memang tu Luntungan orang bilang figur yang (kalu ngoni pe bahasa bilang) the right man in the right place. Lantaran sebelum dilantik, banyak calon laeng tu orang-orang kase usul, mar dia pe latar belakang partai. Jadi tu PDIP se calon orang PDIP. Orang Golkar se calon orang Golkar.
Jadi tu Luntungan orang bilang pilihan yang paling pas, lantaran dia birokrat murni. Sebelum jadi bupati Minsel dia pe jabatan Sekda Minahasa. Dia lei kalu nyanda sala pernah jadi Sekda Bitung. Dia jadi pegawai dari bawah, dari camat.
Mar biar lei dia birokrat murni, banya orang tetap curiga, kong dorang bilang Luntungan lebe dekat deng Golkar. Soalnya pemerenta dulu kata orang Golkar (Padahal, tu bupati sebelum Vreeke, pak dolfie tanor, orang PDIP. Nintau lei bagimana dorang pe ba pikir)
Tu dapa sayang kasiang tu pejabat Sekda Minsel, Hendrik Waworuntu. Sebelum jadi sekda dia pe jabatan Asisten I pemkab Minahasa. Dia lei pejabat karir. Mar cuma berapa hari jadi Sekda langsung orang demon pa dia, lantaran tu Waworuntu kata terkait kasus KUT. (Memang bagitu stou orang Minahasa pe kalakuan kang? Bulum tare karja dong so curiga macam-macam, kong so komentar macam-macam).
Kalu tu Tomohon, sampe surat ini kita tulis, nyanda ada protes. Soalnya tu da jadi walikota orang Tomohon asli, Boy Tangkawarouw. Dia dulu wakil bupati Minahasa di jamannya Dolfie Tanor.
Selain kondisi politik yang so mulai panas, tu torang pe kondisi skarang masi biasa-biasa. Cuma skarang so musim ujang ulang. Amper tiap hari ujang. Riki tu pawai pembangunan memperingati tu kemerdekaan dapa ujang. Tu pawai di Tondano ujang, di Tomohon ujang. Mar biar lei ba ujang, tu penonton tetap nekat mo ba uni. Pe kentara skali kalu orang Tondano deng Tomohon pe mangkage pawai kang? (Jang bilang-bilang, soalnya deng kita lei da ba uni…..)
Eh, so ta panjang stou ta pesurat kang? Kalu bagitu, nanti jo sambung. Soalnya so mulai ba rinte-rinte. Jadi so rasa dingin. Ta mo beking kopi dulu kong ba uni tv. Jadi selamat berpisah, Pakatuan wo pakalawiren, I yayat u santi, sekali merdeka tetap merdeka……..