Friday, July 4, 2008

Thian Po (Pusaka Langit)

Kisah ini pernah diposting di indozone, cerita silat bersetting Mandarin dengn genre misteri. Cerita ini dibuat setelah saya membaca Da Vinci Code, dan ingin melihat apakah saya bisa membuat cerita misteri yang berbelit. Kisah ini sudah lama sekali tidak diupdate, bahkan saya sendiri sudah lupa bagaimana kisahnya. Semoga setelah diposting di blog ini saya bisa mendapatkan mood untuk membuat lanjutannya....

Bab 1. Darah Mengalir di Pek-Kiam-Pang


LELAKI itu termenung, matanya menatap sang surya yang perlahan memasuki peraduan. Dia mendesah.

Lelaki ini berusia 60 tahun, dengan rambut panjang sebahu yang sebagian sudah memutih. Kulitnya mulai keriput dengan jenggot dan kumis terpelihara. Dia mengenakan jubah panjang berwarna putih.

“Tinggal satu hari, dan semua akan berakhir,” bisiknya. Dia kembali menarik nafas panjang. Kedua telapak tangan digerakkan menutupi wajah. Tinggal satu hari. Semoga saja aku punya waktu.

Dia mendengar seseorang memasuki kamarnya. Dia berpaling. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun mendekat penuh hormat.

“Bagaimana Kai Song?”

“Maaf mengganggu, pangcu. Tamu dari Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai sudah tiba. Begitu juga rombongan dari Siauw-lin-pai dan Bu-tong-pai...”

Lelaki setengah tua yang disapa pangcu ini menganggukkan kepala. “Layani mereka dengan baik. Jamu mereka makan malam. Penginapan untuk para tamu sudah disiapkan bukan? Ada lagi?”

“Emh, mungkin ini tidak penting. Tapi aku pikir pangcu perlu tahu. Rombongan Siauw-lin-pai dipimpin Wat Siok Hosiang, sedangkan rombongan Kun-lun-pai dipimpin Giok Cin Tosu. Berarti tidak ada Ciangbunjin (Ketua) partai besar yang hadir....”

Lelaki setengah tua itu menganggukkan kepala. “Tidak masalah, Kai Song. Aku sudah menduga. Kita harus tahu diri. Pek-kiam-pang bukanlah sebuah perkumpulan besar. Kita justru perlu bersyukur karena partai besar masih mengirimkan wakilnya. Berarti mereka tidak memandang kita dengan sebelah mata...”

“Oh ya, tadi aku sempat berbincang dengan Wat Siok Hosiang. Dia masih tidak percaya kalau pangcu akan mengundurkan diri besok,” kata Kai Song. “Dia bilang, ‘pangcu Can Te Cun masih terlalu muda untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan’. Dia membandingkan dengan Kim Sim Hosiang yang masih menjabat Ciangbunjin Siauw-lin-pai kendati sudah berusia 70 tahun...”

Lelaki setengah tua yang ternyata bernama Can Te Cun ini tersenyum getir. “Wat Siok Hosiang bukan orang pertama yang menanyakan kabar itu. Selang sebulan terakhir aku banyak menerima pertanyaan dari para sahabat. Mereka umumnya tidak yakin kalau aku benar-benar ingin mengundurkan diri. Tapi keputusanku sudah bulat. Lagi pula aku yakin sudah mendapatkan pengganti yang sepadan...”

Kai Song menundukkan kepala. Alisnya berkerut. “Aku berterima kasih karena pangcu berkenan memberikan kepercayaan kepadaku menjadi pangcu yang baru. Namun aku tetap merasa belum pantas. Kepandaian silatku belum memadai...”

“Memimpin sebuah perkumpulan silat tidak hanya dibutuhkan kepandaian tinggi, tapi kematangan berpikir dan kemampuan bertindak tegas dan lugas. Kau punya kharisma, Kai Song, dan aku yakin kau bisa membawa Pek-kiam-pang menjadi lebih besar...”

“Aku masih menganggap Can Han Sin-sute yang paling tepat untuk menjadi pangcu Pek-kiam-pang,” ujar Kai Song.

Te Cun memejamkan mata dan tanpa sadar menggelengkan kepala. “Cucuku Han Sin masih terlalu muda. Usianya belum 25 tahun. Mungkin kelak dia bisa menjadi pangcu Pek-kiam-pang, siapa tahu. Namun untuk saat ini, tidak ada yang pantas selain engkau.”

Kai Song terdiam, masih menunduk.

“Sebaiknya kau temani para tamu. Katakan aku kurang enak badan, jadi tak bisa menemui mereka.”

Kai Song mengangguk dan dengan penuh hormat meninggalkan kamar.

Te Cun perlahan mendekati jendela. Kamarnya yang terletak di lantai dua memungkinkan dia melihat sekeliling. Di bagian depan beberapa lelaki sedang membuat panggung untuk acara besok. Yang lain sedang menyiapkan dekorasi. Di sebelah kanan, sekitar 30 tombak dari panggung terlihat belasan rumah sederhana berjejeran.

Rumah-rumah itu dibangun sejak sebulan lalu khusus untuk penginapan para tamu. Seperti yang dia duga, banyak undangan yang datang beberapa hari sebelum perayaan. Sebagai tuan rumah yang baik dia tentu saja harus menyediakan sarana penginapan dan makan minum.

Sebagian besar rumah-rumah itu kini sudah dipasangi lampu. Samar terdengar gelak tawa yang berasal dari halaman, berpadu dengan bunyi papan yang dipotong.

Te Cun kembali menarik nafas panjang, dan memejamkan mata. Tinggal sesaat lagi. Semoga saja aku punya waktu...

***

KIANG Cu Ge menguap, menatap rekan-rekannya yang sedang menyelesaikan panggung. Matahari sudah sejak tadi terbit dari peraduannya.

Dia kemudian pura-pura menyibukkan diri ketika melihat Kai Song berjalan ke arah mereka. Sudah bukan rahasia lagi kalau Kai Song telah ditetapkan sebagai pangcu yang baru, menggantikan Can Te Cun yang bakal mengundurkan diri sebentar lagi.

“Kenapa belum ada tamu yang ke ruang makan?” terdengar Kai Song bertanya.

Tidak ada yang menjawab, karena mereka memang tidak tahu. Mereka hanya saling pandang.

“Emmm, mungkin mereka belum bangun. Sejak tadi aku belum melihat satu pun para tamu...” Rekan Cu Ge, A-Kiu menjawab.

“Belum bangun? Sejak tadi?” tanya Kai Song. Dia lalu berpaling kepada Cu Ge, A Kiu dan Cun Bun. “Kalian temui para tamu. Katakan sarapan sudah tersedia. Ingat, bersikaplah sopan.”

Tanpa menjawab ketiga lelaki ini berjalan tergesa.

“Huh, anggota partai terkenal ternyata punya kebiasaan bangun terlambat ya?” ujar Cu Ge. Namun kedua rekannya hanya berdiam diri, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Cu Ge mendekati rumah terdekat. Nyala lampu masih terlihat. Jendela masih tertutup rapat.

“Maaf, permisi, selamat pagi….” Ujar Cu Ge sambil mengetuk pintu. Dia berdiam diri, menanti jawaban. Tak terdengar jawaban dari dalam rumah.

Dia kembali mengetuk, dengan perlahan namun cukup nyaring. Seingat dia, rumah ini ditempati para tamu dari Kun-lun-pai. Karena mereka berilmu tinggi, seharusnya ketukan ini bisa membangunkan mereka.

Kembali tidak terdengar sahutan. Perlahan Cu Ge mendorong pintu. Ternyata tidak terkunci. Dia kemudian mencium bau, bau amis yang aromanya terasa akrab.

Cu Ge melangkah, dan tiba-tiba merasa kaki kanannya menginjak sesuatu yang lengket. Dia menoleh ke bawah, dan terkejut. Dia menginjak genangan darah!!

Dengan hati-hati dia melangkah. Lantai rumah yang terbuat dari campuran pasir kasar dan batu halus dipenuhi darah, yang memancarkan aroma menusuk.

Pandangannya kemudian tertuju pada dua sosok lelaki yang terbaring terlentang. Mata mereka melotot, dengan wajah seperti terkejut. Tenggorokan mereka berlubang dan darah mengalir dari luka itu.

Kiang Cu Ge menutup mata, mengatur nafas, mencoba menghilangkan rasa mual yang tiba-tiba muncul. Lututnya terasa goyah, namun dia memaksakan diri melangkah. Menuju ke kamar.

Rumah yang dibangun secara darurat dan sederhana ini hanya memiliki satu buah kamar, yang berukuran sekitar empat kali empat tombak. Pintu kamar terbuka. Seorang lelaki berusia 40-an tahun terbaring terlentang. Separuh tubuhnya di atas tempat tidur, separuh lainnya di lantai. Kedua matanya juga melotot, dan lubang besar terlihat di tenggorokan, seperti bunga mawar yang merekah. Tangan kanannya memegang pedang. Dia rupanya mencoba melawan, namun ajal lebih dulu menjemput.

Perlahan Cu Ge berbalik. Dadanya berdebar dan terasa sesak. Pemandangan ini sangat luar biasa sehingga untuk sesaat dia berharap hanya bermimpi. Namun ini bukan mimpi. Ini nyata. Rombongan dari Kun-lun-pai tewas dengan tenggorokan berlubang.

Perlahan dia berjalan ke pintu, melangkah hati-hati mencoba menghindari genangan darah. Usahanya sia-sia. Sepatu rumput dan bagian bawah celana panjangnya kini berubah warna menjadi merah. Dan terasa lengket.

Cu Ge membuka pintu. Dia melihat rekannya Cun Bun muncul dari rumah sebelah, rumah yang ditempati rombongan dari Hoa-san-pai. Raut wajah Cun Bun pucat pasi, seperti baru melihat hantu. Kedua tangan Cun Bun berlumuran darah.

Cun Ge merasa bagian belakang tubuhnya meremang. Dia merinding. Melihat raut wajah rekannya, dan melihat darah di telapak tangan Cun Bun, Cu Ge tiba-tiba dihinggapi perasaan aneh. Tanpa bicara Cun Bun telah mengatakan satu hal: Rombongan Hoa-san-pai juga telah tewas.

Tiba-tiba terdengar jeritan histeris. Jeritan seorang lelaki, diikuti terbukanya pintu. A-kiu menjerit berlarian. Wajahnya pucat seperti kertas.

“Matiiii… mereka mati……” A-kiu berlari seperti orang gila, diikuti Cun Bun dan Cu Ge, yang memaksakan diri berlari kendati merasa tubuhnya lemas.

“A-kiu… apa-apaan kau…. Siapa yang mati…” tanya Kai Song.

“Mereka mati… Tewas…. Semuanya….” teriak A-kiu. Matanya terbelalak, wajahnya dipenuhi peluh. Dia kemudian berlari, memasuki rumah, berteriak seperti dikejar setan.

“Mati…. Semua mati…..”

Kai Song segera melompat dan berlari ke arah rumah yang ditempati para tamu, diikuti beberapa laki-laki yang tadi sedang menyelesaikan pembuatan panggung.

Pagi yang tadinya tenang berubah menjadi kacau balau. Teriakan A-kiu masih terdengar samar. Orang-orang berlarian, sebagian dengan raut wajah bingung.

Keributan ini didengar Can Te Cun, yang sedang bersemadi di kamarnya di lantai dua. Teriakan A-Kiu menjelaskan semuanya. Mereka telah mati. Para tamu telah tewas. Tewas dibunuh.
Jantung Te Cun berdetak keras. Mereka telah datang. Mereka tahu.

***


PARA anggota Pek-kiam-pang segera membuka jalan ketika melihat Can Te Cun datang. Wajah sang pangcu pucat pasi, dan terlihat letih.

“Bagaimana Kai Song?” tanya Te Cun setengah berbisik.

“Para tamu tewas. Semuanya,” kata Kai Song.

“Semuanya? Termasuk tamu dari Siauw-lin-pai?”

“Semua. Juga Wat Siok Hosiang dan ketiga anak buahnya.”

Can Te Cun mendesah, seperti ingin membuang semua beban yang menghimpit di dada. Dia kemudian berjalan, dan memeriksa. Seorang pemuda berwajah tampan tiba-tiba muncul dan melompat dari atap rumah yang ditempati rombongan Hoa-san-pai.

“Aku telah melakukan pemeriksaan, kong-kong (kakek). Tidak ada genteng yang rusak. Juga tidak ada jendela yang dibuka paksa. Agaknya para pembunuh masuk melalui pintu depan,” kata si pemuda.

Te Cun mengangguk, mencoba tersenyum. “Bagus Han Sin. Apa lagi yag kau temukan?”

“Para pembunuh pastilah berilmu tinggi. Para saudara yang membuat panggung bekerja hingga dini hari, namun tidak mendengar atau melihat hal-hal mencurigakan. Tidak terdengar bunyi perkelahian, tidak terdengar jeritan kesakitan,” ujar Han Sin.

Te Cun memejamkan mata. Tentu saja mereka berilmu tinggi. Dan mereka bisa datang seperti angin. Anak buahnya yang ilmunya jauh lebih rendah pasti tidak bisa mendengar apa-apa.

“Ada lagi?” kata Te Cun. Suaranya terdengar seperti mengambang.

“Para tamu semua tewas, namun dengan sebab yang berbeda. Rombongan dari Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai tewas oleh pedang. Tamu dari Siauw-lin-pai tewas karena pukulan di kepala. Rombongan dari Kong-tong-pai terkena pukulan di dada, dan tamu dari Hek-tiauw-pang tewas terkena pukulan di kepala. Aku belum memeriksa tamu yang lain…”

“Huh, Hek-tiauw-pang biasa membunuh dengan jurus cakar, kini mereka tewas dengan ilmu cakar…..” Suara itu terdengar dari belakang. Entah siapa yang bicara.

Han Sin tiba-tiba terlonjak kaget, seperti disengat petir. “Ah benar sekali….Kenapa tidak terpikir dari tadi?”

“Apa maksudmu Han Sin?” tanya Te Cun.

“Aku pikir… Aku pikir…. Aku tahu kenapa para tamu tewas dengan sebab yang berbeda…”

“Maksudmu?”

“Mereka, para tamu, tewas oleh ilmu silat andalan mereka… Rombongan Hek-tiauw-pang misalnya. Aku yakin mereka tewas oleh ilmu cakar yang disebut Jing-mo-jiu (Tangan Hantu Hijau) yang mereka andalkan. Sedangkan rombongan Kong-tong-pai aku yakin tewas terkena ilmu Pek-lek-sin-jiu (Pukulan Halilintar)….. Kong-kong pernah bercerita kalau Pek-Lek-sin-jiu adalah ilmu andalan Kong-tong-pai, berupa pukulan dengan telapak tangan yang mengandung hawa panas bukan?”

Te Cun memandang wajah Han Sin yang terlihat bergairah. Cucunya ini ternyata jauh lebih cerdik dari yang dia duga. Ada harapan, pikirnya.

“Kong-kong? Kenapa?” tanya Han Sin setelah melihat sang kakek seperti sedang melamun.

“Eh, apa? Oh ya. Kemungkinan itu bisa saja. Jadi rombongan Bu-tong-pai dan lainnya juga tewas oleh ilmu mereka?”

“Aku pikir Han Sin-sute benar, pangcu. Rombongan Kun-lun-pai tewas dengan luka tusukan di tenggorokan. Aku menduga mereka diserang dengan jurus Ci-gi-tong-lay (Pelangi Melintas dari Timur) dari Kun-lun Kiam-Hoat (Ilmu Pedang Kun Lun).”

“Benar, suheng. Sementara rombongan Bu-tong-pai tewas dengan tubuh terbelah. Aku yakin mereka diserang dengan jurus Liu-sing-kan-goat (Bintang Meluncur Memburu Rembulan) dari Bu-tong Kiam-hoat,” kata Han Sin. Matanya berbinar.

“Bagaimana dengan rombongan Siauw-lin-pai?”

“Mereka tewas dengan kepala berlubang, kong-kong. Ada tiga lubang. Aku yakin tiga lubang itu bekas tiga jari. Aku menduga mereka diserang dengan jurus Yu-co-an-hoa-chiu (Pukulan Menembus Bunga), dari Kin-na-chiu-hoat (Ilmu menangkap dan Mencengkeram) yang terkenal itu.”

Te Cun memejamkan mata, dan menunduk. Dia kemudian menarik nafas panjang. Berkali-kali.

“Apakah kong-kong dapat menduga siapa kira-kira yang melakukan pembunuhan keji ini? Dia atau mereka berilmu tinggi dan menguasai bermacam ilmu. Pasti tidak sukar untuk mencari mereka, karena yang menguasai bermacam ilmu tinggi pasti tidak banyak…”

Te Cun menggelengkan kepala. “Nanti kita bicarakan lagi. Yang utama, kita urus dulu jenasah mereka. Segera buat peti mati. Kalau papan tidak cukup, ambil papan dari rumah-rumah ini. Kemudian kita pikirkan bagaimana mengirimkan jasad ini ke tempat asal mereka.”

“Karena tempatnya cukup jauh, aku pikir sebaiknya kita menggunakan jasa piaukiok. Emmm, mungkin kita bisa menghubungi Lok Yang piaukiok yang berada di Kota Lok Yang. Mereka punya reputasi bagus,” ujar Kai Song.

Te Cun mengangguk setuju. Lok Yang piaukiok merupakan perusahaan jasa pengiriman yang terkenal di dunia kang-ouw. Pimpinan mereka, Tan Leng Ko berilmu tinggi namun rendah hati. Sejauh ini dia tidak pernah mendengar kabar buruk tentang barang yang dibawa Lok Yang piaukiok.

“Kau aturlah. Hubungi mereka dan tanya berapa biayanya. Katakan terus terang bahwa yang akan dikirim adalah jenasah. Kita akan membayar berapa pun yang mereka minta. Usahakan agar Tan Leng Ko bisa turun tangan sendiri, melakukan pengawalan…”

Kai Song mengangguk dan segera memberi perintah kepada anak buahnya. Sebagian anggota Pek-kiam-pang meneruskan pembuatan panggung. Namun suasana telah berubah.

***

TE Cun memanggil Kiang Cu Ge. Kedua lelaki ini berjalan perlahan, memasuki rumah dan beranjak ke lantai dua. Di kamar Te Cun segera mengunci pintu.

Tanpa bicara dia kemudian membuka laci sebuah lemari yang terletak di sudut. Te Cun mengambil sebuah sampul surat.

“Berikan surat ini kepada Han Sin. Namun ingat, surat ini baru kau berikan setelah kalian berada di tempat itu. Kau mengerti?”

Cu Ge mengangguk. Tak tahu harus bicara apa.

“Kau masih ingat bagaimana cara memasuki tempat itu bukan? Ingat, lakukan secara diam-diam. Nyawa kalian taruhannya.”

Kembali Cu Ge mengangguk, kendati tidak sepenuhnya mengerti. Pangcu menitipkan surat bersampul. Kenapa tidak memberikannya sendiri? Bukankah surat itu akan diberikan pada cucu kandungnya sendiri?

“Sebenarnya aku bisa memberikan surat ini secara langsung. Tapi terlalu berbahaya,” kata Te Cun seolah mengetahui apa yang ada di benak Cu Ge. “Sekarang pergilah. Ingat, sesudah makan siang, kau ajak Han Sin ke tempat itu. Dan patuhi apa yang aku pesankan di surat,” tambah Te Cun.

Cu Ge mengangguk dan berpaling.

“Cu Ge, tunggu….” Cu Ge berpaling dan terkejut melihat kedua mata pangcunya basah.

“Cu Ge, berjanjilah bahwa kau akan melakukan perintahku…”

“Aku berjanji, pangcu. Bahkan aku siap bersumpah jika itu membuat pangcu merasa lebih baik…”

Te Cun mencoba tersenyum, dan mengerjapkan matanya. “Kau tidak perlu bersumpah. Aku percaya sepenuhnya padamu. Kalau tidak….” Te Cun menggelengkan kepala. “Kau pergilah….”

Perlahan Cu Ge membuka pintu. Tangan kanannya meraba surat yang diselipkan di saku pakaian. Dadanya berdebar.

Te Cun menatap Cu Ge yang menuruni tangga. Dia kemudian menutup pintu. Mereka sudah tahu. Rencana terpaksa dirubah. Dia mendesah. Semoga Thian mengampuni aku…

***

KAI Song mengawasi belasan anggota Pek-kiam-pang yang sedang membuat peti mati. Ada 21 peti yang harus dibuat. Peti mati untuk 21 tamu yang tewas secara misterius.

Tewasnya para tamu membuat suasana di Pek-kiam-pang berubah total. Tidak ada lagi keceriaan. Canda tawa sudah lenyap bagai ditiup angin. Yang ada rasa gundah, rasa penasaran dan ketidakmengertian.

Selain rombongan dari lima partai besar, yakni Siauw-lin-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan Kong-tong-pai, ada enam rombongan dari Bu-san-pang, Tiam-jong-pang, Hek-tiauw-pang, Thian-sang-pang, Kie-keng-pang dan Giok-hwa-pang yang datang. Semuanya tewas.

Kai Song menarik nafas panjang. Tewasnya para tamu pasti akan berbuntut panjang. Entah bagaimana caranya menjelaskan pembunuhan ini kepada ciangbunjin dan pangcu sejumlah partai dan perkumpulan. Bagaimana pun, mereka tewas sebagai tamu Pek-kiam-pang. Otomatis Pek-kiam-pang harus bertanggungjawab. Dan jika Can Te Cun benar-benar mengundurkan diri, maka tanggung-jawab itu harus dipikulnya.

“Yah, jika aku benar-benar menjadi pangcu, mau tidak mau tanggung-jawab itu harus kupikul,” pikir Kai Song. Keputusan Can Te Cun memilih Kai Song sebagai pangcu pengganti tidak menimbulkan riak. Kai Song adalah murid pertama dari lima anggota yang menjadi angkatan pertama. Dia sudah menjadi anggota Pek-kiam-pang selama 15 tahun, sejak hari pertama perkumpulan ini didirikan.

Ketika Can Te Cun mengungkapkan niatnya mundur sebagai pangcu, hanya ada dua nama yang muncul sebagai calon pengganti. Kai Song dan Can Han Sin. Awalnya Kai Song mengira Te Cun akan memilih Han Sin. Suatu pilihan yang bisa dipahami karena Han Sin sudah mewarisi semua ilmu kepandaian sang kakek. Dia juga tidak sombong dan sangat cerdik.

Namun Te Cun ternyata memilih Kai Song. Dan pilihan itu diumumkan secara terbuka.

“Sekarang aku mengerti kenapa pangcu memilih aku,” pikir Kai Song.

Jika Han Sin terpilih, dia pasti akan menemui kesulitan jika harus menjelaskan pembunuhan ini kepada para ciangbunjin dan pancu partai dan perkumpulan besar. Biar bagaimana pun, di dunia persilatan Han Sin masih tergolong anak kemarin sore.

Kai Song kembali menarik nafas panjang. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya jika para ciangbunjin dan pangcu bertanya tentang identitas pembunuh. Menurut Han Sin, dan dia pikir hal itu ada benarnya, para tamu tewas terkena pukulan andalan yang mereka kuasai. Jika dia salah bicara, pasti akan timbul salah paham. Dan akibatnya bisa sangat fatal.

Namun siapa sebenarnya para pembunuh? Jika mereka ingin membunuh, kenapa harus dilakukan saat mereka berada di wilayah Pe-kiam-pang? Kai Song berpikir keras. Alisnya berkerut.

Atau, pembunuhan itu merupakan peringatan untuk Pek-kiam-pang? Dada Kai Song tiba-tiba berdetak kencang. Peringatan untuk Pek-kiam-pang!! Tapi kenapa? Dan apa alasannya?

Dia kemudian teringat raut wajah pangcu Can Te Cun ketika mendatangi lokasi pembunuhan. Te Cun terlihat terpukul, sangat terluka, namun jelas sekali Te Cun tidak terlihat kaget atau terkejut. Seakan-akan dia sudah menduga kalau hal ini akan terjadi.

Apakah pembunuhan ini ada hubungannya dengan niat Te Cun mengundurkan diri sebagai pangcu? Kai Song tiba-tiba merasa kepalanya pening. Terlalu banyak kemungkinan, namun hanya sebatas kemungkinan, tanpa fakta.

Pembuatan peti mati sudah hampir rampung. Sebagian anggota perkumpulan kini sibuk merubah dekorasi. Kain berwarna merah menyala dicabut, diganti warna putih. Suasana berkabung kini terasa.

“Usahakan pekerjaan sudah selesai sebelum makan siang,” ujar Kai Song. Jika upacara pengunduran diri Te Cun sebagai pangcu benar-benar akan dilaksanakan, maka upacara bisa dilakukan sesudah makan siang, sebelum para tamu yang sudah mendengar pembunuhan ini berdatangan.

“Aaaaaarrrrrgggghhh.....” Suara itu terdengar nyaring membelah suasana. Jeritan kesakitan. Dan datangnya dari kamar di lantai dua.

”Astaga, pangcu....” Kai Song yang tahu persis suara pangcunya segera melompat. Tangan kanannya kemudian menotol dinding dan dalam sekejap dia masuk melalui jendela kamar. Hampir bersamaan waktunya dengan Can Han Sin yang datang dari arah berlawanan.

Pemandangan yang terpampang nyaris membuat Kai Song dan Han Sin pingsan. Mereka melihat Te Cun, tergolek di kursi. Kepalanya rebah ke kiri, dengan leher hampir putus. Darah membanjiri baju putih yang dia kenakan. Tangan kanannya memegang sebilah pedang berlumuran darah.

“Kong-kongggg....” Han Sin menubruk kakeknya. Tubuhnya masih hangat. Namun nafasnya telah putus.

“Pangcu....” bisik Kai Song lirih dan tak percaya. Pangcunya bunuh diri, menggorok lehernya sendiri dengan Pek-kiam (Pedang Putih) yang selama ini digunakannya untuk menumpas para penjahat.

“Kong-kong, kenapa.... kenapa....” Han Sin berlutut di depan kakeknya, mengguncang lengan kiri kuat-kuat, seakan dengan mengguncang dia akan mendapatkan jawaban.

Kai Song mengarahkan pandangannya, melihat kalau-kalau ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Pandangannya tertuju pada sehelai kertas berwarna putih disertai sebuah pit (pena). Kertas itu ditindih sebuah batu kumala kecil.

Dia mengambil kertas itu, yang ternyata berisi pesan terakhir Can Te Cun. Kai Song menyerahkan surat ini kepada Han Sin.

Isi surat itu pendek, dan ditujukan kepada mereka berdua.


Kai Song dan Han Sin, maafkan aku.
Aku telah mencoba, tapi sudah terlambat. Mereka sudah tahu.
Kai Song, pimpinlah Pek-Kiam-Pang, contohi air yang mengalir
Han Sin, ikuti petunjuk.
Kelak, kalian berdua akan mengerti.
Sekali lagi, maafkan aku. Can Te Cun.


Han Sin membaca surat itu sekali lagi, dan mengulangi lagi. Namun surat itu justru membuatnya makin bingung. Dia mengangsurkan surat itu kepada Kai Song. Kai Song menggelengkan kepala.

“Kau simpan saja surat itu, Han Sin-sute...”

“Aku tidak mengerti, suheng. Apa maksud kakek? Kenapa dia mengatakan sudah terlambat?”

“Aku juga tidak mengerti, sute. Tapi aku pikir ini pasti ada hubungannya dengan pembunuhan yang menimpa para tamu.”

“Dan kakek menulis ‘mereka sudah tahu’. Mereka siapa??” Keduanya terdiam, merenung, tanpa jawaban.

“Dari semua yang ditulis kakek, hanya ada satu hal yang jelas. Yakni suheng diminta memimpin Pek-kiam-pang. Berarti kakek tetap menginginkan suheng menjadi pangcu...”

“Agaknya begitu, sute...” jawab Kai Song. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa kerongkongannya seperti tercekik.

Sejumlah anggota Pek-kiam-pang kini memasuki kamar. Suasana gaduh. Kai Song segera memerintahkan anak buahnya mengatur jenasah Can Te Cun. “Siapkan peti mati untuk pangcu kita. Peti mati yang paling bagus.....”

Sementara Han Sin menuruni tangga seperti bermimpi. Apa yang terjadi hari ini benar-benar luar biasa dan sama sekali tak terbayangkan. Para tamu tewas, semuanya berilmu tinggi, perwakilan partai dan perkumpulan ternama. Dan kini kakeknya tewas. Bunuh diri. Dan meninggalkan surat yang tidak dimengerti.

Kenapa kakek bunuh diri? Benarkan terkait dengan pembunuhan para tamu? Bagaimana kaitannya, dan kenapa?

Han Sin membaca kembali surat itu. Membaca berulang-ulang pesan terakhir yang ditujukan untuknya.. Ikuti petunjuk. Ikuti petunjuk. Tapi petunjuk apa? Dia menggelengkan kepala dengan putus asa. (Bersambung)

Wednesday, July 2, 2008

Glady Kawatu: Seks itu Indah



Tulisan ini pernah dimuat di Harian Metro, dan sempat menghebohkan, terutama karena yang disampaikan Glady termasuk sensitif untuk kalangan pejabat, yakni seks. (Setelah tulisan ini dimuat, Glady mendapatkan banyak sekali telepon yang menanyakan soal artikel ini). Glady saat itu Humas Pemkab Minahasa, sekarang baru saja dimutasi menjadi Kepala Badan PMD. Sesudah Kabag Humas dia dipercaya menjadi Kadis Infokom....


GLADY
Kawatu SH MSi membelalakkan matanya yang indah ketika METRO mengatakan tidak akan bertanya tentang pemerintahan, tapi soal kehidupan pribadi.

"Ado, apa lei komang angko mo tanya," ujar Glady. Kabag Humas Pemkab Minahasa ini tertegun dan sedikit tersipu ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan, yakni pendapatnya tentang seks.

"Aduh, seks? Emhh, apa kang? Ya, seks itu indah no," katanya sambil mengulum senyum.

Dia kemudian duduk bersandar di kursi. Kedua tangannya merapikan rambut ke belakang. "Menurutku, seks merupakan anugerah Tuhan yang sangat luar biasa," katanya lagi. Karena merupakan anugerah Tuhan, lanjut ibu dari Delano ini, dia dan suami berusaha menikmati, kendati ada kendala serius, terutama karena sang suami, Danny Pinasang, saat ini tak berada di Sulut karena sedang studi S2 di Yogyakarta.

Tidak kesepian? Glady kembali merapikan rambutnya dengan kedua tangan (rupanya merapikan rambut merupakan kebiasaan Glady jika sedang berpikir, atau jika dia sedang 'salah tingkah'). "Untung saja sebagai humas saya cukup sibuk. Tapi, memang kadang-kadang datang juga rasa sepi," kata dia.

Karena itu, lanjutnya, dia dan suami sudah punya kesepakatan soal pertemuan. "Kita deng peitua so baku ator, paling lama baku pisah satu bulan stenga. Lebe dari itu, dia yang musti datang ato kita yang pigi," katanya.

Karena sang suami kecil kemungkinan untuk bisa datang, biasanya Glady yang berkunjung ke Jogya, kendati membuatnya harus merogoh kocek dalam-dalam. "Lantaran itu kalu baku dapa, kita ja bilang pa peitua, torang pe pertemuan ini sangat mahal," katanya sambil tertawa kecil.

Selain berangkat di waktu libur, Glady juga kerap meluangkan waktu ke Jogya jika kebetulan ditugaskan atasannya ke Jakarta atau Bandung. Karena itu Glady mengaku bersyukur karena para atasannya, mulai dari Asisten, Sekdakab hingga Bupati, bisa 'memahami'. "Perna bapak bupati ba telepon, tanya di mana. Kita bilang di Jogja, kong bapak bilang 'sorry so ba ganggu kote', kong se putus tu telepon. Kita komang tu ilang slak. Kita langsung telepon pa bapak, kage ada yang penting," cerita Glady dengan mata menerawang.

Ketika METRO mengingatkan bahwa Glady pernah mengeluh sakit belakang setelah pulang dari Jogya, dia terdiam. Jangan-jangan karena salah gaya? Glady kembali membelalakkan matanya. "Salah gaya? Aduh, nyanda komang. Mungkin lantaran so lama jadi so kaku," jawabnya sambil tersenyum penuh arti.

Tanya jawab soal seks rupanya cukup menyenangkan bagi Glady. Ketika METRO sudah kehabisan bahan pertanyaan, dia dua kali 'memancing'. "Ada lagi tu mo tanya?"

Jadi seks itu indah? Glady mengangguk. Apalagi kalau dilakukan dengan orang yang dicintai, kang? Glady cepat-cepat menganggukkan kepala. "Oh pasti. Itu syarat utama," kata Glady. Kali ini dengan mimik serius.(*)

Orang Minahasa Keturunan Suku Israel yang Hilang?



Tulisan ini pernah dimuat di tabloid Mimbar Bersama, berisi teori 'aneh', bahwa ada kemungkinan orang Minahasa itu merupakan bagian dari suku Israel yang hilang. Karena namanya teori, wajar jika terkesan tidak masuk akal......


UMUMNYA sejarahwan sepakat kalau nenek moyang orang Minahasa berasal dari Cina atau Jepang. Namun kini ada teori baru, yang mungkin terdengar aneh dan tak masuk akal. Bahwa ada kemungkinan, nenek moyang orang Minahasa adalah suku-suku Israel, yang lazim disebut ‘suku Israel yang hilang’.

Teori atau hipotesis ini disampaikan seorang pemerhati budaya, yang sayang sekali menolak namanya dipublikasikan. Mungkin karena merasa teori yang dikemukakannya ini tidak lazim.

Menurut Tole Mantatenga—sebut saja namanya begitu, kemungkinan nenek moyang Minahasa berasal dari suku Israel yang hilang, berdasarkan apa yang menurutnya beberapa kesesuaian antara kekhasan masyarakat Minahasa dengan kebiasaan para suku Israel.

Dia mencontohkan soal pakasaan atau walak yang eksistensinya mirip dengan suku-suku di Israel pra kerajaan. Pakasaan di Minahasa menganut sistim otonomi, sama halnya dengan suku-suku Israel. Pakasaan dipimpin kepala walak melalui mekanisme pemilihan, sama halnya dengan para ketua suku Israel kuno.

Pakasaan Minahasa kuno, kendati hidup otonom, namun bisa mengikatkan diri menjadi satu kesatuan jika menghadapi bencana atau ancaman musuh, sama halnya dengan yang biasa dilakukan Israel sebelum menjadi kerajaan.

Tole juga menyorot peran Walian, pemuka agama kuno Minahasa yang (menurut penilaiannya) mirip dengan peran Imam Israel kuno. Atau kebiasaan mendirikan batu tumotowa, semacam ‘tugu’ peringatan berdirinya suatu wanua yang mirip dengan yang biasa dilakukan suku-suku Israel sebelum memasuki Kanaan. Begitu juga dengan upacara mempersembahkan korban kepada Pencipta yang agak-agak mirip, dan beberapa hal lain.



Israel yang hilang

Sebelum lanjut, siapa sebenarnya yang dikenal dengan ‘suku Israel yang hilang’ itu? Sampai sekarang, keberadaan ‘suku Israel yang hilang’ ini masih menjadi perdebatan para ahli teologi, yang kadar misterinya setara dengan pertanyaan: Di mana ‘Tabut Perjanjian’ sekarang.

Menurut sejarah, kerajaan Israel Raya yang besar dan megah semasa pemerintahan Raja Daud dan Salomo pecah menjadi dua, di masa pemerintahan Raja Rehabeam, putra Salomo, sekitar tahun 931 sebelum Masehi (sM). Sepuluh suku memisahkan diri mendirikan kerajaan Israel Utara, dengan Yerobeam sebagai raja pertama. Sedangkan sisanya, suku Yehuda dan Benyamin (bersama segelintir masyarakat 10 suku yang setia dan tidak mau memisahkan diri), kemudian dikenal dengan kerajaan Israel Selatan atau Yehuda, yang diperintah oleh dinasti Daud.

Kerajaan Israel Utara (yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Israel) dengan ibukotanya Samaria kemudian dikalahkan bangsa Asyur, sekitar tahun 722 sebelum Masehi. Sebagian besar penduduknya dibuang ke negeri asing, dan sebagai gantinya, Asyur mendatangkan bangsa lain ke Samaria dan sekitarnya.

Kerajaan Yehuda juga akhirnya dikalahkan, sebagian besar penduduknya dibuang ke Babel, dan Yerusalem dirobohkan, sekitar tahun 587 sM. Namun berbeda dengan masyarakat Yehuda yang akhirnya bisa kembali ke negeri asalnya, maka penduduk 10 suku bekas anggota kerajaan Israel yang dibuang Asyur itu tidak pernah kembali, sampai sekarang.

Keberadaan para keturunan suku Israel yang dibuang itu –yang dikenal dengan istilah ‘suku Israel yang hilang’--kemudian menjadi bahan spekulasi. Ada dongeng yang menyebutkan, sebelum Yesus menyatakan diri dan dibaptis Yohanes, Ia terlebih dahulu melanglangbuana, mencari di mana keberadaan keturunan 10 suku itu.

Ada juga laporan yang menyebutkan, di beberapa kawasan di India, Pakistan dan Bangladesh, ada suku-suku yang memakai nama mirip dengan nama-nama Israel. Ada juga tulisan yang menyebut bahwa orang Jepang sekarang adalah keturunan suku Israel yang hilang itu.

Beberapa ritual Jepang konon sangat mirip dengan yang dilakukan bangsa Israel kuno. Kaum Mormon malahan percaya kalau suku Israel ini tinggal di Amerika. Tidak jelas apakah yang dimaksudkan adalah suku Indian, atau suku lain.

Mungkin sekali, teori yang digagas Tole seperti yang disebutkan di atas, terinspirasi dari hal-hal itu. Bahwa mungkin saja, atau ada kemungkinan, nenek moyang orang Minahasa adalah masyarakat Israel kuno yang diasingkan bangsa Asyur.

Bahwa setelah kekuasaan Asyur melemah, para keturunan suku Israel ini berpindah tempat. Tidak lagi kembali ke daerah asal, tapi ke negeri asing. Bukan tidak mungkin ada yang sampai ke Cina, dan dari sana ada yang kemudian pindah ke Minahasa. Bisa saja.

Israel baru


Jadi nenek moyang orang Minahasa itu adalah suku Israel yang hilang? Bisa ya, bisa tidak. Mudah-mudahan ada yang berkeinginan melakukan penelitian ilmiah soal ini, dengan memparalelkan beberapa kekhasan orang Minahasa dengan suku Israel kuno.

Yang jelas, bagi orang Minahasa yang percaya kepada Kristus, hal ini tidak terlalu penting. Karena dengan percaya kepada-Nya, otomatis kita menjadi anggota Kerajaan Israel Baru. Dengan kata lain, orang Minahasa sekarang memang ‘keturunan’ orang Israel. Bukan secara fisik, tapi secara rohani. Kalau soal ini, saya yakin banyak yang setuju. Oi to? (*)

Pake cidako, tolu, loto....

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Telegraf dan tabloid Mimbar Bersama, disarikan dari tulisan N Graafland


PAKAIAN seperti apa yang digunakan masyarakat Minahasa ratusan tahun yang lalu? Jenis mode seperti apa yang ‘trend’ waktu itu?

N Graafland, pendeta dari Belanda yang bertahun-tahun tinggal di Minahasa mencatat, di pertengahan tahun 1800-an, masyarakat Minahasa sudah ada yang mengenakan sarung dan kebaya. Sebagian hanya mengenakan sarung yang diikatkan di atas dada.

Sebagian laki-laki lebih suka bertelanjang dada. Dan hanya mengenakan kain penutup, yang waktu itu populer dengan sebutan cidako. Yang terbuat dari kulit pohon, kain linen biru, atau belacu dengan gambar mencolok. Namun sebagian besar laki-laki Minahasa sudah mengenakan baju untuk bagian atas, dan tetap memakai cidako untuk bagian bawah. Sebagian yang lain memakai rumbai-rumbai.

Karena pengaruh ‘modernisasi’ Belanda, sudah cukup banyak masyarakat yang mengenakan celana, apalagi di jalanan. Dan hanya sedikit yang memakai sarung.

Generasi yang lebih muda, biasanya lebih cepat mengikuti trend mode yang up to date. Mereka sudah mengenakan pakaian lengkap, dengan standar Eropa.

Penutup kepala

Kebanyakan masyarakat Minahasa, memakai tolu sebagai penutup kepala. Tolu, adalah topi datar dengan tepi yang sangat lebar, dan runcing di bagian tengah. Sehingga dapat berfungsi seperti payung, yang cocok untuk menyalurkan air hujan.Umumnya tolu terbuat dari daun silar, sejenis palem Kipas yang menjulang tinggi. Tolu biasanya diwarnai dengan getah akar suatu pohon, yang dimasak terlebih dahulu.

Selain dari daun silar, ada juga tolu yang dibuat dari batang padi. Jika terkena matahari, warna kuning emas tolu ini terlihat mengkilap. Kendati memakai tolu merupakan kebiasaan, namun tutup kepala ini tidak dipakai jika masyarakat sedang menjunjung sesuatu di kepala. Waktu itu, masyarakat Minahasa, khususnya wanita, terbiasa menjunjung beras, sayur dan buah-buahan dengan loto (bakul) di atas kepala.

Graafland sempat terheran-heran melihat wanita Minahasa menjunjung sesuatu di atas kepala, tanpa memegangnya. “Mereka terlatih menjaga keseimbangan beban. Bahkan botol pun tidak akan jatuh dari kepala wanita itu. Kalau kami harus melakukannya, sebelum tiga langkah, botol minyak itu pasti sudah jatuh,” tulis Graafland.

Biasanya orang Minahasa menjunjung sesuatu untuk dijual. Hasil pertanian, dibawa (dijunjung) untuk dijual ke Manado, pasar, atau langganan tetap. Waktu itu, orang Minahasa sudah lazim bertani sayur dan buah-buahan. Serta memelihara ayam.

Ada hal menarik menyangkut kebiasaan berjalan sebagian masyarakat Minahasa. Orang Minahasa biasa berjalan—yang menurut istilah Graafland—‘beriringan seperti angsa’. Seorang berjalan di belakang yang lain. Dan sangat jarang ada dua orang yang berjalan berdampingan. Diduga, cara berjalan seperti ini menjadi kebiasaan, karena di Minahasa hanya ada jalan-jalan sempit dan kecil, yang lazim disebut ‘jalan kebun’ atau ‘jalan anjing’. (*)

Tuesday, July 1, 2008

Surat dari Minahasa

Tulisan ini dimuat di Suara Minahasa Magazine, majalah terbitan Amerika Serikat edisi Juli 2004, namun dibuat bulan Juni, saat Piala Eropa (di mana kote) tengah berlangsung...

Buat sudara di jao sana

Selamat baku dapa

Moga-moga ngoni samua nyanda kurang apa-apa, kong tu Tete Manis masi ja ambor-ambor akang berkat, kong Dia beking sehat-sehat selalu.

Kalu torang di sini, masi aman-aman, kong masi sehat-sehat. Memang akhir-akhir ini tu amper samua tuama di Minahasa so mulai ja dapa saki. Saki bringus deng panas. Depe penyebab, apa lagi kalu bukang tu Piala Eropa (Euro 2004).

Ngoni stou mo ta heran-heran kalu tau tu orang Minahasa pe suka skali ba uni bola kaki. Apalagi kalu ba bicara tu pertandingan macam Piala Eropa. Amper samua cirita salalu babunyi bola.

Di sini, di Minahasa, tu siaran langsung ja mulai jam 12 tenga malam deng jam tiga amper siang. Lantaran tu pertandingan amper tiap malam selama satu bulan, terpaksa katu banya tuama-tuama ja bagadang kong bauni dorang pe gaco ba dusu-dusu kong skop-skop tu bola bundar. Lantaran bagadang amper tiap amalam, jang ngoni heran kalu banya tu dapa saki.

Mar untung jo, sampe tu surat ini kita tulis, kita belum ada tanda-tanda mo dapa saki. Moga-moga tu torang pe Tete Manis tetap kase kekuatan (deng penghiburan) kalu ta pe gaco kalah. Kalu kita, ki tape gaco tu kesebelasan Inggris. Untung jo, waktu tu surat ini kita tulis, tu Inggris so lolos di babak perempat final. Nyanda sama deng tu Spanyol deng Italia yang so ciri kong terpaksa pulang kampung.

Kalu ngoni bagimana. Ja bau ni jo tu Piala Eropa? Dengar-dengar tu bola kaki nyanda top di Amerika kang? Yang top kata tu pertandingan baseball deng basket. Butul itu? Kong ngoni bagimana, so ta iko tu selera Amerika, ato masi suka bola. Kalu torang di sini, ya bole bilang pe maniak bola.

Selain dapa demam bola, torang pe keadaan masi biasa-biasa. Skarang so maso kampanye presiden, mar kiapa stou, depe suasana nyanda talalu dapa rasa kalu skarang kampanye. Pe beda skali deng tu kampanye legislatif tempo hari. Tempo, amper tiap hari ada konvoi ba kampanye. Skarang pe kadang kong nyanda dapa rasa.

Awal bulan Juni, tu Tondano da dapa tamu, peserta Pekan Nasional (se pende jadi Penas) Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) se Indonesia . Tu da datang amper 15 ribu orang. Ngoni bayangkan jo tu Tondano dapa tamu pe banya bagitu. Lantaran pe banya, sebagian peserta ba tidor di Tomohon deng Sonder. Torang pe kampung da dapa tamu amper ampa ratus orang, dari propinsi Sumatera Utara.

Tu Penas ini memang sempat jadi pembicaraan, lantaran depe pembukaan da hadir torang pe Presiden, Megawati Soekarnoputri. Yang heboh, ibu Mega datang di stadion Maesa Tondano nyanda pake oto, mar pake helikopter. Supaya stou cepat kang?

Oke, bagini dulu ne kita pe surat . Kita somo tidor, lantaran sabantar mo ba gadang ba uni bola kaki. Nanti jo sambung bulan datang, kalu kita nyanda dapa saki. He…he…

Monday, June 30, 2008

Awal Membaca KPH

Tulisan ini pernah diposting di milis khopingho (KPH). Saya menjadi anggota milis ini untuk mendapatkan masukan, setelah ada rencana mendatangkan karakter ciptaan KPH, yakni Pendekar Super Sakti Suma Han ke dalam cerita silat Waraney

AWAL membaca KPH, mirip-mirip dengan para suheng lain. Saya membaca saat SMP kelas. Yang saya ingat betul judulnya Kisah Para Pendekar Pulau Es. Hanya satu bendel, namun membacanya lamaaaaaaaa sekali. Padahal saya sudah membacanya sambil makan.
Bendel ini saya dapatkan dari kakak kelas (dia juga anggota milis ini, sekarang tinggal di Jakarta, sudah jadi 'orang'), begitu juga bendel lanjutannya. Yang saya ingat saya tidak sempat menamatkan, sudah keburu ditagih.
Semasa SMA, rekan sebangku langganan sebuah penyewaan. Saya numpang meminjam, biar gratis. Yang dibaca waktu itu Asmara Berdarah, dan lanjutannya, Pendekar Mata Keranjang dan Jodoh Mata Keranjang.
Kelas 2 SMA, saya patungan dengan 'kakak kelas' yang pernah meminjamkan semasa SMP (kendati dia bersekolah di SMA lain, SMA swasta). Biasanya kami sore-sore sambil bersepeda pergi ke kios buku. Awalnya KPH, kemudian berlanjut ke seri non KPH).
Waktu kuliah, saya membaca ulang semua seri KPH. Kebetulan di kota tempat saya kuliah pada dindingnya ada kertas karton bertuliskan urutan karya KPH. Jadi saya membacanya dari awal. Bu Kek Sian Su dst. Rasa-rasanya semua seri KPH sudah saya baca, termasuk yang keluaran terbaru, yang pendek-pendek.
Sesudah menikah, saya pernah membeli Kisah Sepasang Rajawali di Gramedia, untuk nostalgia. Istri saya marah besar, karena saya lebih memilih membaca daripada mengurus anak he...he... Terpaksa lanjutannya Jodoh Rajawali saya baca di e-book, yang sekarang lagi trend. Sekarang saya biasa membaca KPH (dan karya pengarang lain) via e-book, dilakukan di sela-sela kerja di kantor. Sejauh ini masih aman-aman.
Saya punya obsesi, kelak, jika situasi sudah memungkinkan, (terutama jika anak-anak sudah besar), saya akan mengoleksi semua cerita KPH. Yang versi cetak. Saya juga berencana memperkenalkan KPH pada sepasang anak saya. Agar pembaca KPH bisa punya penerus.
Oh ya dulu, semasa remaja saya pernah punya niat memberi nama anak lelaki saya Hay Hay, dan anak perempuan dengan nama Milana. Sayang rencana ini tidak terwujud, dengan berbagai pertimbangan, kendati saya dikaruniai sepasang putra-putri.................

Sunday, June 29, 2008

Cingke oh Cingke…..



Tulisan ini pernah dimuat di Harian Metro dan tabloid Bunaken News

ADA suatu masa, ketika komoditi cengkih atau cingke membuat sebagian warga Minahasa merasakan nikmatnya jadi orang kaya. Ada berbagai cerita aneh tapi nyata—yang sekarang menjadi anekdot, tentang perilaku sejumlah warga menyikapi kekayaannya.
Mungkin anda pernah mendengar kisah tentang om Jek—bukan nama sebenarnya, yang membeli lemari model terbaru di sebuah toko. Dengan bangga lemari ini dipamerkan di ruang tamu. Belakangan om Jek terheran-heran setelah melihat lemari yang dibelinya—dan diisinya dengan pakaian, ternyata memiliki kabel, padahal rumahnya belum dialiri listrik. Baru beberapa bulan kemudian om Jek sadar kalau yang dibelinya adalah lemari es alias kulkas.
Simak juga kisah tentang opa Hentje, juga bukan nama sebenarnya, yang pagi hari berangkat ke Jakarta dengan pesawat Garuda, siang hari menyantap masakan Padang di sebuah restoran di Jakarta Pusat, dan sore hari kembali ke Manado dengan pesawat yang sama.
Atau kisah om Dantje, (nama samaran), yang membeli minuman bir sedemikian banyaknya, sehingga ketika para tetangga dan kerabat sudah tak sanggup minum, bir yang tersisa dipakainya mandi.
Mungkin anda pernah mendengar kisah tante Via (juga nama samaran), yang jika ke toko selalu minta ditunjukkan barang yang harganya paling mahal. Atau kisah tante Lely (bukan nama sebenarnya), yang merasa sangat terhina dan tersinggung ketika kasir di sebuah toko memberikan uang kembalian!!!
Cerita-cerita ini, yang semuanya kisah nyata dan bukan rekaan, terjadi di tahun 70-an, ketika cingke memanjakan sebagian warga karena harganya yang sangat tinggi. Saat itu cingke benar-benar membuat pemilik emas coklat ini merasakan nikmatnya kemewahan.
Namun, layaknya roda yang berputar, cingke juga pernah membuat pemiliknya terpuruk. Harganya sangat rendah, bahkan lebih rendah dibanding harga batang cingke yang dijual sebagai kayu bakar.
Di tahun ’80-an, masyarakat Kota Tondano pernah didatangi sejumlah warga yang menjajakan barang pecah belah. Para penjual adalah mereka yang sebelumnya dikenal sebagai orang kaya, namun jatuh miskin ketika harga emas terpuruk. Saat itu banyak waga Tondano yang membeli barang yang dijajakan bukan karena perlu, tapi karena didorong perasaan kasihan melihat kondisi para penjual yang mengiba-iba dan mengenaskan.
Di tahun 2000 dan 2001, di luar dugaan harga cingke kembali meroket, kendati tidak sedrastis di tahun ’70-an. Para pemilik cingke menyikapi kenaikan harga ini dengan semangat ‘membalas dendam’. Pesta digelar tak henti, termasuk acara pengucapan syukur yang menakjubkan. Uang yang di tangan dibelanjakan berbagai barang berharga. Bahkan ada yang berani memborong mobil dan sepeda motor.
Sebagian kaum muda ada yang membeli handphone, yang di masa itu masih tergolong barang ‘mewah’. Beberapa muda-mudi ada yang nekat bercerita via handphone di bawah tatapan penuh kagum masyarakat, yang tidak menyadari kalau si muda-mudi ini hanya berakting alias pura-pura, karena kawasan mereka tinggal masih tergolong blank spot alias belum ada signal!!
Terkait dengan harga cingke, seorang teman, pimpinan organisasi kepemudaan pernah berujar, dia lebh menyukai jika harga cingke tidak terlalu mahal, namun juga tidak terlalu rendah. Alasannya, dengan harga cingke yang menengah, warga pemilik komoditi ini dipaksa untuk bersikap bijak, terutama dalam hal membelanjakan uangnya.
“Kalu harga cingke mahal, pasti banya yang ba bli macam-macam. Mar kalu komang talalu rendah, dapa sayang kasiang tu warga,” ungkap dia.
Saya sendiri, secara pribadi tidak terlalu mempermasalahkan apakah harga cingke itu tinggi atau rendah (terutama karena saya memang tidak memiliki cingke barang sebiji pun, he…he…). Namun menurut hemat saya, pernyataan teman ini ada benarnya. Mungkin sebaiknya harga cingke memang tidak terlalu tinggi agar warga tidak menjadi boros. Warga Sulut, khususnya Minahasa harus berkaca pada pengalaman lalu, ketika situasi mereka sangat-sangat menderita ketika emas coklat ini terpuruk harganya.
Saat tulisan ini dibuat, harga cingke berkisar di angka 38.000 hingga 39.500 rupiah. Angka yang sebenarnya termasuk lumayan, dalam arti tidak terlalu rendah kendati juga tidak tergolong tinggi. Tinggal bagaimana sikap pemilik cingke membelanjakan uangnya secara bijak.Sekarang bukan jamannya berdemo minta harga cingke dinaikkan, namun kemudian terjerumus dalam aksi foya-foya ketika harga cingke benar-benar meroket. (*)

Kalau Saja Para Pejabat Lebih Peka...

Tulisan ini pernah dipublikasi di Koran Lestari edisi Mei yang dimuat di Harian Manado Post. Saat itu sedang heboh-hebohnya dengan kenaikkan BBM, sehingga Lestari mengambil tema itu....

SUATU siang di sebuah kawasan Sulawesi Utara. Tiga mobil mewah melaju kencang, diawali mobil bersirene. Semua jendela ditutup rapat dengan kaca ‘rayban’. Namun masyarakat sudah sangat hafal: itu mobil kepala daerah. Warga juga sudah tahu, kalau iringan kendaraan ini sebenarnya hanya untuk mengantar satu orang, yakni yang mulia kepala daerah.
Ketika krisis BBM menjadi isu yang kemudian berubah menjadi realita pahit, iring-iringan mobil kepala daerah ini menjadi pemandangan yang sangat kontradiktif: ketika harga BBM melonjak, sejumlah pihak (baca: pejabat) justru mempertontonkan ketidakarifan yakni memakai kendaraan berlebihan yang boros BBM.
Dalam pemberitaan terkait krisis BBM di sejumlah media massa selama bulan Mei, diberi kesan bahwa pemerintah hanya punya dua pilihan. Yakni mempertahankan subsidi, atau menaikkan harga BBM. Padahal, ada satu pilihan logis yang bisa menjadi alternatif, yakni efisiensi penggunaan anggaran rutin negara.
Tapi seperti yang kita bisa saksikan setiap hati, para pejabat, baik tingkat pusat mau pun daerah, rupanya memang sukar untuk berhemat. Iring-iringan kendaraan misalnya. Mungkin si pejabat merasa tidak nyaman jika ke kantor tidak diiringi mobil bersirene dan satu mobil berisi pengawal.
Kalau toh ada upaya penghematan, itu tidak lebih pada ’akting’, guna memancing simpati. Seperti pejabat di Sulut dan Manado yang naik bendi ketika ’hari tanpa kendaraan bermotor’ belum lama ini. Untuk momen yang sama ada pejabat yang naik ojek (mungkin si pejabat mengira yang dimaksud kendaraan bermotor hanya mobil. Dia lupa kalau sepeda motor, sesuai namanya juga menggunakan motor).
Pada akhirnya, memang dibutuhkan kearifan dan kepekaan dari para pejabat. Paling tidak untuk memulai kampanye soal penghematan, baik penghematan anggaran maupun hemat BBM. Kampanye ini tentu saja harus dibarengi tindakan nyata.
Sebagai langkah awal, pejabat harus membiasakan diri bepergian tanpa diiringi kendaraan lain yang boros BBM. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pejabat di Sulut mau? (*)

Indahnya Kenangan di Faperta


BERUNTUNG sekali kita pe tampa dudu di kantor Lestari dekat deng Herman Teguh (Herteg), yang ternyata anggota milis mangifera_memoir, wadah para alumnus Fakultas Pertanian Unsrat untuk saling berbagi kenangan. Herteg, begitu dia biasa dipanggil kase daftar kita pe nama di milis itu.
Memang menyenangkan ketika akhirnya bertemu dengan teman, baik satu tingkat, kakak tingkat atau adek tingkat (kendati awal-awal harus memeras pikiran membayangkan bagaimana raut wajah teman yang membuat komentar).
Dan ketika foto-foto koleksi milis dibuka satu per satu, kenangan itu datang bagai embun yang menyejuk jiwa. Betapa belasan tahun telah berlalu, dan semua itu seperti baru kemarin.
Kenangan itu berisi pesan, betapa waktu telah merubah para mahasiswa/i yang 'polos' dan 'lugu' menjadi 'orang'. Betapa para mahasiswa yang masih 'poco-poco' kini telah menjadi bapak, ibu, punya anak, punya karier, sebagian merantau ke negeri jauh, bahkan ada yang punya hak memilih Barrack Obama menjadi Presiden.
Kalau toh milis dijadikan wahana untuk berkomunikasi, itulah sejauh ini yang bisa dilakukan untuk mentransformasi kenangan menjadi hal yang lebih positif. Materi yang diposting bukan hanya baku sedu hal-hal yang ringan, tapi juga artikel yang menggugah, lelucon yang membuat mulut tersenyum, baik bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.
Kenangan, ternyata bisa membawa pencerahan jiwa. (*)


Foto: Sebagian anak-anak Budidaya Pertanian, saat penerimaan jurusan di pantai Mangatasik.....

Burung

Humor ini dikirimkan dari dan ke sesama staf Yayasan Lestari. Lumayan lucu, sekaligus penghilang rasa suntuk....

Ada seorang lelaki tua yang memiliki hobi memelihara banyak burung.
Pada suatu pagi, semua burung kesayangannya hilang.
Merasa aksi pencuri sudah keterlaluan, si lelaki tua membawa masalah
itu dalam pertemuan mingguan di kampungnya.
Lelaki tua: "Siapa di sini yang punya burung?"
Seluruh penduduk laki-laki segera berdiri.
Menyadari kesalahannya dalam bertanya, lelaki itu menambah:
"Bukan itu maksud saya. Maksud saya adalah siapa yang pernah lihat burung?"
Seluruh penduduk wanita pun berdiri.
Menyadari pertanyaannya masih tidak tepat, dengan muka merah padam dia
menyambung, "Maaf, bukan itu maksud saya."
Sekali lagi dia bertanya. "Maksud saya, siapa di antara kalian yang pernah lihat burung yang bukan milik sendiri?"
Separuh penduduk wanita berdiri.
Muka lelaki tua itu makin merah. Ia makin gugup.
"Maaf sekali lagi, bukan ke arah itu pertanyaan saya. Maksud saya
adalah, siapa yang pernah lihat burung saya?"
Lalu… Isteri lelaki itu pun pun berdiri… dan dua orang wanita lain…
Kali ini muka sang isteri merah padam.
Lelaki itu pun terpaksa melarikan diri…
Menyesal dia bertanya (*)

SURAT DARI MINAHASA

Ini tulisan yang dipublikasi di Suara Minahasa Magazine, edisi Juni 2004. Kita sandiri so lupa, ternyata waktu itu Minahasa banjir......

TOLONG….tolong, tolong akang pa torang, Minahasa somo tenggelam.
Sori, ini bukang iklan sinetron, mar itu tu jadi pa torang di Minahasa awal bulan Mei. Amper samua daerah di pinggir danau Tondano dapa banjer. Memang sampe surat ini kita tulis, nyanda ada korban jiwa. Mar tu korban lantaran harta ta anyor so nyanda dapa rekeng. Blum lei tu tanaman pertanian da rusak.
Memang tu banjer so amper salalu jadi di sebagian daerah di pinggir danau. Mar tu banjer kali ini sadiki luar biasa. Kalu dulu depe ketinggian paling basar tiga pulu senti, ini so lebe satu meter. Jadi ngoni bayangkan jo kalu tu jalan deng rumah so maso akang aer satu meter.
Ngoni stou mo ba tanya, kiapa kong kasiang dapa banjer? Sebenarnya ngoni nyanda usah tanya. Banjer terjadi lantaran (tantu saja) banya aer. He…he… kalu sadiki aer depe nama pece.
Banjer jadi lantaran tu danau Tondano (orang pande bilang) da meluap. Kiapa meluap, lantaran ujang turun. Memang sebelum banjer, tu ujang rupa dapa tako da ciri di Minahasa. Kalu nda sala inga, ampa hari tu ujang turun (pake ngoni pe istilah) non stop. Kong lei depe aer ba turun basar-basar, sama stou deng biji milu.
Jadi ngoni bayangkan jo kalu tu ujang turun ampa hari kong depe basar sama deng milu. Tu danau Tondano yang skarang memang so lebe sempit deng tofor, akhirnya nyanda mampu mo tampung tu kelebihan aer. Apalagi ada banya kuala kacili yang ba stor aer kase maso di danau. Lantaran tu danau so nyanda mampu mo tampung, akhirnya dia se ‘sumbang’ tu aer pa orang-orang di sekitar danau. Jadilah banjer.
Mar untung jo, tu pemerenta nyanda tutu mata. Nyanda lama setelah banjer, tu bupati Minahasa deng gubernur Sulut langsung turun kong cek langsung ke lokasi. Biar dorang gulung calana tinggi-tinggi kong pake spatu buts, mar dorang nyanda rasa kile mo turun di jalan punung aer ato lewat di jembatan bulu.
Memang, di brapa kampung,. Lantaran tu aer nyanda mo turun-turun, orang-orang disana barameji beking tangga ato jembatan dari bulu, da se sambung dari ruma-ruma. Jadi dorang kasiang kurang rupa orang Bajo (suku bajo tu suku dari luar Minahasa, kong dorang cuma ta biasa hidop di perahu. Itu menurut yang kita pernah baca).
Yang paling siksa kalu tu orang so ta biasa mandi. Biar lei aer banya, mar aer banjer tantu kotor. Depe warna coklat kong ba itam. Jadi nimbole mandi. Jadi tu orang biasa mandi (biasanya tu parampuang muda alias nona-nona) musti ba tahan diri. Jangankan mandi, dapa aer bersi jo so untung. Lantaran kadang mandi, so mulai muncul tu panyaki gatal-gatal.
Halo, masi ba baca? Ato so manganto stou kang? Sori kalu ta pe surat ini cuma da panjang deng berita banjer. Mar kita suka ngoni di perantauan sana tau kalu di Minahasa lei memang ja dapa banjer.
Oke bagini dulu stou kang? Nanti sambung bulan depan kalu tu banjer so turun. Eh sori, nyanda katu, cuma bakusedu.

Resensi dari Teman


Setelah cerita silat 'Waraney Negeri Minahasa' terbit, ada teman yang menuliskan resensi dan dipublikasikan di dunia maya. Seperti yang dilakukan Audy di cerita silat. Teman yang lain, Nein kemudian meneruskan ke indozone
Berikut isi resensi itu......


Akhirnya, buku silat atau cerita silat berjudul WARANEY NEGERI MINAHASA, sebuah cerita silat ber setting kental "Tanah Minahasa" karya Farry SJ Oroh diterbitkan.


Minahasa, adalah etnis terbesar di Sulawesi Utara dan tidak mengenal tradisi aksara, tetapi tradisi lisan yang cukup kuat. Karena itu, kehadiran karya Fary, dengan interpretasi dan upayanya untuk mempopulerkan budaya Minahasa melalui caranya, patut diapresiasi. Bagi saya, apresiasi atas tulisan atau buku Fary ini, dilakukan sekaligus atas upayanya menggali budaya dan corak Minahasa di satu sisi, dan sumbangsihnya bagi lokalisasi cerita silat di sisi lain. Karena karyanya ini, maka saya menyebut Fary menggali dan mengikuti tipe dan gaya SH Mintardja, meskipun speed penceritaan mereka berbeda. Mintardja yang terkesan "lambat" tetapi detil, beda dengan Fary yang menggelegak dan cepat, dengan kemungkinan yang tidak sedikit dalam pengembangannya.

Buku Fary berjumlah halaman 151, dan menurut penulisnya sendiri masih akan terbit hingga buku ke 5 atau 6, atau bahkan lebih. Dengan kemungkinan yang masih sangat terbuka di buku satu, yakni kedatangan para pendekar Jawadwipa, bahkan pendekar dari negri lain di Utara (Phillipina) dan suku lain dari Maluku dan ternate, maka pengembangan cerita ke depan sungguh prospektif. Apalagi, karena Fary bekerja keras menterjemahkan nama jurus silatnya sesuai dengan bahasa asli dari asal si pendekar. Buku pertama ini dijejali dengan nama jurus asli Minahasa, bahkan geografi Minahasa dan ciri khas bahasanya yang cukup kaya. Pendeknya, sangat lengket dengan simbol dan ikon Minahasa. Tetapi, jurus lain dari Jawa dan dari negeri lain, juga sudah mulai diperkenalkan.

Salah satu keunikan Fary adalah, ketika menggunakan terminologi "Sakalele" dari tari Cakalele, Tari Perang Minahasa, untuk menggambarkan Jurus Silat. Mirip dan persis dengan Mintardja yang menggunakan terminologi Kanuragan atau Olah Kanuragan untuk menggambarkan atau mengganti terminologi "Ilmu Silat". Juga penggunaan kata "Keter" atau Tenaga sebagai pengganti Iweekang atau tenaga Dalam. Keberaniannya sungguh menggembirakan, dan layak masuk dalam deretan upaya lokalisasi cerita silat yang saat ini terlampau didominasi oleh setting China dan juga setting Jawa. Anggaplah buku ini adalah salah satu corak desentralisasi budaya .... hahahahaha

Keunggulan lain Fary adalah penceritaannya yang mengalir, cepat, tetapi dengan kemungkinan pengembangan tak terbatas. Ini disebabkan kemungkinan tampilnya tokoh dari luar yang sangat banyak: Majapahit, Suku-suku di Utara Minahasa, Ternate, bahkan Tiongkok. Demikian juga plotnya dan nampaknya juga tokohnya, bakal dan akan mengalami pengembangan luar biasa pada cerita selanjutnya.

Bila dilhat dari judul atau episode yang sudah masuk 450-an di Harian Metro (Cerita ini sebenarnya dimuat bersambung di harian Metro Manado), membuktikan betapa ramainya cerita ini. Bahkan menurut Fary ketika menyampaikan pikirannya di Bedah buku itu, kemungkinan pengembangannya sangat luas. Bahkan interpretasi beraninya terhadap pertanyaan: "Apakah Melesung (Minahasa Kuno), sempat diokupasi atau dijajah Majapahit atau bukan" merupakan sebuah keberanian menginterpretasi sejarah, meski dalam konteks fiksi.

Di sini, Fary mungkin boleh belajar dari Sekar Langit Haryadi dengan cerita Gajah Madanya.

Dari sisi, Cerita Silatnya, maka cerita ini, bagi saya, sangat menarik. Baik adegan pengembangan ilmu silatnya dan sejarahnya, termasuk tentu nama-nama lokalnya, sungguh menggelitik. Tetapi, karena masih buku satu, maka sulit membandingkan dan melihat apakah ilmu ini sudah tuntas atau belum. Malah terkesan, ilmu itu tidak terbatas dan akan terus mengalami perkembangan. Termasuk dengan ilmu dari tokoh utama dan tokoh jahatnya. Sementara, perangkap ala KPH, yakni ular beracun tapi berkhasiat, juga dimanfaatkan secara "lincah" oleh Fary. Hebat. Dan dengan cara itu, dia meningkatkan kemampuan tokoh utamanya sampai berlipat kali. Dan, dalam konteks fiksi, khan ini sah-sah aja. Bahkan banyak yang menyenangi cara instan ini biar jagonya cepat hebat.

Penggambaran adegan berkelahinya, juga cukup bagus. Tidak kaku, tidak asal ciat-ciat dan jagoannya menang atau keok. Jarak dan rentang kesaktian antara jago, juga terurut dengan baik. Sehingga setidaknya ada rujukan, jagoan terhebat saat ini adalah tokoh ini, dan jagoan masih di level menengah dan harus berkembang. Adegan-adegan perkelahian, yang banyak menyita perhatian di buku 1, sangat menarik diikuti. Meskipun, karena dimaksudkan untuk kejar tayang, terkesan di beberapa tempat tidak cukup detil. Mungkin, untuk edisi cetak berikut, Fary perlu melalukan editing penyesuaian, dengan tidak merusak keutuhan cerita. Setidaknya ada beberapa segmen yang pelu diperluas sehingga menghadirkan suasana yang lebih pas ditangkap.

Sementara di sisi budayanya, Fary memberi kontribusi yang besar bagi upaya mencintai budaya dan bahasa lokal Minahasa. Tetapi, dalam resensi di wikia ini, rasanya bukan hal yang pas untuk menggali unsur-unsur ini. Tapi bagi para penggemar cerita silat asal Minahasa, pasti cerita ini akan menghadirkan nostalgia kampung halaman yang "aneh". Karena Fary menggunakan nama-nama asli walak atau sub etnis Minahasa.

Selebihnya, saya kira, buku Fary ini memang sangat menarik untuk dibaca. Bilapun ada yang lemah, maka karena buku ini diterbitkan hanya 1 buku. Hal ini membuatbuku ini menjadi semacam pembuka penasaran orang untuk menunggu lanjutannya. Tapi, lebih baik lagi bila dicetak 2-3 buku sekaligus sehingga bentuk sudah bisa dibaca lebih baik dan kepenasaran yang dihasilkannya juga lebih kuat. Di atas semuanya,selamat buat Fary dan selamat datang sebuah cerita silat gaya baru.

Audy Wuisang

Thursday, June 26, 2008

Waraney Negeri Minahasa

CERITA Waraney Negeri Minahasa dibuat untuk mengisi kekosongan kisah fiksi khas Minahasa. Waraney merupakan kisah dengan genre cerita silat (cersil). Mengapa cersil, karena kebetulan saya menyukai kisah model begini.
Karena kisah Waraney, saya mendapat kesempatan bergabung dengan Komunitas cerita Silat Indonesia. Ketika Waraney terbit, ada teman yang membuat resensi dan dipublikasikan di dunia maya, antara lain di sini.
Bagian awal Waraney, atas permintaan beberapa teman, juga sempat dipublikasi secara online, yakni di indoforum. Sejauh ini saya belum berencana meng-online-kan seluruh kisah Waraney. Terlalu banyak dan pasti merepotkan.............

Tana Goyang Bukang Kacang Goyang

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Telegram (alm) dan kemudian Tabloid Mimbar (sempat mati suri dan sekarang sudah terbit lagi). Tulisan ini di-rewrite setelah terjadi gempa bumi dahsyat awal tahun 2007 lalu....

BEBERAPA pekan terakhir ini, wilayah Sulut dan juga Minahasa kerap diterpa gempa bumi (atau tana goyang menurut istilah Malayu Manado). Toh bergoyangnya tanah tidak lagi membuat warga panik. Setelahmengalami tana goyang terkuat, Minggu 21 Januari lalu, getaran bumiyang hampir terjadi setiap hari kini terasa 'biasa-biasa'.
Tana goyang yang terjadi 21 Januari itu memang luar biasa. Ada yangmengatakan ini gempa terkuat di Sulut selang 40 tahun terakhir. Suasana bertambah mencekam menyusul berbagai histeria massal karena isu adanya tsunami.
Lalu apa hubungan antara kacang goyang dengan tana goyang? Jawaban setengah bergurau adalah, hubungan keduanya baik-baik saja, kendati yang menghubungkan mereka hanya kata 'goyang'.
Anda yang tinggal di Minahasa pasti tahu, kacang goyang adalah kue khas Minahasa yang tercipta akibat 'aksi goyang'. Sejumlah kacang dimasukkan ke dalam wadah tertutup, kemudian dicampur dengan gula. Si pembuat biasanya menggoyang-goyangkan wadah berisi kacang dan gula ini. 'Efek tsunami' akibat goyangan ini menyebabkan gula akan membungkus kacang. Dan jadilah kue kacang goyang.
Sejauh ini, tidak ada catatan kapan persisnya kacang goyang pertama kali ada di Minahasa, siapa yang pertama kali punya resep, dan di daerah mana yang pertama kali mengadakannya. Yang jelas, kacang goyang relatif dikenal semua kawasan di Minahasa.
Sama halnya dengan kacang goyang, masyarakat Minahasa juga sudah lama bergaul erat dengan tana goyang. Bahkan fenomena terguncangnya tanah ini sudah coba dijelaskan leluhur Minahasa, sejak ratusan tahun lalu.
Konon, menurut legenda, tana goyang (atau pengero' menurut lidah orang Tondano), tercipta ketika hewan babi berukuran raksasa peliharaan Opo Makawalang menggosok-gosokkan tubuhnya ke sejumlah tiang penyangga bumi. Makawalang, menurut sahibul hikayat, adalah opo yang menguasai dunia bawah tanah (daerah kematian atau kaengkolan).
Karena itu, dulu, masyarakat Minahasa biasanya suka 'heboh' dan membunyikan berbagai bunyi-bunyian jika terjadi gempa bumi. Mereka berharap, bunyi-bunyian yang memekakkan telinga akan membuat babi peliharaan Opo Makawalang menghentikan aksinya. (Menurut legenda, salah satu tiang penyangga bumi berada tepat di bawah kawasan Remboken. Itu sebabnya sehingga orang Remboken jarang sekali merasakan gempa bumi atau tana goyang. Percaya atau tidak, terserah).
Dewasa ini, ilmu pengetahuan modern tentu saja telah membuktikan kalau tana goyang tidak disebabkan oleh ulah babi peliharaan Opo Makawalang. Ilmu pengetahuan modern juga telah menyepakati kalau tana goyang atau gempa bumi, adalah jenis bencana yang sukar diantisipasi. Orang bisa saja meminimalkan terjadinya kebakaran, atau mencegah kemungkinan terjadinya bencana banjir. Namun untuk meminimalkan tana goyang? Siapa mampu menahan jika bumi hendak 'bergoyang Inul'?
Apalagi jika gempa ini terjadi di dasar laut, yang dampak susulannya berupa gelombang pasang yang kemudian menyapu daratan, seperti yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Munculnya tanah goyang, ditambah beraneka bencana alam yang menimpa saudara kita di berbagai wilayah Indonesia menimbulkan berbagai pertanyaan. Kenapa Tuhan 'mengijinkan' terjadinya peristiwa memilukan ini?
Sebagai manusia, tentu saja kita tidak dapat menerka apa maksud Tuhan. Yang bisa kita lakukan, adalah mengambil hikmah dari peristiwa ini. Pertama, bahwa bagaimana pun kemahakuasaan manusia, itu hanya seujung kuku kemahakuasaan Tuhan. Bahwa manusia memang tidak dapat berbuat apa-apa jika alam menunjukkan kemarahannya.
Kedua, bencana bisa terjadi kapan saja dan bisa menimpa siapa saja, temasuk kita yang bermukim di Sulut.
Karena itu, pembaca, jika saat ini Anda sedang menikmati gurihnya kacang goyang, atau bisa mengenang manisnya kacang bersalut gula, mohon diingat, kenikmatan itu terasa karena tanah tidak bergoyang.
Anda tak akan bisa mencicipi kacang goyang jika terjadi tana goyang. Karena tana goyang bukang kacang goyang.(*)

Lima Menit Lagi

Cerita ini dikirim rekan di kantor Lestari, Erik (biar satu kantor mar amper samua torang baku kirim email, padahal tu tampa dudu cuma beda beberapa meter)

Saat di taman suatu hari, seorang wanita duduk di sebelah seorang pria di bangku panjang dekat tempat bermain anak-anak.
"Itu putra saya di sana," kata sang wanita, menunjuk seorang anak laki-laki dengan pakaian merah yang sedang bermain perosotan.
"Ia seorang anak laki-laki yang tampan," komentar sang pria. "Itu putri saya, berbaju putih, sedang naik sepeda."
Sang pria lalu melirik arlojinya, memanggil putrinya. "Bagaimana kalau kita pulang sekarang, Melissa?"

Melissa meminta, "Lima menit lagi, Yah. Boleh ya? Lima menit lagi saja."
Sang pria mengangguk dan Melissa meneruskan bermain sepedanya dengan bahagia. Menit-menit pun berlalu dan sang ayah berdiri dan memanggil Melissa kembali. "Sudah waktunya untuk pulang?"
Melissa kembali memohon, "Lima menit lagi, Yah. Lima menit lagi saja."
Sang pria pun tersenyum dan menjawab, "OK!"
"Wah, Anda seorang ayah yang sabar!" sang wanita berkomentar.
Sang pria tersenyum dan berkata, "Kakak laki-lakinya, Tommy meninggal karena ditabrak seorang pengemudi mabuk tahun lalu, saat ia sedang bermain sepeda dekat-dekat sini. Saya menghabiskan banyak waktu dengan Tommy dan sekarang saya akan berikan apa saja untuk bisa menghabiskan lima menit lebih banyak dengannya. Saya telah berjanji untuk tidak membuat kesalahan yang sama terhadap Melissa. Ia mengira ia mempunyai lima menit lebih
banyak untuk bermain dengan sepedanya. Sebenarnya, sayalah yang memperoleh lima menit lebih banyak untuk menyaksikannya bermain."

Hidup adalah mengenai menentukan prioritas. Berikanlah lima menit lebih
banyak setiap hari untuk orang yang Anda cintai.(*)

Surat dari Minahasa

Tulisan ini pernah dimuat di Suara Minahasa Magazine (SMM) edisi September 2003. SMM adalah majalah untuk Kawanua yang terbit di Amerika Serikat dan peredarannya hingga ke Eropa. Sayang majalah ini sudah tidak terbit lagi karena pengelolanya pindah negara bagian....


Halo…halo… Bandung, …eh salah kote… Halo samua. Bagimana kabar. So ada lampu ato masi gelap gulita. Soalnya kita pernah baca di surat kabar kalu di Amerika kata ada mati strom, kong tu keadaan so rupa di jaman tempo doeloe. He…he… Butul bagitu?
Torang di Minahasa sini nyanda abis pikir, tu negara adidaya sama deng Amrik masi ja mati strom. Kalu torang kasiang di sini, mati lampu itu biasa. Orang justru ba rasa heran kalu so satu minggu nyanda pernah mati strom….
Oh ya, ngoni so tau kalu tu Minahasa so ‘resmi’ ta pica? Tu Mendagri so resmikan tu kabupaten Minahasa Selatan deng Kota Tomohon. Jadi kalu ngoni orang Motoling ato Tombatu, ngoni skarang so nyanda orang Minahasa, mar so orang Minahasa Selatan alias Minsel.
Biar jo kang? Memang dia pe musim skarang ba sandiri kong bilang otonomi daerah. Padahal, bulum tantu kalu dorang mampu mo se makang tu rakyat ato nyanda. Belum lagi mo se makang tu pemerenta baru, mo beking gedung kantor, deng tu laeng-laeng. (Nintau lei kalu ada orang Minsel di Amerika mo suka beking majalah, kong dorang se nama ‘Suara Minahasa Selatan’… He…he….)
Lantaran so ta pica (dia pe bahasa bagus so dimekarkan), banya pegawai yang iko-iko ba pindah. Tu pegawai orang Minsel mar kerja di propinsi ato di Minahasa (induk), so suru pulang kong karja di Minsel deng Tomohon. Jadi skarang di Minahasa banya orang baku-baku bise, kong ja berdoa supaya dorang bole dapa tampa dudu bagus, supaya dorang ta kase pindah di tampa basah (dia pe maksud bukang supaya tu calana ato rok mo basah deng aer. Tu tampa basah itu tu tampa banya doi. Ngoni so tau kwa itu… jang pura-pura)
Tu bupati Minsel, mungkin ngoni so tau, dia pe nama Ramoy Markus Luntungan. Dia bukang orang Minsel, mar orang Minut (Minahasa Utara). Mar dia tu pemerenta pusat ada kase for mo jadi bupati, sampe pemilu taon datang. Memang tu Luntungan orang bilang figur yang (kalu ngoni pe bahasa bilang) the right man in the right place. Lantaran sebelum dilantik, banyak calon laeng tu orang-orang kase usul, mar dia pe latar belakang partai. Jadi tu PDIP se calon orang PDIP. Orang Golkar se calon orang Golkar.
Jadi tu Luntungan orang bilang pilihan yang paling pas, lantaran dia birokrat murni. Sebelum jadi bupati Minsel dia pe jabatan Sekda Minahasa. Dia lei kalu nyanda sala pernah jadi Sekda Bitung. Dia jadi pegawai dari bawah, dari camat.
Mar biar lei dia birokrat murni, banya orang tetap curiga, kong dorang bilang Luntungan lebe dekat deng Golkar. Soalnya pemerenta dulu kata orang Golkar (Padahal, tu bupati sebelum Vreeke, pak dolfie tanor, orang PDIP. Nintau lei bagimana dorang pe ba pikir)
Tu dapa sayang kasiang tu pejabat Sekda Minsel, Hendrik Waworuntu. Sebelum jadi sekda dia pe jabatan Asisten I pemkab Minahasa. Dia lei pejabat karir. Mar cuma berapa hari jadi Sekda langsung orang demon pa dia, lantaran tu Waworuntu kata terkait kasus KUT. (Memang bagitu stou orang Minahasa pe kalakuan kang? Bulum tare karja dong so curiga macam-macam, kong so komentar macam-macam).
Kalu tu Tomohon, sampe surat ini kita tulis, nyanda ada protes. Soalnya tu da jadi walikota orang Tomohon asli, Boy Tangkawarouw. Dia dulu wakil bupati Minahasa di jamannya Dolfie Tanor.
Selain kondisi politik yang so mulai panas, tu torang pe kondisi skarang masi biasa-biasa. Cuma skarang so musim ujang ulang. Amper tiap hari ujang. Riki tu pawai pembangunan memperingati tu kemerdekaan dapa ujang. Tu pawai di Tondano ujang, di Tomohon ujang. Mar biar lei ba ujang, tu penonton tetap nekat mo ba uni. Pe kentara skali kalu orang Tondano deng Tomohon pe mangkage pawai kang? (Jang bilang-bilang, soalnya deng kita lei da ba uni…..)
Eh, so ta panjang stou ta pesurat kang? Kalu bagitu, nanti jo sambung. Soalnya so mulai ba rinte-rinte. Jadi so rasa dingin. Ta mo beking kopi dulu kong ba uni tv. Jadi selamat berpisah, Pakatuan wo pakalawiren, I yayat u santi, sekali merdeka tetap merdeka……..