Wednesday, January 14, 2009

Sejarah Minahasa: Kajian Ilmiah, Legenda atau Fiksi


(foto: Tondano sebelum tahun 1880)

(Tulisan ini pernah dimuat di harian Komentar, guna menanggapi polemik budaya antara Joutje Sendoh dengan Joutje Koapaha. Secara khusus tulisan ini merupakan tanggapan untuk Koapaha)


Sejak akhir tahun lalu, harian ini memuat polemik berkepanjangan tentang sejarah Minahasa oleh ‘duo’ Joutje, yakni Joutje Sendoh dan Joutje Koapaha. Lepas dari nuansa kekanak-kanakan dan saling menang sendiri yang jelas tergambar, topik tentang sejarah Minahasa memang tetap menjadi hal yang sangat menarik.
Sebagai generasi muda, saya memang menyukai tulisan dan paparan soal budaya Minahasa. Apalagi, sejak Oktober tahun lalu saya membuat cerita silat (cersil) yang sekarang sementara dimuat secara bersambung di Harian METRO Manado. Cerita silat ini bersetting Minahasa kuno, bercerita tentang situasi walak-walak di Malesung menjelang penyerbuan Kerajaan Majapahit.
Cersil yang saya buat ini berlandaskan pemahaman ‘lama’, terutama menyangkut eksistensi sub etnis Toulour, Tombulu, Tontemboan dan Tonsea. Berdasarkan sejumlah sumber tertulis, saya tidak menyertakan Walak Bantik dalam cersil ini, yang saya yakini baru eksis beberapa abad kemudian. Karena itu saya agak terkejut juga ketika membaca paparan pak Koapaha tentang keberadaan etnis Bantik, yang diklaim sudah eksis sejak lama, bahkan lebih lama dibanding sub etnis Tontemboan-Toulour-Tombulu-Tonsea.
Ada beberapa catatan yang ingin saya diskusikan dengan pak Koapaha, menyangkut klaim tentang Bantik, dari sudut pandang saya sebagai generasi muda yang awam terhadap sejarah.
Yakni menyangkut bahasa, marga, bukti tertua dan legenda.

A. Bahasa
Dalam menyusun cersil, saya menggunakan sebuah kamus Bahasa Daerah Manado-Minahasa yang disusun Djerry Waroka, terbitan tahun 2004 yang saya beli di Gramedia Manado. Kamus ini terutama saya pergunakan untuk menerjemahkan sejumlah jurus ke dalam bahasa daerah. (Dalam cersil yang saya buat, jika yang bertarung berasal dari Walak Touwasian, misalnya, maka jurus yang dia gunakan berbahasa Tontemboan. Begitu juga jika yang berkelahi waraney dari Tombulu, jurus yang dia gunakan berbahasa Tombulu, dst).
Ketika membolak-balik kamus ini saya menemukan fakta menarik. Ternyata sangat banyak kata-kata dalam bahasa Tontemboan, Tombulu, Tonsea dan Toulour yang sama bunyinya dan sama artinya. Ada kata tertentu yang sama bunyinya menurut bahasa Tontemboan dan Toulour, ada yang sama menurut bahasa Tonsea dan Tombulu, dan Tombulu-Tontemboan. Ada kata tertentu yang sama menurut bahasa Tontemboan, Tombulu dan Toulour, dan yang semacam itu.
Saya sendiri cukup fasih berbahasa Toulour dan bisa memahami percakapan dalam bahasa Tontemboan, sehingga saya tidak heran ketika menjumpai banyaknya persamaan antara bahasa Tontemboan dan Toulour. Namun ketika hal yang sama saya jumpai juga di bahasa Tombulu dan Tonsea, hal ini sungguh membuat saya takjub.
Banyaknya persamaan kata ini, menurut saya, menunjukkan bahwa memang ada pertalian sejarah antara masyarakat yang berbahasa Tontemboan-Tombulu-Toulour-Tonsea.
Bagaimana dengan Bantik? Saya tidak bisa berbahasa Bantik dan belum pernah mendengar orang yang berbahasa Bantik (atau mungkin saja saya sudah pernah mendengar orang berbahasa Bantik namun saya tidak tahu kalau yang dia ucapkan adalah bahasa Bantik). Namun jika memang klaim pak Koapaha bahwa ada hubungan yang sangat erat antara Bantik dengan sub etnis lain--apalagi jika Bantik merupakan komunitas mula-mula di Malesung, maka menurut saya seharusnya akan sangat banyak kosa kata dalam bahasa Bantik yang juga sama dengan kosa kata bahasa Tontemboan-Toulour-Tombulu-Tonsea.
Jika kata-kata dalam bahasa Bantik sama sekali berbeda dengan Tontemboan cs, maka pak Koapaha harus bisa menjelaskan kenapa bisa begitu, sedangkan di satu pihak ada sangat banyak persamaan di antara bahasa Tontemboan-Tombulu-Toulour-Tonsea.
Menurut hemat saya, kesamaan bahasa merupakan bukti paling kuat untuk menunjukkan adanya suatu relasi, jauh lebih kuat dibanding adanya beberapa gunung yang diberi nama Bantik.

B. Marga
Pak Koapaha juga memberi ilustrasi tentang marga (fam), yang digunakan warga Bantik asli, yang sama dengan marga Minahasa pada umumnya. Kesamaan marga ini dinilai pak Koapaha sebagai bukti kuat untuk menunjukkan adanya hubungan, atau menunjukkan bahwa leluhur Minahasa adalah Bantik.
Menurut saya, kalau ada warga Bantik yang sekarang bermarga ‘Minahasa’, hal ini pasti tak bisa disanggah. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: Sejak kapan warga Bantik menggunakan nama fam atau marga itu? Atau kalau pertanyaan ini diperluas, sebenarnya sejak kapan budaya ‘pake fam’ mulai diberlakukan rakyat Minahasa?
Harap diingat, apa yang sekarang dikenal sebagai fam/marga sebenarnya dulu hanyalah sebuah nama kecil. Jadi kalau dulu, ratusan tahun lalu ada orang (ini hanya misalnya) bernama Parengkuan, setelah dia mendapat seorang putra, dia menamai (misalnya) Mandey. Si Mandey ini kemudian memperanakkan (misalnya) Pontoh, si Pontoh memperanakkan (misalnya) Sumendap yang memperanakkan Runtu dan seterusnya. Baru pada suatu waktu, ketika pemakaian fam menjadi kebiasaan, yang dijadikan fam adalah nama keturunan terakhir, yang untuk ilustrasi ini adalah Runtu.
Sampai sekarang di Minahasa masih ada orang yang memberi nama kecil anaknya menggunakan nama yang dikenal sebagai fam/marga. Misalnya di Tondano ada yang bernama Supit Mamahit. Supit nama kecil sedangkan marganya Mamahit. Atau Pitoy Makalew. Pitoy nama kecil sedangkan Makalew itu nama besar/marga.
Sudah menjadi kebiasaan, orang tua ingin memberi nama anaknya yang baru lahir--terutama jika yang lahir itu ‘jagoan’ alias laki-laki, dengan memakai nama yang hebat-hebat, dan bermakna positif. Kadangkala orang tua menamai anaknya menurut tokoh yang dia kagumi. Misalnya di era '60-an, ketika film James '007' Bond mengguncang dunia, banyak orang tua di Manado-Minahasa yang menamai anak lelakinya yang baru lahir dengan nama James, atau variasinya, seperti Jemmy, Jimmi atau Jems. (Hal ini yang menjelaskan kenapa dewasa ini banyak lelaki berusia antara 30-45 tahun yang bernama James). Contoh lain, di Manado dan Minahasa selang sepuluh tahun terakhir banyak anak-anak yang bernama Alessandro, Filipo, Sheva, Nistelroi atau Beckham, yang semuanya diambil dari nama pesepakbola terkenal, yakni Alessandro del Piero, Filipo Inzaghi, Andri Shevchenko, Ruud van Nistelroi atau David Beckham.
Saya menduga, pemakaian apa yang sekarang dikenal sebagai marga oleh masyarakat Bantik, juga diawali dengan hal seperti itu. Ada leluhur Bantik yang ‘naksir’ dengan sejumlah nama yang dinilainya bagus, dan menamakan anak-anaknya dengan nama itu, yang sebenarnya merupakan nama kecil yang diadopsi dari etnis Minahasa. Kalau belakangan nama kecil itu dijadikan nama besar (fam), maka hal itu sangat bisa dipahami, kendati tentu saja tidak serta merta memperlihatkan bahwa ada hubungan dengan Minahasa.
Sebagai ilustrasi, misalnya saat ini ada anak yang bernama Alessandro Mantatenga. Tiga puluh tahun mendatang, ketika Alessandro ini mendapat anak laki-laki, dia kemudian merasa marga Mantatenga tidak elok didengar. Dia memutuskan untuk memakai namanya sebagai marga. Anaknya kemudian dinamai Rudy Alessandro. Dan begitu seterusnya. Rudy menamai anaknya Rony Alessandro dan Alessandro kemudian menjadi ‘marga’ Minahasa. Mungkin seratus dua ratus tahun mendatang akan ada orang bermarga Alessandro yang mengklaim bahwa nenek moyangnya berasal dari Italia, karena Alessandro memang nama khas Italia!!!
Jangan lupa pula bahwa marga khas Minahasa kerap dipakai saudara kita yang berlatar belakang etnis Tionghoa sebagai nama belakang, saat proses asimilasi diterapkan pemerintah (populer dengan istilah pinjam fam). Apakah kemudian saudara kita yang aslinya Tionghoa namun karena sudah bermarga Minahasa lalu bisa disebut sebagai orang Minahasa, karena memakai marga Minahasa?
Pak Koapaha kerap menyebut tentang slag-bom (silsilah). Karena itu saya yakin soal sejak kapan marga ini dipakai akan bisa dijawab dengan mudah. Saya sendiri menduga marga atau fam baru dipakai warga Minahasa pada abad ke-18 atau ke-19. Kalau fam itu baru digunakan selang dua ratus tahun terakhir, maka menurut hemat saya ini belum merupakan bukti kuat untuk menunjukkan adanya hubungan antara Bantik dengan Minahasa.


C. Bukti Tertua
Pak Koapaha menyebut tentang Batu Kuangang, yang menurut kajian Drs Uka Tjandrasasmita dari Tim Purbakala Depdiknas sudah berusia 2.500 tahun. Saya tidak meragukan keakuratan penelitian Drs Uka.
Namun jika kemudian Batu Kuangang diklaim sebagai bukti tertua, menurut saya itu tidak terlalu tepat, karena masih ada situs yang jauh lebih tua. Pada tahun 1974 tim purbakala dari Australia yang dipimpin Dr Peter Belwood melakukan penelitian pada situs purbakala di Desa Passo Kecamatan Kakas Minahasa. Sisa-sisa peninggalan berupa lapisan karang, batu berbentuk pisau dan tulang-belulang lalu diteliti di Australia. Hasilnya, situs di Passo diyakini sudah berusia 7.000 hingga 8.000 tahun, atau ribuan tahun lebih tua dari Batu Kuangang.
Situs purbakala itu saat ini berada tepat di bawah gereja GMIM Passo. Paparan soal situs purbakala di Passo pernah disajikan panjang lebar oleh Herman Teguh di harian ini, beberapa waktu lalu.
Karena sejauh ini belum ada situs yang lebih tua, maka ini berarti Minahasa sudah dihuni orang sejak 10.000 tahun lalu. Dan itu terletak di Kakas Minahasa, dan bukan (maaf) di Bantik!!


D. Fiksi dalam Sejarah
Saya cukup terkejut ketika pak Koapaha merujuk ‘teori’ yang dikemukakan Remy Sylado, terutama tentang panglima perang bernama Wan Tek (yang kemudian menjadi Bantek/Bantik?), guna menguatkan penjelasan tentang leluhur Bantik. Saya terkejut karena apa yang dikemukakan Remy Sylado (aslinya bernama Jappy Tambayong), sebenarnya adalah kisah fiksi atau rekaan untuk keperluan pementasan/hiburan.
Dalam cersil yang saya buat secara kebetulan juga ada tokoh bernama Wan Tek, yang berasal dari Tionggoan (Cina kuno) dan merantau ke Malesung. Namun Wan Tek (lengkapnya Wan Tek Kiang) dalam cersil saya adalah tokoh golongan hitam berjuluk Thian-Mo (Iblis Langit) yang memiliki ilmu mengerikan Thian-Mo Kiam-Sut (Ilmu Pedang Iblis Langit).
Wan Tek versi cersil saya adalah fiksi alias khayalan semata, dan begitu pula yang saya yakini dilakukan Remy Sylado. Dalam cersil yang saya buat secara sepintas saya juga menceritakan tentang putri Lu Ming yang ditemani panglima Tho Wang, yang bersama sejumlah kecil orang terdampar di Minahasa, setelah melarikan diri dari Pulau Es di Tionggoan yang terkena tsunami. Namun Wan Tek, Lu Ming dan Tho Wang dalam cersil yang saya buat murni khayalan dan saya sendiri tidak berharap akan ada pihak yang menjadikannya sebagai rujukan, atau sumber informasi.


D. Legenda
Jika menyimak apa yang dipaparkan pak Koapaha, maka pelurusan sejarah Minahasa yang disajikan sebenarnya hanya bersumber pada sejumlah legenda, terutama karangan PA Mendagel (1914), Pdt Matheos Kiroh (1968), Pdt Frederik Abuthan (1977), serta Nelis Mopay dan Arnold Bobanto (1999).
Terkait dengan Batu Kuangang, pak Koapaha bercerita singkat tentang legenda (leluhur?) Bantik bernama Kasimbaha, yang mempersunting putri bungsu dari Kayangan, Utahagi. Pak Koapaha tidak bercerita tentang proses pertemuan antara Kasimbaha dan Utahagi di Perigi Tuju. Namun saya pernah mendengar kisah serupa, dengan person yang berbeda. Yang laki-laki bernama Mamanua, yang bidadari bungsu bernama Lumalundung, dan hasil perkawinan mereka bernama Walansendouw. Anehnya, kisah serupa juga dikenal di budaya Jawa. Yang petani bernama Jaka Tarub, yang bidadari bernama Nawangmulan.
Jadi setidaknya ada tiga cerita tentang petani yang mempersunting bidadari, bidadari ini secara kebetulan adalah bungsu dari tujuh bersaudara, dan pertemuan mereka terkait dengan tempat mandi. Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa ada tiga legenda yang bangun ceritanya sama hanya berbeda nama?
Saya menduga bahwa legenda ini pastilah hanya berasal dari satu sumber, dan dua yang lainnya mengadopsi dan merubah nama. Kalau begitu mana yang paling tua? Batu Kuangang sudah berusia 2.500 tahun. Namun apakah itu berarti kisah ini benar-benar terjadi 2.500 tahun lalu? Dan jika kisah versi Bantik yang paling tua, apakah ini berarti legenda Jaka Tarub di Jawa ‘menjiplak’ versi Bantik, dan bukannya sebaliknya?
Yang menarik adalah, kisah Mamanua-Lumalundung sudah saya dengar sejak SD, dan versi Bantik baru saya ketahui dari paparan pak Koapaha di harian ini. Beberapa rekan yang saya wawancarai secara acak, memperlihatkan raut wajah bingung ketika saya tanya apakah mereka pernah mendengar cerita Kasimbaha-Utahagi. Namun sebagian besar mengaku tahu tentang cerita Mamanua. Beberapa bahkan mengaitkan secara tepat kisah Mamanua dengan tarian Tumatenden.
Pak Koapaha juga bercerita tentang kisah banjir besar (saya tidak terlalu yakin apakah banjir ini sama dengan banjir semasa Bahtera Nuh). Namun di Toulour ada legenda yang berkisah tentang adanya banjir besar. Menurut legenda, banjir ini disebabkan oleh murkanya dewa karena ada dua kakak-adik bertikai. Banjir besar ini meninggalkan tanda mata, berupa Danau Tondano. Beberapa nama seperti gunung Tampusu dan Masarang juga terkait dengan banjir, yang berbeda bentuknya sebelum dan sesudah banjir.
Karena ada pihak yang bisa mengetahui perbedaan antara gunung Tampusu sebelum dan sesudah banjir, maka berarti ada juga warga ‘Toulour’ yang selamat dari banjir, dan bukan hanya Toar, seperti versi Bantik.
Menyangkut leluhur Minahasa yang oleh pak Koapaha dikatakan berjumlah 17 generasi yang berujung pada Toar dan Lumimuut, saya juga pernah mendengar kisah yang serupa tapi tak sama. Seperti yang diungkap Adrianus Kojongian dalam sebuah terbitan, dia memaparkan tentang cerita yang dirangkum Appeles Supit, Kepala Distrik Tondano Toulimambot yang memerintah hingga 1917. Dari hasil wawancara dengan tua-tua Tondano, Supit menyimpulkan kalau leluhur orang Minahasa bernama Naiwakelan, yang beristri Rumengan. Keturunan mereka yang ke-17 bernama Lumimuut sedangkan Toar adalah keturunan ke-18.
Yang ingin saya kemukakan menyangkut legenda ini adalah, kita tidak bisa mengklaim suatu legenda sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya, karena di wilayah lain ada kisah serupa, hanya berubah nama. Bahwa untuk meluruskan sejarah kita tidak bisa bergantung pada legenda, yang bagi generasi muda sekarang dinilai sebagai dongeng pengantar tidur.


E. Sumber Barat
Dalam paparannya pak Koapaha menuding pak Sendoh dan juga alm FS Watuseke salah menafsirkan paparan sejumlah penulis Barat, khususnya menyangkut eksistensi Bantik. Saya tidak bermaksud membela pak Sendoh, yang saya yakini tidak mengenal saya (kendati om Joutje Sendoh mengenal ayah saya dengan baik), namun apa yang dipaparkan pak Sendoh tentang Bantik itu seirama dengan sejumlah literatur tentang Minahasa yang saya baca, baik dalam bentuk materi seminar, buku terbitan resmi dan tulisan di sejumlah situs internet.
Sejauh ini saya belum menjumpai sumber Barat yang mendukung paparan pak Koapaha. Dari yang saya amati pak Koapaha juga jarang menggunakan sumber penulis dari Barat untuk memperkuat argumentasi, kecuali menggunakan sumber Mendagel, Pdt Matheos Kiroh, Pdt Frederik Abuthan, serta Nelis Mopay dan Arnold Bobanto. Kalau toh ada sumber lain, itu berasal dari hasil wawancara dari sejumlah tokoh masyarakat.
Yang membuat saya tidak mengerti adalah, kenapa para penulis Barat (yang sebelum menulis melakukan penelitian mendalam) tidak pernah menyinggung soal eksistensi Bantik yang lebih tua? Saya sudah beberapa kali membolak-balik tulisan Graafland (yang berbahasa Indonesia, karena saya tidak bisa berbahasa Belanda), dan saya tidak menemui sedikit pun tulisan yang mendukung pernyataan pak Koapaha. Sedikitnya 26 kali Graafland menyebut nama Bantik, dua kali menyebut bahwa Bantik datang belakangan, dan dua kali Graafland menulis kalau Bantik itu merupakan budak raja Bolaang Mongondow. Kalau melihat bagaimana ketelitian Graafland dalam mendeskripsikan situasi di Minahasa, maka pernyataan Graafland sangat patut disimak. Apalagi sumber yang dipakai Graafland jelas-jelas lebih tua dari semua sumber yang dipakai pak Koapaha.
Tulisan JAT Schwarz dan JGF Riedel yang kemudian banyak dikutip penulis lokal juga tidak ada yang mendukung teori pak Koapaha. Kenapa bisa begitu? Apakah para penulis Barat ini tidak punya akses ke warga Bantik, ataukah mereka sebenarnya punya akses dan kemudian menyimpulkan sebagaimana yang sekarang dikenal luas, yakni Bantik hanya bergabung belakangan?


Secara pribadi, bagi saya tidak menjadi masalah jika Bantik memang benar paling tua di Minahasa. Bahkan saya sudah berancang-ancang bakal memasukkan waraney asal Walak Bantik dalam cersil yang saya buat (kendati masih terbentur masalah teknis, karena saya tidak punya kenalan pihak yang fasih berbahasa Bantik guna menerjemahkan jurus silat). Namun selama pertanyaan-pertanyaan di atas belum terjawab dengan memuaskan, saya masih akan tetap memakai teori ‘lama’, bahwa komunitas Malesung kuno dibentuk oleh Tontemboan, Tombulu, Toulour dan Tonsea. Dan etnis lainnya baru bergabung belakangan.
Dan satu hal lagi, sebagai generasi muda saya tentu saja senang sekali membaca paparan tentang sejarah Minahasa. Namun kami, generasi yang lebih muda tentu lebih menyukai jika paparan ini disajikan dengan elegan, bermartabat, santun dan penuh bukti ilmiah akademis, dan bukannya disajikan secara emosional dan kekanak-kanakan, apalagi menuding pihak yang berbeda pendapat sebagai orang bodoh!!

Monday, January 12, 2009

Penanggulangan Bencana: Berlayar Sambil Membangun Kapal


Tulisan ini dipublikasi di Koran Lestari edisi Agustus 08, yang disisipkan di Manado Post


BENCANA kini menjadi agenda tetap di Indonesia, termasuk Sulawesi Utara. Namun penanganan bencana oleh pemerintah masih terkesan asal jadi. Inisiatif pemerintah pada berbagai bencana sangat rendah, hingga pada beberapa kasus banjir, misalnya, para korban harus berjuang di bawah hujan lebat tanpa bantuan pangan dari Pemerintah selama berhari-hari. Bantuan penampungan sementara dan non pangan (pakaian, perlengkapan tidur, masak dan kebersihan) bahkan lebih lama lagi.

Sejauh ini ada indikasi, pejabat pemerintah pada semua tingkatan tidak memahami, atau menyederhanakan penanganan bencana sebagai soal tanggap darurat, dan bukan rangkaian sistemik yang mencakup mitigasi, sistem peringatan dini, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Rendahnya inisiatif pemerintah bisa dilihat pada politik budget di APBD yang tidak pro bencana. Ancaman bencana meningkat, tapi anggaran yang tersedia tidak meningkat sesuai kebutuhan. Padahal sumber pendanaan untuk penanggulangan bencana telah ditetapkan undang-undang, yakni dana darurat APBN untuk Pemda (UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 164 ayat 3), dana siap pakai untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB (UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 62 ayat 2), dan APBD (UU No.24/2007 pasal 8 bagian d).

Inisiatif non budget dalam bentuk wacana maupun langkah-langkah mitigasi bencana pada semua sektor juga tidak terlihat. Ini diperparah dengan pembiaran terhadap penghancuran ekosistem yang mempertinggi kerentanan. Lemahnya inisiatif pemerintah tidak hanya terlihat pada bencana yang bersumber dari perusakan lingkungan, tapi juga pada gempa dan letusan gunung api.


Inkonsistensi
Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah cukup siap menghadapi bencana. Paling tidak, jika ukuran kreativitas menciptakan lembaga penanggulangan bencana yang dijadikan ukuran. Dalam delapan tahun terakhir setidaknya sudah tiga badan penanggulangan bencana yang dibentuk.

Pada tahun 2001 dibentuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001. Lembaga ini kemudian digantikan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005. Lembaga ini pun tak bertahan lama setelah pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

BNPB merupakan institusi pemerintah non departemen setingkat menteri yang mempunyai tugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penanganan bencana dan kedaruratan secara terpadu. BNPB dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008.

Kalau BNPB lingkupnya nasional, maka untuk daerah, baik tingkat provinsi atau kabupaten/kota (seharusnya) dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sebagaimana diamanatkan UU no 21 tahun 2008. Sejauh ini BPBD belum dibentuk di Sulawesi Utara, dan belum satu pun kabupaten/kota di Sulut yang melakukannya. Rencana pembentukan BPBD Sulut, sudah diungkap Sekprov Sulut Drs Robby Mamuaja sebagaimana dilansir Harian Metro (02/08/08), kendati tidak dijelaskan kapan persisnya.

Namun pembentukan BPBD bukannya tanpa persoalan. Belum jelasnya mekanisme pengelolaan dana, kekuatiran terjadinya politisasi dalam pelaksanaan uji kelayakan oleh DPRD terhadap para ahli dan profesional yang akan duduk sebagai anggota dalam Badan Pengarah BPBD, dan kemungkinan benturan tingkat eselonisasi yang diatur dalam Undang-undang Penanggulangan Bencana (UU PB no 24 tahun 2007) dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Menurut UU PB pasal 18 ayat 2, BPBD tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat eselon Ib, sementara untuk kabupaten/kota dipimpin pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau eselon IIa. Artinya, ketua BPBD Provinsi akan memiliki eselon yang sama dengan Sekretarais Provinsi, karena menurut PP 41/2007 pasal 34 ayat (1), sekda merupakan jabatan struktural eselon 1b. Begitu juga dengan posisi eselon II untuk ketua BPBD kabupaten/kota, yang setara dengan jabatan sekretaris daerah menurut PP 41/1007 pasal 35 ayat (1).

Anehnya, pembentukan BPBD sama sekali tak disebut-sebut dalam PP 41/2007. Padahal PP ini lahir beberapa bulan setelah UU PB disahkan. Artinya, pemda harus membentuk sebuah badan yang sama sekali tidak disebut-sebut dalam PP tentang Organisasi Perangkat Daerah. Ataukah BPBD bukan perangkat daerah?

Mekanisme pembagian kewenangan dan tanggungjawab antara berbagai unit dan tingkatan pemerintahan maupun antara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) juga belum diatur secara jelas dalam UU PB. Padahal ini penting untuk menjamin penyelenggaraan penanggulangan bencana secara efektif. Pembagian kewenangan dan tanggungjawab yang masih sangat kabur ini bias berimplikasi pada ketidakjelasan pengaturan apa yang harus dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Bukan hanya UU PB yang ‘bermasalah’. Peraturan Presiden (Perpres) No 8/2008 tentang BNPB yang baru saja diparaf Presiden Yudhoyono ternyata memiliki sejumlah kelemahan. Misalnya pasal 9c tentang evaluasi terhadap penyelenggaraan penanggulangan bencana oleh Unsur Pengarah. Kewenangan evaluasi oleh Unsur Pengarah dianggap bakal tak efektif, karena secara structural tidak mungkin Unsur Pengarah melakukan evaluasi pada atasannya, Kepala BNPB.

Ketidakkonsistenan juga terlihat pada Unsur Pelaksana dalam Perpres No. 8/2008 ini (pasal 15), yang tidak memberi peluang bagi masyarakat profesional/ahli dari unsur non-pemerintah. Padahal kehadiran masyarakat professional sudah tertera dalam pasal 15 ayat (3) UUPB.

Sistem akuntabilitas dan transparansi anggaran dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yang belum dijelaskan dengan rinci dalam UUPB juga berpotensi menjadi persoalan. Juga kemungkinan adanya perbenturan antara urusan yang diwajibkan dalam UUPB dengan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Baik UU PB maupun Perpres no 8/2008 hanya berbicara tentang peran pemerintah dan badan yang dibentuk. Bagaimana kontribusi masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana tidak disinggung dan terkesan kabur.

Peran masyarakat
Masih banyaknya kelemahan pada berbagai legislasi tentang bencana, membuat Indonesia termasuk Sulut ibarat berlayar sambil membangun kapal. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Salah satunya adalah secepatnya membentuk BPBD, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Beberapa kendala teknis menyangkut sinkronisasi antara UU PB dengan PP 41/2007 diharapkan bisa teratasi.

Peran masyarakat dalam penanganan bencana juga harus diperbesar. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) no 21/2008, peran masyarakat hanya sebatas mengikuti forum untuk menyusun rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana. Padahal masyarakat dan organisasi non pemerintah bisa berbuat banyak, justru di ‘luar forum’.

Anggaran untuk upaya penanggulangan bencana di daerah juga harus disiapkan dengan bijak. Apalagi di pemerintahan berlaku Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang sangat ketat membatasi program dan kegiatan (nomenklatur atau budget item) baik kepada departemen maupun pemerintah daerah.

Yang paling penting, keseriusan pemerintah dan masyarakat untuk melakukan berbagai persiapan, agar ketika bencana tiba, kita sudah siap. Bencana alam tak akan menunggu dan tak peduli kita siap atau tidak. (*)