Friday, July 4, 2008

Thian Po (Pusaka Langit)

Kisah ini pernah diposting di indozone, cerita silat bersetting Mandarin dengn genre misteri. Cerita ini dibuat setelah saya membaca Da Vinci Code, dan ingin melihat apakah saya bisa membuat cerita misteri yang berbelit. Kisah ini sudah lama sekali tidak diupdate, bahkan saya sendiri sudah lupa bagaimana kisahnya. Semoga setelah diposting di blog ini saya bisa mendapatkan mood untuk membuat lanjutannya....

Bab 1. Darah Mengalir di Pek-Kiam-Pang


LELAKI itu termenung, matanya menatap sang surya yang perlahan memasuki peraduan. Dia mendesah.

Lelaki ini berusia 60 tahun, dengan rambut panjang sebahu yang sebagian sudah memutih. Kulitnya mulai keriput dengan jenggot dan kumis terpelihara. Dia mengenakan jubah panjang berwarna putih.

“Tinggal satu hari, dan semua akan berakhir,” bisiknya. Dia kembali menarik nafas panjang. Kedua telapak tangan digerakkan menutupi wajah. Tinggal satu hari. Semoga saja aku punya waktu.

Dia mendengar seseorang memasuki kamarnya. Dia berpaling. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun mendekat penuh hormat.

“Bagaimana Kai Song?”

“Maaf mengganggu, pangcu. Tamu dari Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai sudah tiba. Begitu juga rombongan dari Siauw-lin-pai dan Bu-tong-pai...”

Lelaki setengah tua yang disapa pangcu ini menganggukkan kepala. “Layani mereka dengan baik. Jamu mereka makan malam. Penginapan untuk para tamu sudah disiapkan bukan? Ada lagi?”

“Emh, mungkin ini tidak penting. Tapi aku pikir pangcu perlu tahu. Rombongan Siauw-lin-pai dipimpin Wat Siok Hosiang, sedangkan rombongan Kun-lun-pai dipimpin Giok Cin Tosu. Berarti tidak ada Ciangbunjin (Ketua) partai besar yang hadir....”

Lelaki setengah tua itu menganggukkan kepala. “Tidak masalah, Kai Song. Aku sudah menduga. Kita harus tahu diri. Pek-kiam-pang bukanlah sebuah perkumpulan besar. Kita justru perlu bersyukur karena partai besar masih mengirimkan wakilnya. Berarti mereka tidak memandang kita dengan sebelah mata...”

“Oh ya, tadi aku sempat berbincang dengan Wat Siok Hosiang. Dia masih tidak percaya kalau pangcu akan mengundurkan diri besok,” kata Kai Song. “Dia bilang, ‘pangcu Can Te Cun masih terlalu muda untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan’. Dia membandingkan dengan Kim Sim Hosiang yang masih menjabat Ciangbunjin Siauw-lin-pai kendati sudah berusia 70 tahun...”

Lelaki setengah tua yang ternyata bernama Can Te Cun ini tersenyum getir. “Wat Siok Hosiang bukan orang pertama yang menanyakan kabar itu. Selang sebulan terakhir aku banyak menerima pertanyaan dari para sahabat. Mereka umumnya tidak yakin kalau aku benar-benar ingin mengundurkan diri. Tapi keputusanku sudah bulat. Lagi pula aku yakin sudah mendapatkan pengganti yang sepadan...”

Kai Song menundukkan kepala. Alisnya berkerut. “Aku berterima kasih karena pangcu berkenan memberikan kepercayaan kepadaku menjadi pangcu yang baru. Namun aku tetap merasa belum pantas. Kepandaian silatku belum memadai...”

“Memimpin sebuah perkumpulan silat tidak hanya dibutuhkan kepandaian tinggi, tapi kematangan berpikir dan kemampuan bertindak tegas dan lugas. Kau punya kharisma, Kai Song, dan aku yakin kau bisa membawa Pek-kiam-pang menjadi lebih besar...”

“Aku masih menganggap Can Han Sin-sute yang paling tepat untuk menjadi pangcu Pek-kiam-pang,” ujar Kai Song.

Te Cun memejamkan mata dan tanpa sadar menggelengkan kepala. “Cucuku Han Sin masih terlalu muda. Usianya belum 25 tahun. Mungkin kelak dia bisa menjadi pangcu Pek-kiam-pang, siapa tahu. Namun untuk saat ini, tidak ada yang pantas selain engkau.”

Kai Song terdiam, masih menunduk.

“Sebaiknya kau temani para tamu. Katakan aku kurang enak badan, jadi tak bisa menemui mereka.”

Kai Song mengangguk dan dengan penuh hormat meninggalkan kamar.

Te Cun perlahan mendekati jendela. Kamarnya yang terletak di lantai dua memungkinkan dia melihat sekeliling. Di bagian depan beberapa lelaki sedang membuat panggung untuk acara besok. Yang lain sedang menyiapkan dekorasi. Di sebelah kanan, sekitar 30 tombak dari panggung terlihat belasan rumah sederhana berjejeran.

Rumah-rumah itu dibangun sejak sebulan lalu khusus untuk penginapan para tamu. Seperti yang dia duga, banyak undangan yang datang beberapa hari sebelum perayaan. Sebagai tuan rumah yang baik dia tentu saja harus menyediakan sarana penginapan dan makan minum.

Sebagian besar rumah-rumah itu kini sudah dipasangi lampu. Samar terdengar gelak tawa yang berasal dari halaman, berpadu dengan bunyi papan yang dipotong.

Te Cun kembali menarik nafas panjang, dan memejamkan mata. Tinggal sesaat lagi. Semoga saja aku punya waktu...

***

KIANG Cu Ge menguap, menatap rekan-rekannya yang sedang menyelesaikan panggung. Matahari sudah sejak tadi terbit dari peraduannya.

Dia kemudian pura-pura menyibukkan diri ketika melihat Kai Song berjalan ke arah mereka. Sudah bukan rahasia lagi kalau Kai Song telah ditetapkan sebagai pangcu yang baru, menggantikan Can Te Cun yang bakal mengundurkan diri sebentar lagi.

“Kenapa belum ada tamu yang ke ruang makan?” terdengar Kai Song bertanya.

Tidak ada yang menjawab, karena mereka memang tidak tahu. Mereka hanya saling pandang.

“Emmm, mungkin mereka belum bangun. Sejak tadi aku belum melihat satu pun para tamu...” Rekan Cu Ge, A-Kiu menjawab.

“Belum bangun? Sejak tadi?” tanya Kai Song. Dia lalu berpaling kepada Cu Ge, A Kiu dan Cun Bun. “Kalian temui para tamu. Katakan sarapan sudah tersedia. Ingat, bersikaplah sopan.”

Tanpa menjawab ketiga lelaki ini berjalan tergesa.

“Huh, anggota partai terkenal ternyata punya kebiasaan bangun terlambat ya?” ujar Cu Ge. Namun kedua rekannya hanya berdiam diri, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Cu Ge mendekati rumah terdekat. Nyala lampu masih terlihat. Jendela masih tertutup rapat.

“Maaf, permisi, selamat pagi….” Ujar Cu Ge sambil mengetuk pintu. Dia berdiam diri, menanti jawaban. Tak terdengar jawaban dari dalam rumah.

Dia kembali mengetuk, dengan perlahan namun cukup nyaring. Seingat dia, rumah ini ditempati para tamu dari Kun-lun-pai. Karena mereka berilmu tinggi, seharusnya ketukan ini bisa membangunkan mereka.

Kembali tidak terdengar sahutan. Perlahan Cu Ge mendorong pintu. Ternyata tidak terkunci. Dia kemudian mencium bau, bau amis yang aromanya terasa akrab.

Cu Ge melangkah, dan tiba-tiba merasa kaki kanannya menginjak sesuatu yang lengket. Dia menoleh ke bawah, dan terkejut. Dia menginjak genangan darah!!

Dengan hati-hati dia melangkah. Lantai rumah yang terbuat dari campuran pasir kasar dan batu halus dipenuhi darah, yang memancarkan aroma menusuk.

Pandangannya kemudian tertuju pada dua sosok lelaki yang terbaring terlentang. Mata mereka melotot, dengan wajah seperti terkejut. Tenggorokan mereka berlubang dan darah mengalir dari luka itu.

Kiang Cu Ge menutup mata, mengatur nafas, mencoba menghilangkan rasa mual yang tiba-tiba muncul. Lututnya terasa goyah, namun dia memaksakan diri melangkah. Menuju ke kamar.

Rumah yang dibangun secara darurat dan sederhana ini hanya memiliki satu buah kamar, yang berukuran sekitar empat kali empat tombak. Pintu kamar terbuka. Seorang lelaki berusia 40-an tahun terbaring terlentang. Separuh tubuhnya di atas tempat tidur, separuh lainnya di lantai. Kedua matanya juga melotot, dan lubang besar terlihat di tenggorokan, seperti bunga mawar yang merekah. Tangan kanannya memegang pedang. Dia rupanya mencoba melawan, namun ajal lebih dulu menjemput.

Perlahan Cu Ge berbalik. Dadanya berdebar dan terasa sesak. Pemandangan ini sangat luar biasa sehingga untuk sesaat dia berharap hanya bermimpi. Namun ini bukan mimpi. Ini nyata. Rombongan dari Kun-lun-pai tewas dengan tenggorokan berlubang.

Perlahan dia berjalan ke pintu, melangkah hati-hati mencoba menghindari genangan darah. Usahanya sia-sia. Sepatu rumput dan bagian bawah celana panjangnya kini berubah warna menjadi merah. Dan terasa lengket.

Cu Ge membuka pintu. Dia melihat rekannya Cun Bun muncul dari rumah sebelah, rumah yang ditempati rombongan dari Hoa-san-pai. Raut wajah Cun Bun pucat pasi, seperti baru melihat hantu. Kedua tangan Cun Bun berlumuran darah.

Cun Ge merasa bagian belakang tubuhnya meremang. Dia merinding. Melihat raut wajah rekannya, dan melihat darah di telapak tangan Cun Bun, Cu Ge tiba-tiba dihinggapi perasaan aneh. Tanpa bicara Cun Bun telah mengatakan satu hal: Rombongan Hoa-san-pai juga telah tewas.

Tiba-tiba terdengar jeritan histeris. Jeritan seorang lelaki, diikuti terbukanya pintu. A-kiu menjerit berlarian. Wajahnya pucat seperti kertas.

“Matiiii… mereka mati……” A-kiu berlari seperti orang gila, diikuti Cun Bun dan Cu Ge, yang memaksakan diri berlari kendati merasa tubuhnya lemas.

“A-kiu… apa-apaan kau…. Siapa yang mati…” tanya Kai Song.

“Mereka mati… Tewas…. Semuanya….” teriak A-kiu. Matanya terbelalak, wajahnya dipenuhi peluh. Dia kemudian berlari, memasuki rumah, berteriak seperti dikejar setan.

“Mati…. Semua mati…..”

Kai Song segera melompat dan berlari ke arah rumah yang ditempati para tamu, diikuti beberapa laki-laki yang tadi sedang menyelesaikan pembuatan panggung.

Pagi yang tadinya tenang berubah menjadi kacau balau. Teriakan A-kiu masih terdengar samar. Orang-orang berlarian, sebagian dengan raut wajah bingung.

Keributan ini didengar Can Te Cun, yang sedang bersemadi di kamarnya di lantai dua. Teriakan A-Kiu menjelaskan semuanya. Mereka telah mati. Para tamu telah tewas. Tewas dibunuh.
Jantung Te Cun berdetak keras. Mereka telah datang. Mereka tahu.

***


PARA anggota Pek-kiam-pang segera membuka jalan ketika melihat Can Te Cun datang. Wajah sang pangcu pucat pasi, dan terlihat letih.

“Bagaimana Kai Song?” tanya Te Cun setengah berbisik.

“Para tamu tewas. Semuanya,” kata Kai Song.

“Semuanya? Termasuk tamu dari Siauw-lin-pai?”

“Semua. Juga Wat Siok Hosiang dan ketiga anak buahnya.”

Can Te Cun mendesah, seperti ingin membuang semua beban yang menghimpit di dada. Dia kemudian berjalan, dan memeriksa. Seorang pemuda berwajah tampan tiba-tiba muncul dan melompat dari atap rumah yang ditempati rombongan Hoa-san-pai.

“Aku telah melakukan pemeriksaan, kong-kong (kakek). Tidak ada genteng yang rusak. Juga tidak ada jendela yang dibuka paksa. Agaknya para pembunuh masuk melalui pintu depan,” kata si pemuda.

Te Cun mengangguk, mencoba tersenyum. “Bagus Han Sin. Apa lagi yag kau temukan?”

“Para pembunuh pastilah berilmu tinggi. Para saudara yang membuat panggung bekerja hingga dini hari, namun tidak mendengar atau melihat hal-hal mencurigakan. Tidak terdengar bunyi perkelahian, tidak terdengar jeritan kesakitan,” ujar Han Sin.

Te Cun memejamkan mata. Tentu saja mereka berilmu tinggi. Dan mereka bisa datang seperti angin. Anak buahnya yang ilmunya jauh lebih rendah pasti tidak bisa mendengar apa-apa.

“Ada lagi?” kata Te Cun. Suaranya terdengar seperti mengambang.

“Para tamu semua tewas, namun dengan sebab yang berbeda. Rombongan dari Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai tewas oleh pedang. Tamu dari Siauw-lin-pai tewas karena pukulan di kepala. Rombongan dari Kong-tong-pai terkena pukulan di dada, dan tamu dari Hek-tiauw-pang tewas terkena pukulan di kepala. Aku belum memeriksa tamu yang lain…”

“Huh, Hek-tiauw-pang biasa membunuh dengan jurus cakar, kini mereka tewas dengan ilmu cakar…..” Suara itu terdengar dari belakang. Entah siapa yang bicara.

Han Sin tiba-tiba terlonjak kaget, seperti disengat petir. “Ah benar sekali….Kenapa tidak terpikir dari tadi?”

“Apa maksudmu Han Sin?” tanya Te Cun.

“Aku pikir… Aku pikir…. Aku tahu kenapa para tamu tewas dengan sebab yang berbeda…”

“Maksudmu?”

“Mereka, para tamu, tewas oleh ilmu silat andalan mereka… Rombongan Hek-tiauw-pang misalnya. Aku yakin mereka tewas oleh ilmu cakar yang disebut Jing-mo-jiu (Tangan Hantu Hijau) yang mereka andalkan. Sedangkan rombongan Kong-tong-pai aku yakin tewas terkena ilmu Pek-lek-sin-jiu (Pukulan Halilintar)….. Kong-kong pernah bercerita kalau Pek-Lek-sin-jiu adalah ilmu andalan Kong-tong-pai, berupa pukulan dengan telapak tangan yang mengandung hawa panas bukan?”

Te Cun memandang wajah Han Sin yang terlihat bergairah. Cucunya ini ternyata jauh lebih cerdik dari yang dia duga. Ada harapan, pikirnya.

“Kong-kong? Kenapa?” tanya Han Sin setelah melihat sang kakek seperti sedang melamun.

“Eh, apa? Oh ya. Kemungkinan itu bisa saja. Jadi rombongan Bu-tong-pai dan lainnya juga tewas oleh ilmu mereka?”

“Aku pikir Han Sin-sute benar, pangcu. Rombongan Kun-lun-pai tewas dengan luka tusukan di tenggorokan. Aku menduga mereka diserang dengan jurus Ci-gi-tong-lay (Pelangi Melintas dari Timur) dari Kun-lun Kiam-Hoat (Ilmu Pedang Kun Lun).”

“Benar, suheng. Sementara rombongan Bu-tong-pai tewas dengan tubuh terbelah. Aku yakin mereka diserang dengan jurus Liu-sing-kan-goat (Bintang Meluncur Memburu Rembulan) dari Bu-tong Kiam-hoat,” kata Han Sin. Matanya berbinar.

“Bagaimana dengan rombongan Siauw-lin-pai?”

“Mereka tewas dengan kepala berlubang, kong-kong. Ada tiga lubang. Aku yakin tiga lubang itu bekas tiga jari. Aku menduga mereka diserang dengan jurus Yu-co-an-hoa-chiu (Pukulan Menembus Bunga), dari Kin-na-chiu-hoat (Ilmu menangkap dan Mencengkeram) yang terkenal itu.”

Te Cun memejamkan mata, dan menunduk. Dia kemudian menarik nafas panjang. Berkali-kali.

“Apakah kong-kong dapat menduga siapa kira-kira yang melakukan pembunuhan keji ini? Dia atau mereka berilmu tinggi dan menguasai bermacam ilmu. Pasti tidak sukar untuk mencari mereka, karena yang menguasai bermacam ilmu tinggi pasti tidak banyak…”

Te Cun menggelengkan kepala. “Nanti kita bicarakan lagi. Yang utama, kita urus dulu jenasah mereka. Segera buat peti mati. Kalau papan tidak cukup, ambil papan dari rumah-rumah ini. Kemudian kita pikirkan bagaimana mengirimkan jasad ini ke tempat asal mereka.”

“Karena tempatnya cukup jauh, aku pikir sebaiknya kita menggunakan jasa piaukiok. Emmm, mungkin kita bisa menghubungi Lok Yang piaukiok yang berada di Kota Lok Yang. Mereka punya reputasi bagus,” ujar Kai Song.

Te Cun mengangguk setuju. Lok Yang piaukiok merupakan perusahaan jasa pengiriman yang terkenal di dunia kang-ouw. Pimpinan mereka, Tan Leng Ko berilmu tinggi namun rendah hati. Sejauh ini dia tidak pernah mendengar kabar buruk tentang barang yang dibawa Lok Yang piaukiok.

“Kau aturlah. Hubungi mereka dan tanya berapa biayanya. Katakan terus terang bahwa yang akan dikirim adalah jenasah. Kita akan membayar berapa pun yang mereka minta. Usahakan agar Tan Leng Ko bisa turun tangan sendiri, melakukan pengawalan…”

Kai Song mengangguk dan segera memberi perintah kepada anak buahnya. Sebagian anggota Pek-kiam-pang meneruskan pembuatan panggung. Namun suasana telah berubah.

***

TE Cun memanggil Kiang Cu Ge. Kedua lelaki ini berjalan perlahan, memasuki rumah dan beranjak ke lantai dua. Di kamar Te Cun segera mengunci pintu.

Tanpa bicara dia kemudian membuka laci sebuah lemari yang terletak di sudut. Te Cun mengambil sebuah sampul surat.

“Berikan surat ini kepada Han Sin. Namun ingat, surat ini baru kau berikan setelah kalian berada di tempat itu. Kau mengerti?”

Cu Ge mengangguk. Tak tahu harus bicara apa.

“Kau masih ingat bagaimana cara memasuki tempat itu bukan? Ingat, lakukan secara diam-diam. Nyawa kalian taruhannya.”

Kembali Cu Ge mengangguk, kendati tidak sepenuhnya mengerti. Pangcu menitipkan surat bersampul. Kenapa tidak memberikannya sendiri? Bukankah surat itu akan diberikan pada cucu kandungnya sendiri?

“Sebenarnya aku bisa memberikan surat ini secara langsung. Tapi terlalu berbahaya,” kata Te Cun seolah mengetahui apa yang ada di benak Cu Ge. “Sekarang pergilah. Ingat, sesudah makan siang, kau ajak Han Sin ke tempat itu. Dan patuhi apa yang aku pesankan di surat,” tambah Te Cun.

Cu Ge mengangguk dan berpaling.

“Cu Ge, tunggu….” Cu Ge berpaling dan terkejut melihat kedua mata pangcunya basah.

“Cu Ge, berjanjilah bahwa kau akan melakukan perintahku…”

“Aku berjanji, pangcu. Bahkan aku siap bersumpah jika itu membuat pangcu merasa lebih baik…”

Te Cun mencoba tersenyum, dan mengerjapkan matanya. “Kau tidak perlu bersumpah. Aku percaya sepenuhnya padamu. Kalau tidak….” Te Cun menggelengkan kepala. “Kau pergilah….”

Perlahan Cu Ge membuka pintu. Tangan kanannya meraba surat yang diselipkan di saku pakaian. Dadanya berdebar.

Te Cun menatap Cu Ge yang menuruni tangga. Dia kemudian menutup pintu. Mereka sudah tahu. Rencana terpaksa dirubah. Dia mendesah. Semoga Thian mengampuni aku…

***

KAI Song mengawasi belasan anggota Pek-kiam-pang yang sedang membuat peti mati. Ada 21 peti yang harus dibuat. Peti mati untuk 21 tamu yang tewas secara misterius.

Tewasnya para tamu membuat suasana di Pek-kiam-pang berubah total. Tidak ada lagi keceriaan. Canda tawa sudah lenyap bagai ditiup angin. Yang ada rasa gundah, rasa penasaran dan ketidakmengertian.

Selain rombongan dari lima partai besar, yakni Siauw-lin-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan Kong-tong-pai, ada enam rombongan dari Bu-san-pang, Tiam-jong-pang, Hek-tiauw-pang, Thian-sang-pang, Kie-keng-pang dan Giok-hwa-pang yang datang. Semuanya tewas.

Kai Song menarik nafas panjang. Tewasnya para tamu pasti akan berbuntut panjang. Entah bagaimana caranya menjelaskan pembunuhan ini kepada ciangbunjin dan pangcu sejumlah partai dan perkumpulan. Bagaimana pun, mereka tewas sebagai tamu Pek-kiam-pang. Otomatis Pek-kiam-pang harus bertanggungjawab. Dan jika Can Te Cun benar-benar mengundurkan diri, maka tanggung-jawab itu harus dipikulnya.

“Yah, jika aku benar-benar menjadi pangcu, mau tidak mau tanggung-jawab itu harus kupikul,” pikir Kai Song. Keputusan Can Te Cun memilih Kai Song sebagai pangcu pengganti tidak menimbulkan riak. Kai Song adalah murid pertama dari lima anggota yang menjadi angkatan pertama. Dia sudah menjadi anggota Pek-kiam-pang selama 15 tahun, sejak hari pertama perkumpulan ini didirikan.

Ketika Can Te Cun mengungkapkan niatnya mundur sebagai pangcu, hanya ada dua nama yang muncul sebagai calon pengganti. Kai Song dan Can Han Sin. Awalnya Kai Song mengira Te Cun akan memilih Han Sin. Suatu pilihan yang bisa dipahami karena Han Sin sudah mewarisi semua ilmu kepandaian sang kakek. Dia juga tidak sombong dan sangat cerdik.

Namun Te Cun ternyata memilih Kai Song. Dan pilihan itu diumumkan secara terbuka.

“Sekarang aku mengerti kenapa pangcu memilih aku,” pikir Kai Song.

Jika Han Sin terpilih, dia pasti akan menemui kesulitan jika harus menjelaskan pembunuhan ini kepada para ciangbunjin dan pancu partai dan perkumpulan besar. Biar bagaimana pun, di dunia persilatan Han Sin masih tergolong anak kemarin sore.

Kai Song kembali menarik nafas panjang. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya jika para ciangbunjin dan pangcu bertanya tentang identitas pembunuh. Menurut Han Sin, dan dia pikir hal itu ada benarnya, para tamu tewas terkena pukulan andalan yang mereka kuasai. Jika dia salah bicara, pasti akan timbul salah paham. Dan akibatnya bisa sangat fatal.

Namun siapa sebenarnya para pembunuh? Jika mereka ingin membunuh, kenapa harus dilakukan saat mereka berada di wilayah Pe-kiam-pang? Kai Song berpikir keras. Alisnya berkerut.

Atau, pembunuhan itu merupakan peringatan untuk Pek-kiam-pang? Dada Kai Song tiba-tiba berdetak kencang. Peringatan untuk Pek-kiam-pang!! Tapi kenapa? Dan apa alasannya?

Dia kemudian teringat raut wajah pangcu Can Te Cun ketika mendatangi lokasi pembunuhan. Te Cun terlihat terpukul, sangat terluka, namun jelas sekali Te Cun tidak terlihat kaget atau terkejut. Seakan-akan dia sudah menduga kalau hal ini akan terjadi.

Apakah pembunuhan ini ada hubungannya dengan niat Te Cun mengundurkan diri sebagai pangcu? Kai Song tiba-tiba merasa kepalanya pening. Terlalu banyak kemungkinan, namun hanya sebatas kemungkinan, tanpa fakta.

Pembuatan peti mati sudah hampir rampung. Sebagian anggota perkumpulan kini sibuk merubah dekorasi. Kain berwarna merah menyala dicabut, diganti warna putih. Suasana berkabung kini terasa.

“Usahakan pekerjaan sudah selesai sebelum makan siang,” ujar Kai Song. Jika upacara pengunduran diri Te Cun sebagai pangcu benar-benar akan dilaksanakan, maka upacara bisa dilakukan sesudah makan siang, sebelum para tamu yang sudah mendengar pembunuhan ini berdatangan.

“Aaaaaarrrrrgggghhh.....” Suara itu terdengar nyaring membelah suasana. Jeritan kesakitan. Dan datangnya dari kamar di lantai dua.

”Astaga, pangcu....” Kai Song yang tahu persis suara pangcunya segera melompat. Tangan kanannya kemudian menotol dinding dan dalam sekejap dia masuk melalui jendela kamar. Hampir bersamaan waktunya dengan Can Han Sin yang datang dari arah berlawanan.

Pemandangan yang terpampang nyaris membuat Kai Song dan Han Sin pingsan. Mereka melihat Te Cun, tergolek di kursi. Kepalanya rebah ke kiri, dengan leher hampir putus. Darah membanjiri baju putih yang dia kenakan. Tangan kanannya memegang sebilah pedang berlumuran darah.

“Kong-kongggg....” Han Sin menubruk kakeknya. Tubuhnya masih hangat. Namun nafasnya telah putus.

“Pangcu....” bisik Kai Song lirih dan tak percaya. Pangcunya bunuh diri, menggorok lehernya sendiri dengan Pek-kiam (Pedang Putih) yang selama ini digunakannya untuk menumpas para penjahat.

“Kong-kong, kenapa.... kenapa....” Han Sin berlutut di depan kakeknya, mengguncang lengan kiri kuat-kuat, seakan dengan mengguncang dia akan mendapatkan jawaban.

Kai Song mengarahkan pandangannya, melihat kalau-kalau ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Pandangannya tertuju pada sehelai kertas berwarna putih disertai sebuah pit (pena). Kertas itu ditindih sebuah batu kumala kecil.

Dia mengambil kertas itu, yang ternyata berisi pesan terakhir Can Te Cun. Kai Song menyerahkan surat ini kepada Han Sin.

Isi surat itu pendek, dan ditujukan kepada mereka berdua.


Kai Song dan Han Sin, maafkan aku.
Aku telah mencoba, tapi sudah terlambat. Mereka sudah tahu.
Kai Song, pimpinlah Pek-Kiam-Pang, contohi air yang mengalir
Han Sin, ikuti petunjuk.
Kelak, kalian berdua akan mengerti.
Sekali lagi, maafkan aku. Can Te Cun.


Han Sin membaca surat itu sekali lagi, dan mengulangi lagi. Namun surat itu justru membuatnya makin bingung. Dia mengangsurkan surat itu kepada Kai Song. Kai Song menggelengkan kepala.

“Kau simpan saja surat itu, Han Sin-sute...”

“Aku tidak mengerti, suheng. Apa maksud kakek? Kenapa dia mengatakan sudah terlambat?”

“Aku juga tidak mengerti, sute. Tapi aku pikir ini pasti ada hubungannya dengan pembunuhan yang menimpa para tamu.”

“Dan kakek menulis ‘mereka sudah tahu’. Mereka siapa??” Keduanya terdiam, merenung, tanpa jawaban.

“Dari semua yang ditulis kakek, hanya ada satu hal yang jelas. Yakni suheng diminta memimpin Pek-kiam-pang. Berarti kakek tetap menginginkan suheng menjadi pangcu...”

“Agaknya begitu, sute...” jawab Kai Song. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa kerongkongannya seperti tercekik.

Sejumlah anggota Pek-kiam-pang kini memasuki kamar. Suasana gaduh. Kai Song segera memerintahkan anak buahnya mengatur jenasah Can Te Cun. “Siapkan peti mati untuk pangcu kita. Peti mati yang paling bagus.....”

Sementara Han Sin menuruni tangga seperti bermimpi. Apa yang terjadi hari ini benar-benar luar biasa dan sama sekali tak terbayangkan. Para tamu tewas, semuanya berilmu tinggi, perwakilan partai dan perkumpulan ternama. Dan kini kakeknya tewas. Bunuh diri. Dan meninggalkan surat yang tidak dimengerti.

Kenapa kakek bunuh diri? Benarkan terkait dengan pembunuhan para tamu? Bagaimana kaitannya, dan kenapa?

Han Sin membaca kembali surat itu. Membaca berulang-ulang pesan terakhir yang ditujukan untuknya.. Ikuti petunjuk. Ikuti petunjuk. Tapi petunjuk apa? Dia menggelengkan kepala dengan putus asa. (Bersambung)

Wednesday, July 2, 2008

Glady Kawatu: Seks itu Indah



Tulisan ini pernah dimuat di Harian Metro, dan sempat menghebohkan, terutama karena yang disampaikan Glady termasuk sensitif untuk kalangan pejabat, yakni seks. (Setelah tulisan ini dimuat, Glady mendapatkan banyak sekali telepon yang menanyakan soal artikel ini). Glady saat itu Humas Pemkab Minahasa, sekarang baru saja dimutasi menjadi Kepala Badan PMD. Sesudah Kabag Humas dia dipercaya menjadi Kadis Infokom....


GLADY
Kawatu SH MSi membelalakkan matanya yang indah ketika METRO mengatakan tidak akan bertanya tentang pemerintahan, tapi soal kehidupan pribadi.

"Ado, apa lei komang angko mo tanya," ujar Glady. Kabag Humas Pemkab Minahasa ini tertegun dan sedikit tersipu ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan, yakni pendapatnya tentang seks.

"Aduh, seks? Emhh, apa kang? Ya, seks itu indah no," katanya sambil mengulum senyum.

Dia kemudian duduk bersandar di kursi. Kedua tangannya merapikan rambut ke belakang. "Menurutku, seks merupakan anugerah Tuhan yang sangat luar biasa," katanya lagi. Karena merupakan anugerah Tuhan, lanjut ibu dari Delano ini, dia dan suami berusaha menikmati, kendati ada kendala serius, terutama karena sang suami, Danny Pinasang, saat ini tak berada di Sulut karena sedang studi S2 di Yogyakarta.

Tidak kesepian? Glady kembali merapikan rambutnya dengan kedua tangan (rupanya merapikan rambut merupakan kebiasaan Glady jika sedang berpikir, atau jika dia sedang 'salah tingkah'). "Untung saja sebagai humas saya cukup sibuk. Tapi, memang kadang-kadang datang juga rasa sepi," kata dia.

Karena itu, lanjutnya, dia dan suami sudah punya kesepakatan soal pertemuan. "Kita deng peitua so baku ator, paling lama baku pisah satu bulan stenga. Lebe dari itu, dia yang musti datang ato kita yang pigi," katanya.

Karena sang suami kecil kemungkinan untuk bisa datang, biasanya Glady yang berkunjung ke Jogya, kendati membuatnya harus merogoh kocek dalam-dalam. "Lantaran itu kalu baku dapa, kita ja bilang pa peitua, torang pe pertemuan ini sangat mahal," katanya sambil tertawa kecil.

Selain berangkat di waktu libur, Glady juga kerap meluangkan waktu ke Jogya jika kebetulan ditugaskan atasannya ke Jakarta atau Bandung. Karena itu Glady mengaku bersyukur karena para atasannya, mulai dari Asisten, Sekdakab hingga Bupati, bisa 'memahami'. "Perna bapak bupati ba telepon, tanya di mana. Kita bilang di Jogja, kong bapak bilang 'sorry so ba ganggu kote', kong se putus tu telepon. Kita komang tu ilang slak. Kita langsung telepon pa bapak, kage ada yang penting," cerita Glady dengan mata menerawang.

Ketika METRO mengingatkan bahwa Glady pernah mengeluh sakit belakang setelah pulang dari Jogya, dia terdiam. Jangan-jangan karena salah gaya? Glady kembali membelalakkan matanya. "Salah gaya? Aduh, nyanda komang. Mungkin lantaran so lama jadi so kaku," jawabnya sambil tersenyum penuh arti.

Tanya jawab soal seks rupanya cukup menyenangkan bagi Glady. Ketika METRO sudah kehabisan bahan pertanyaan, dia dua kali 'memancing'. "Ada lagi tu mo tanya?"

Jadi seks itu indah? Glady mengangguk. Apalagi kalau dilakukan dengan orang yang dicintai, kang? Glady cepat-cepat menganggukkan kepala. "Oh pasti. Itu syarat utama," kata Glady. Kali ini dengan mimik serius.(*)

Orang Minahasa Keturunan Suku Israel yang Hilang?



Tulisan ini pernah dimuat di tabloid Mimbar Bersama, berisi teori 'aneh', bahwa ada kemungkinan orang Minahasa itu merupakan bagian dari suku Israel yang hilang. Karena namanya teori, wajar jika terkesan tidak masuk akal......


UMUMNYA sejarahwan sepakat kalau nenek moyang orang Minahasa berasal dari Cina atau Jepang. Namun kini ada teori baru, yang mungkin terdengar aneh dan tak masuk akal. Bahwa ada kemungkinan, nenek moyang orang Minahasa adalah suku-suku Israel, yang lazim disebut ‘suku Israel yang hilang’.

Teori atau hipotesis ini disampaikan seorang pemerhati budaya, yang sayang sekali menolak namanya dipublikasikan. Mungkin karena merasa teori yang dikemukakannya ini tidak lazim.

Menurut Tole Mantatenga—sebut saja namanya begitu, kemungkinan nenek moyang Minahasa berasal dari suku Israel yang hilang, berdasarkan apa yang menurutnya beberapa kesesuaian antara kekhasan masyarakat Minahasa dengan kebiasaan para suku Israel.

Dia mencontohkan soal pakasaan atau walak yang eksistensinya mirip dengan suku-suku di Israel pra kerajaan. Pakasaan di Minahasa menganut sistim otonomi, sama halnya dengan suku-suku Israel. Pakasaan dipimpin kepala walak melalui mekanisme pemilihan, sama halnya dengan para ketua suku Israel kuno.

Pakasaan Minahasa kuno, kendati hidup otonom, namun bisa mengikatkan diri menjadi satu kesatuan jika menghadapi bencana atau ancaman musuh, sama halnya dengan yang biasa dilakukan Israel sebelum menjadi kerajaan.

Tole juga menyorot peran Walian, pemuka agama kuno Minahasa yang (menurut penilaiannya) mirip dengan peran Imam Israel kuno. Atau kebiasaan mendirikan batu tumotowa, semacam ‘tugu’ peringatan berdirinya suatu wanua yang mirip dengan yang biasa dilakukan suku-suku Israel sebelum memasuki Kanaan. Begitu juga dengan upacara mempersembahkan korban kepada Pencipta yang agak-agak mirip, dan beberapa hal lain.



Israel yang hilang

Sebelum lanjut, siapa sebenarnya yang dikenal dengan ‘suku Israel yang hilang’ itu? Sampai sekarang, keberadaan ‘suku Israel yang hilang’ ini masih menjadi perdebatan para ahli teologi, yang kadar misterinya setara dengan pertanyaan: Di mana ‘Tabut Perjanjian’ sekarang.

Menurut sejarah, kerajaan Israel Raya yang besar dan megah semasa pemerintahan Raja Daud dan Salomo pecah menjadi dua, di masa pemerintahan Raja Rehabeam, putra Salomo, sekitar tahun 931 sebelum Masehi (sM). Sepuluh suku memisahkan diri mendirikan kerajaan Israel Utara, dengan Yerobeam sebagai raja pertama. Sedangkan sisanya, suku Yehuda dan Benyamin (bersama segelintir masyarakat 10 suku yang setia dan tidak mau memisahkan diri), kemudian dikenal dengan kerajaan Israel Selatan atau Yehuda, yang diperintah oleh dinasti Daud.

Kerajaan Israel Utara (yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Israel) dengan ibukotanya Samaria kemudian dikalahkan bangsa Asyur, sekitar tahun 722 sebelum Masehi. Sebagian besar penduduknya dibuang ke negeri asing, dan sebagai gantinya, Asyur mendatangkan bangsa lain ke Samaria dan sekitarnya.

Kerajaan Yehuda juga akhirnya dikalahkan, sebagian besar penduduknya dibuang ke Babel, dan Yerusalem dirobohkan, sekitar tahun 587 sM. Namun berbeda dengan masyarakat Yehuda yang akhirnya bisa kembali ke negeri asalnya, maka penduduk 10 suku bekas anggota kerajaan Israel yang dibuang Asyur itu tidak pernah kembali, sampai sekarang.

Keberadaan para keturunan suku Israel yang dibuang itu –yang dikenal dengan istilah ‘suku Israel yang hilang’--kemudian menjadi bahan spekulasi. Ada dongeng yang menyebutkan, sebelum Yesus menyatakan diri dan dibaptis Yohanes, Ia terlebih dahulu melanglangbuana, mencari di mana keberadaan keturunan 10 suku itu.

Ada juga laporan yang menyebutkan, di beberapa kawasan di India, Pakistan dan Bangladesh, ada suku-suku yang memakai nama mirip dengan nama-nama Israel. Ada juga tulisan yang menyebut bahwa orang Jepang sekarang adalah keturunan suku Israel yang hilang itu.

Beberapa ritual Jepang konon sangat mirip dengan yang dilakukan bangsa Israel kuno. Kaum Mormon malahan percaya kalau suku Israel ini tinggal di Amerika. Tidak jelas apakah yang dimaksudkan adalah suku Indian, atau suku lain.

Mungkin sekali, teori yang digagas Tole seperti yang disebutkan di atas, terinspirasi dari hal-hal itu. Bahwa mungkin saja, atau ada kemungkinan, nenek moyang orang Minahasa adalah masyarakat Israel kuno yang diasingkan bangsa Asyur.

Bahwa setelah kekuasaan Asyur melemah, para keturunan suku Israel ini berpindah tempat. Tidak lagi kembali ke daerah asal, tapi ke negeri asing. Bukan tidak mungkin ada yang sampai ke Cina, dan dari sana ada yang kemudian pindah ke Minahasa. Bisa saja.

Israel baru


Jadi nenek moyang orang Minahasa itu adalah suku Israel yang hilang? Bisa ya, bisa tidak. Mudah-mudahan ada yang berkeinginan melakukan penelitian ilmiah soal ini, dengan memparalelkan beberapa kekhasan orang Minahasa dengan suku Israel kuno.

Yang jelas, bagi orang Minahasa yang percaya kepada Kristus, hal ini tidak terlalu penting. Karena dengan percaya kepada-Nya, otomatis kita menjadi anggota Kerajaan Israel Baru. Dengan kata lain, orang Minahasa sekarang memang ‘keturunan’ orang Israel. Bukan secara fisik, tapi secara rohani. Kalau soal ini, saya yakin banyak yang setuju. Oi to? (*)

Pake cidako, tolu, loto....

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Telegraf dan tabloid Mimbar Bersama, disarikan dari tulisan N Graafland


PAKAIAN seperti apa yang digunakan masyarakat Minahasa ratusan tahun yang lalu? Jenis mode seperti apa yang ‘trend’ waktu itu?

N Graafland, pendeta dari Belanda yang bertahun-tahun tinggal di Minahasa mencatat, di pertengahan tahun 1800-an, masyarakat Minahasa sudah ada yang mengenakan sarung dan kebaya. Sebagian hanya mengenakan sarung yang diikatkan di atas dada.

Sebagian laki-laki lebih suka bertelanjang dada. Dan hanya mengenakan kain penutup, yang waktu itu populer dengan sebutan cidako. Yang terbuat dari kulit pohon, kain linen biru, atau belacu dengan gambar mencolok. Namun sebagian besar laki-laki Minahasa sudah mengenakan baju untuk bagian atas, dan tetap memakai cidako untuk bagian bawah. Sebagian yang lain memakai rumbai-rumbai.

Karena pengaruh ‘modernisasi’ Belanda, sudah cukup banyak masyarakat yang mengenakan celana, apalagi di jalanan. Dan hanya sedikit yang memakai sarung.

Generasi yang lebih muda, biasanya lebih cepat mengikuti trend mode yang up to date. Mereka sudah mengenakan pakaian lengkap, dengan standar Eropa.

Penutup kepala

Kebanyakan masyarakat Minahasa, memakai tolu sebagai penutup kepala. Tolu, adalah topi datar dengan tepi yang sangat lebar, dan runcing di bagian tengah. Sehingga dapat berfungsi seperti payung, yang cocok untuk menyalurkan air hujan.Umumnya tolu terbuat dari daun silar, sejenis palem Kipas yang menjulang tinggi. Tolu biasanya diwarnai dengan getah akar suatu pohon, yang dimasak terlebih dahulu.

Selain dari daun silar, ada juga tolu yang dibuat dari batang padi. Jika terkena matahari, warna kuning emas tolu ini terlihat mengkilap. Kendati memakai tolu merupakan kebiasaan, namun tutup kepala ini tidak dipakai jika masyarakat sedang menjunjung sesuatu di kepala. Waktu itu, masyarakat Minahasa, khususnya wanita, terbiasa menjunjung beras, sayur dan buah-buahan dengan loto (bakul) di atas kepala.

Graafland sempat terheran-heran melihat wanita Minahasa menjunjung sesuatu di atas kepala, tanpa memegangnya. “Mereka terlatih menjaga keseimbangan beban. Bahkan botol pun tidak akan jatuh dari kepala wanita itu. Kalau kami harus melakukannya, sebelum tiga langkah, botol minyak itu pasti sudah jatuh,” tulis Graafland.

Biasanya orang Minahasa menjunjung sesuatu untuk dijual. Hasil pertanian, dibawa (dijunjung) untuk dijual ke Manado, pasar, atau langganan tetap. Waktu itu, orang Minahasa sudah lazim bertani sayur dan buah-buahan. Serta memelihara ayam.

Ada hal menarik menyangkut kebiasaan berjalan sebagian masyarakat Minahasa. Orang Minahasa biasa berjalan—yang menurut istilah Graafland—‘beriringan seperti angsa’. Seorang berjalan di belakang yang lain. Dan sangat jarang ada dua orang yang berjalan berdampingan. Diduga, cara berjalan seperti ini menjadi kebiasaan, karena di Minahasa hanya ada jalan-jalan sempit dan kecil, yang lazim disebut ‘jalan kebun’ atau ‘jalan anjing’. (*)

Tuesday, July 1, 2008

Surat dari Minahasa

Tulisan ini dimuat di Suara Minahasa Magazine, majalah terbitan Amerika Serikat edisi Juli 2004, namun dibuat bulan Juni, saat Piala Eropa (di mana kote) tengah berlangsung...

Buat sudara di jao sana

Selamat baku dapa

Moga-moga ngoni samua nyanda kurang apa-apa, kong tu Tete Manis masi ja ambor-ambor akang berkat, kong Dia beking sehat-sehat selalu.

Kalu torang di sini, masi aman-aman, kong masi sehat-sehat. Memang akhir-akhir ini tu amper samua tuama di Minahasa so mulai ja dapa saki. Saki bringus deng panas. Depe penyebab, apa lagi kalu bukang tu Piala Eropa (Euro 2004).

Ngoni stou mo ta heran-heran kalu tau tu orang Minahasa pe suka skali ba uni bola kaki. Apalagi kalu ba bicara tu pertandingan macam Piala Eropa. Amper samua cirita salalu babunyi bola.

Di sini, di Minahasa, tu siaran langsung ja mulai jam 12 tenga malam deng jam tiga amper siang. Lantaran tu pertandingan amper tiap malam selama satu bulan, terpaksa katu banya tuama-tuama ja bagadang kong bauni dorang pe gaco ba dusu-dusu kong skop-skop tu bola bundar. Lantaran bagadang amper tiap amalam, jang ngoni heran kalu banya tu dapa saki.

Mar untung jo, sampe tu surat ini kita tulis, kita belum ada tanda-tanda mo dapa saki. Moga-moga tu torang pe Tete Manis tetap kase kekuatan (deng penghiburan) kalu ta pe gaco kalah. Kalu kita, ki tape gaco tu kesebelasan Inggris. Untung jo, waktu tu surat ini kita tulis, tu Inggris so lolos di babak perempat final. Nyanda sama deng tu Spanyol deng Italia yang so ciri kong terpaksa pulang kampung.

Kalu ngoni bagimana. Ja bau ni jo tu Piala Eropa? Dengar-dengar tu bola kaki nyanda top di Amerika kang? Yang top kata tu pertandingan baseball deng basket. Butul itu? Kong ngoni bagimana, so ta iko tu selera Amerika, ato masi suka bola. Kalu torang di sini, ya bole bilang pe maniak bola.

Selain dapa demam bola, torang pe keadaan masi biasa-biasa. Skarang so maso kampanye presiden, mar kiapa stou, depe suasana nyanda talalu dapa rasa kalu skarang kampanye. Pe beda skali deng tu kampanye legislatif tempo hari. Tempo, amper tiap hari ada konvoi ba kampanye. Skarang pe kadang kong nyanda dapa rasa.

Awal bulan Juni, tu Tondano da dapa tamu, peserta Pekan Nasional (se pende jadi Penas) Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) se Indonesia . Tu da datang amper 15 ribu orang. Ngoni bayangkan jo tu Tondano dapa tamu pe banya bagitu. Lantaran pe banya, sebagian peserta ba tidor di Tomohon deng Sonder. Torang pe kampung da dapa tamu amper ampa ratus orang, dari propinsi Sumatera Utara.

Tu Penas ini memang sempat jadi pembicaraan, lantaran depe pembukaan da hadir torang pe Presiden, Megawati Soekarnoputri. Yang heboh, ibu Mega datang di stadion Maesa Tondano nyanda pake oto, mar pake helikopter. Supaya stou cepat kang?

Oke, bagini dulu ne kita pe surat . Kita somo tidor, lantaran sabantar mo ba gadang ba uni bola kaki. Nanti jo sambung bulan datang, kalu kita nyanda dapa saki. He…he…